Story of Nogoro (Bagian-2)
SD Negeri
Bawen.. adalah sekolah dasarku yang ketiga..
Bapak
menjadi sinder di afdeling Kempul. Dengan budidaya kopi. Areal tanaman
perkebunan tepat berada di sisi jalur utama lintasan Solo – Semarang. Rumah
dinas yang kami tempati hanya berjarak sekitar seratusan
meter dari jalan raya itu. Masih rumah peninggalan Belanda. Dengan tiga kamar
besar di ruangan induk. Serta beberapa ruangan di jajaran dapur dan kamar
mandi.
Jarak dari
rumah ke sekolah lebih dekat dibanding rute sekolahku yang terdahulu. Ada jalan
pintas melewati kebun kopi di belakang rumah, masuk ke perkampungan lalu tembus
jalan raya utama. Menyeberang jalan, maka sampailah aku di gedung sekolahku. SD
negeri Bawen tepat berada di persimpangan jalan dari jalur Semarang yang
terpecah menjadi dua arah. Arah kanan menuju Jogjakarta, arah kiri menuju Solo.
Gedung sekolahku itu kini sudah tiada. Pada awal
tahun 1990-an lokasi pertigaan itu digusur dan dibangun sebuah terminal bus besar di
situ, terminal Bawen.
Meskipun tak
lama sekolah di situ, hanya sekitar satu atau dua catur wulan, tapi lumayan
banyak kenangan yang kudapat. Ibu sempat membeli freezer lalu membuat es untuk
dijual. Salah satunya ke sekolahku. Bukan es lilin. Tapi semacam agar-agar (kami dulu menyebutnya Hunkwe, sesuai merk yang tertera di pembungkusnya). Agar-agar itu dipotong persegi panjang, dibekukan lalu dibungkus dengan lembaran plastik. Aku yang mendapat tugas membawa termos es
itu ke sekolah. Ukuran tanggung, tidak terlalu berat. Lumayan senang jika es di
termos itu banyak atau habis terjual. Karena aku akan pulang sambil menenteng
termos yang kosong. Pernah ada kejadian suatu waktu. Pagi itu habis hujan,
jalan yang aku lalui menuju sekolah banyak tergenang air. Aku sudah mencoba
lebih hati-hati saat berangkat sambil menenteng termos isi es. Kalo tak salah,
pagi itu aku berangkat barengan
dengan salah seorang kakak sepupuku yang bersekolah di SMP Ambarawa. Dan akhirnya kejadian juga. Aku terpeleset
jatuh. Isi termos tumpah dan berserakan. Kami berdua saling berpandangan sambil
mencoba berpikir keras mengatasi masalah ini. Akhirnya kami sepakat, es yang
berjatuhan itu kami ambil kembali, kami bersihkan dengan genangan air yang ada
lalu kembali disusun di dalam termos. Termos kembali aku bawa ke sekolah dan
kutitipkan di kantin sekolah. Aku tersenyum dalam hati ketika pulang dan
kulihat isi termos hanya tersisa sedikit...
Di sekolah
aku terpilih mewakili SD Bawen untuk turut serta dalam lomba cerdas cermat P4.
Kami memenangi lomba di tingkat kecamatan lalu kembali melaju ke tingkat
kabupaten untuk lomba antar kecamatan se Kabupaten Semarang. Tapi kami kalah dalam lomba yang
diselenggarakan di Ungaran itu. Aku juga pernah ikut
kompetisi olah raga sepak takraw antar SD di kecamatan Ungaran. Aku tak ingat
sampai dimana tim kami mampu melaju. Yang jelas kami tak mendapatkan piala di
perlombaan itu.
Suasana
lingkungan rumah tak begitu berbeda dengan rumah yang sebelumnya kami tempati. Tapi
tak banyak tetangga di situ. Hanya ada sekitar dua rumah karyawan afdeling di
belakang kami. Jadi tak banyak teman permainanku di situ. Di sekitar rumah ada
pohon durian, rambutan, belimbing dan lainnya. Dan yang istimewa, ada pohon
kelengkeng di depan rumah. Aku sering memanjat pohon itu. Duduk di dahannya
yang kuat sambil memetik dan memakan buah kelengkeng langsung dari pohonnya.
Di tempat itu juga aku mendapat kenang-kenangan luka gores di ujung jari manis tangan kiriku. Aku memanjat pohon belimbing sambil menyiapkan sebilah pisau. Aku pilih buah belimbing yang sudah matang lalu memetiknya. Aku duduk di sebatang dahan yang kuat sambil menyiapkan pisau untuk menikmati buah belimbing itu. Tangan kiriku menggenggam belimbing, tangan kanan menggenggam pisau. Lalu aku ayunkan pisau itu untuk memotong ujung buah belimbing. Karena pisaunya sangat tajam, dan daging buah belimbing memang lunak, mata pisau itu langsung membabat habis ujung buah dan sekalian tembus mengiris ujung jariku. Darah mengucur sangat deras, bahkan seingatku sampai terlihat bagian yang berwarna putih dalam sobekan luka di ujung jari. Mungkin bagian daging atau tulang yang terkoyak. Aku menuruni pohon dengan hati-hati. Jantungku berdebar. Antara menahan perih di ujung jari, bercampur rasa takut jika diomeli ibu. Besar kemungkinan akan ada jeweran di telinga yang aku dapatkan. Tanda goresan luka di ujung jari itu masih terlihat hingga sekarang. Meskipun sudah semakin samar.
Di tempat itu juga aku mendapat kenang-kenangan luka gores di ujung jari manis tangan kiriku. Aku memanjat pohon belimbing sambil menyiapkan sebilah pisau. Aku pilih buah belimbing yang sudah matang lalu memetiknya. Aku duduk di sebatang dahan yang kuat sambil menyiapkan pisau untuk menikmati buah belimbing itu. Tangan kiriku menggenggam belimbing, tangan kanan menggenggam pisau. Lalu aku ayunkan pisau itu untuk memotong ujung buah belimbing. Karena pisaunya sangat tajam, dan daging buah belimbing memang lunak, mata pisau itu langsung membabat habis ujung buah dan sekalian tembus mengiris ujung jariku. Darah mengucur sangat deras, bahkan seingatku sampai terlihat bagian yang berwarna putih dalam sobekan luka di ujung jari. Mungkin bagian daging atau tulang yang terkoyak. Aku menuruni pohon dengan hati-hati. Jantungku berdebar. Antara menahan perih di ujung jari, bercampur rasa takut jika diomeli ibu. Besar kemungkinan akan ada jeweran di telinga yang aku dapatkan. Tanda goresan luka di ujung jari itu masih terlihat hingga sekarang. Meskipun sudah semakin samar.
Bapak
juga membuat usaha budidaya ayam petelur saat kami tinggal di situ. Di
belakang rumah dibangun bangunan kandang besar untuk menempatkan
ayam-ayam itu. Seingatku lebih dari satu bangunan. Setiap hari, famili
yang ikut tinggal bersama mendapat tugas untuk membagi pakan ke semua
ayam dan memunguti telur yang dihasilkan. Kandang itu bersih. Kering.
Kotoran ayamnya tidak dibiarkan berserakan di kandang. Aku tidak ingat
dan paham persis tentang cara pemasaran dari telur-telur itu. Ibu yang
bertugas mengelolanya.
Terkadang kami main ke bukit kopi di arah depan rumah. Menyeberang jalan raya lalu naik ke puncak bukitnya. Dari situ akan terlihat pemandangan Rawa Pening, sebuah danau besar yang terkenal dengan kisah legendanya. Legenda bahwa danau itu tercipta dari pancaran air yang berasal dari lobang sebuah lidi yang ditancapkan ke tanah oleh “Baru Klinthing”. Cerita rakyat ini cukup populer di masyarakat sekitar Salatiga dan Semarang. Di seberang Danau ada daerah yang namanya Banyubiru. Ada sekolah pendidikan kepolisian di situ. Terletak di dekat kota Ambarawa.
Terkadang kami main ke bukit kopi di arah depan rumah. Menyeberang jalan raya lalu naik ke puncak bukitnya. Dari situ akan terlihat pemandangan Rawa Pening, sebuah danau besar yang terkenal dengan kisah legendanya. Legenda bahwa danau itu tercipta dari pancaran air yang berasal dari lobang sebuah lidi yang ditancapkan ke tanah oleh “Baru Klinthing”. Cerita rakyat ini cukup populer di masyarakat sekitar Salatiga dan Semarang. Di seberang Danau ada daerah yang namanya Banyubiru. Ada sekolah pendidikan kepolisian di situ. Terletak di dekat kota Ambarawa.
Di dekat lokasi rumah tempat kami tinggal dulu kini dibangun sebuah wahana agrowisata milik PT Perkebunan Nusantara 9. Kampung Kopi Banaran (Kakoba) nama wahana itu.
![]() |
Wahana Agrowisata "Kakoba" |
Di sekitar
rumah tidak ada masjid. Kalau shalat jumat, bapak membonceng kami dengan sepeda
motor untuk shalat jumat di masjid Bawen. Ketika masuk ramadhan, kami shalat
tarawih berjamaah di rumah. Di ruang tamu, bapak menjadi imamnya.
Bapak rajin beribadah. Kami semua, anak-anaknya, sedari kecil ditanamkan pemahaman tentang seluk beluk agama (meskipun lambat laun memudar dan semakin samar ketika kemudian kami beranjak dewasa dan hidup berpisah dengan beliau). Pada suatu malam, aku mengalami kesulitan untuk memejamkan mata. Hingga lewat tengah malam aku masih terjaga, terbaring sendiri di atas tempat tidur. Bapak kembali ke kamarnya dari mengambil wudhu, dan sempat menengok selintas ke kamarku. Ketika dilihatnya aku masih terbaring terjaga di tempat tidur, bapak mengajakku untuk ikut shalat tahajud bersama. Aku menurut, bangkit dari tempat tidur lalu mengambil air wudhu. Lalu akupun berdiri bersiap di belakang bapak sebagai makmumnya. Aku masih khusuk mendengarkan beliau membaca Surat Al-fatihah. Tapi mulutku menjadi manyun saat aku dengar ayat pertama yang beliau baca. "idzaa waqooatil waaqiah..." Ini momok bagi kami saat itu. karena suratnya panjang. Bapak menyelesaikan bacaan surat Al-Waqiah ini dalam dua rakaat. Mood shalatku jadi redup seketika saat itu. Aku menengok kiri kanan, tanpa suara. Aku lihat ada majalah tergeletak di belakangku. Dengan perlahan aku ambil majalah itu, aku letakkan di samping kanan aku berdiri. Jadi aku bisa berdiri shalat sambil membaca majalah. Moodku menjadi segar kembali. Kejenuhan akibat lamanya bacaan surat yang bapak baca menjadi tidak aku rasakan. Karena perhatianku sudah beralih pada majalah di sampingku. Yang menjadi masalah adalah jika aku sudah selesai membaca satu halaman. Aku harus super hati-hati ketika membalik halaman menuju lembar berikutnya. Harus sesenyap mungkin, agar tidak sampai terdengar oleh bapak. Tapi rupanya aku tidak beruntung. Suara kertas yang dibalik-balik tadi rupanya terdengar oleh beliau. Ketika kami sudah selesai menampungkan dua rakaat, dan membaca salam, bapak menengok ke belakang. Baliau menatapku dan matanya melihat situasi di sekeliling tempatku duduk. Beliau melihat majalah yang tergeletak di belakangku. Beliau mafhum. Bapak menarik napas panjang, menatapku tajam sambil menggelengkan kepala, lalu menyuruhku agar tidur kembali. Akupun menurut. Bangkit, melipat sarung, lalu kembali menuju kamarku. Hatiku terasa malu sekali saat itu. Tatapan tajam mata bapak masih bisa aku ingat sampai saat ini. Tapi beliau tidak memberikan teguran apapun kepadaku. Menceritakan kejadian ini kepada siapapun tidak beliau lakukan. Saat itu aku masih kelas lima sekolah dasar. Usiaku belum genap sepuluh tahun. Sungguh masa-masa kecil saat bersama beliau inilah yang menjadi modal terbesarku saat mengarungi tahapan-tahapan kehidupan berikutnya.
Di samping rumah ada garasi mobil, serta beberapa ruangan yang menjadi kantor afdeling bapak. Sedang di belakang rumah ada lapangan bulutangkis serta sebuah ruangan yang lumayan besar, biasa bapak gunakan untuk rapat kerja afdelingnya. Aku masih ingat, setelah bapak memimpin rapat aku pernah datang ke ruangan itu. Ada satu tulisan bapak di papan tulis yang belum sempat dihapus. Begini bunyi tulisan itu ," Tidak ada Pasukan yang Jelek, Kecuali Komandan yang Brengsek".
Bapak rajin beribadah. Kami semua, anak-anaknya, sedari kecil ditanamkan pemahaman tentang seluk beluk agama (meskipun lambat laun memudar dan semakin samar ketika kemudian kami beranjak dewasa dan hidup berpisah dengan beliau). Pada suatu malam, aku mengalami kesulitan untuk memejamkan mata. Hingga lewat tengah malam aku masih terjaga, terbaring sendiri di atas tempat tidur. Bapak kembali ke kamarnya dari mengambil wudhu, dan sempat menengok selintas ke kamarku. Ketika dilihatnya aku masih terbaring terjaga di tempat tidur, bapak mengajakku untuk ikut shalat tahajud bersama. Aku menurut, bangkit dari tempat tidur lalu mengambil air wudhu. Lalu akupun berdiri bersiap di belakang bapak sebagai makmumnya. Aku masih khusuk mendengarkan beliau membaca Surat Al-fatihah. Tapi mulutku menjadi manyun saat aku dengar ayat pertama yang beliau baca. "idzaa waqooatil waaqiah..." Ini momok bagi kami saat itu. karena suratnya panjang. Bapak menyelesaikan bacaan surat Al-Waqiah ini dalam dua rakaat. Mood shalatku jadi redup seketika saat itu. Aku menengok kiri kanan, tanpa suara. Aku lihat ada majalah tergeletak di belakangku. Dengan perlahan aku ambil majalah itu, aku letakkan di samping kanan aku berdiri. Jadi aku bisa berdiri shalat sambil membaca majalah. Moodku menjadi segar kembali. Kejenuhan akibat lamanya bacaan surat yang bapak baca menjadi tidak aku rasakan. Karena perhatianku sudah beralih pada majalah di sampingku. Yang menjadi masalah adalah jika aku sudah selesai membaca satu halaman. Aku harus super hati-hati ketika membalik halaman menuju lembar berikutnya. Harus sesenyap mungkin, agar tidak sampai terdengar oleh bapak. Tapi rupanya aku tidak beruntung. Suara kertas yang dibalik-balik tadi rupanya terdengar oleh beliau. Ketika kami sudah selesai menampungkan dua rakaat, dan membaca salam, bapak menengok ke belakang. Baliau menatapku dan matanya melihat situasi di sekeliling tempatku duduk. Beliau melihat majalah yang tergeletak di belakangku. Beliau mafhum. Bapak menarik napas panjang, menatapku tajam sambil menggelengkan kepala, lalu menyuruhku agar tidur kembali. Akupun menurut. Bangkit, melipat sarung, lalu kembali menuju kamarku. Hatiku terasa malu sekali saat itu. Tatapan tajam mata bapak masih bisa aku ingat sampai saat ini. Tapi beliau tidak memberikan teguran apapun kepadaku. Menceritakan kejadian ini kepada siapapun tidak beliau lakukan. Saat itu aku masih kelas lima sekolah dasar. Usiaku belum genap sepuluh tahun. Sungguh masa-masa kecil saat bersama beliau inilah yang menjadi modal terbesarku saat mengarungi tahapan-tahapan kehidupan berikutnya.
Di samping rumah ada garasi mobil, serta beberapa ruangan yang menjadi kantor afdeling bapak. Sedang di belakang rumah ada lapangan bulutangkis serta sebuah ruangan yang lumayan besar, biasa bapak gunakan untuk rapat kerja afdelingnya. Aku masih ingat, setelah bapak memimpin rapat aku pernah datang ke ruangan itu. Ada satu tulisan bapak di papan tulis yang belum sempat dihapus. Begini bunyi tulisan itu ," Tidak ada Pasukan yang Jelek, Kecuali Komandan yang Brengsek".
Bapak
masih menjadi Sinder saat di situ, jadi belum mendapatkan fasilitas mobil
dinas. Saat di situlah pertama kali bapak membeli mobil. Sebuat colt pickup bak
terbuka. Tujuannya untuk memudahkan pengangkutan saat panen cengkeh dari kebun kami di daerah Pemalang,
kampung halaman bapak. Menjelang akhir kelas 5, bapak mendapatkan promosi
jabatan menjadi HTO atau Sinder Kepala. Tapi harus mutasi lagi ke Kebun Semugih
di daerah Pemalang. Di kebun semugih ini Sinder Kepalanya ditempatkan di
afdeling Pesantren. Sebuah daerah di pesisir pantai utara dengan komoditas
tanaman utamanya adalah Kelapa
dan Kakao. Akupun ikut pindah ke situ. Berpindah dari SD Bawen kabupaten
Semarang menuju SD Pesantren kabupaten Pemalang.
Aku juga tak
lama sekolah di SD Pesantren kecamatan Ulujami ini. Tak banyak kenanganku di situ.
Jarak dari rumah ke sekolah sekitar 2 kilometer. Aku menaiki sepeda berangkat
ke sekolah. Rumah dinas kami terletak di tengah perkebunan kelapa dan hanya sekitar
1 kilometer dari pantai. Air sumur
di rumah kami rasanya asin. Bapak mengambil air dari sumber air tawar untuk
keperluan di rumah. Di halaman sekitar rumah seingatku hanya ada pohon mangga. Tapi aku
senang karena di situ jadi lebih mudah dan sering menikmati Kelapa Kopyor.
Kelapa ini lumayan mahal jika kita beli di daerah perkotaan. Ada beberapa
karyawan yang mempunyai kemampuan khusus untuk mengenali kelapa kopyor ini.
Entah dari mana mereka melihatnya. Menikmati kepiting juga sering kami rasakan
di situ.
Di antara
rumah dinas dan pantai ada tempat yang bapak gunakan sebagai tambak ikan. Bapak
beternak ikan bandeng di situ. Ibu memimpin darma wanita kebun membeli alat
pemasak presto (oven) untuk
membuat ikan bandeng duri lunak. Ibu-ibu membuat bandeng presto lalu menjualnya dengan menitipkannya
pada sebuah toko di kota Pemalang.
Saat panen
ikan di tambak, Bupati Pemalang saat itu juga pernah
ikut datang menghadirinya. Pada masa-masa itu, kedudukan lingkungan Perkebunan
Negara cukup disegani di mata masyarakat.
Pernah terjadi kejadian agak unik pada saat itu. Suatu ketika saat kami pulang dari kota Pemalang dan hendak menuju Rumah Dinas di Afdeling Pesantren, mobil dinas yang kami naiki mengalami kempes ban di sebuah daerah setelah keluar dari jalan Raya Nasional daerah Petarukan. Supir turun lalu memeriksa. Ternyata ban serapnya pun dalam kondisi kempes. Dia lalu mencoba mencari pertolongan dengan mengetuk rumah warga di sekitar lokasi. Satu dua rumah diketuk, tapi tidak ada yang membuka pintu. Terus dia bergeser ke rumah -rumah di sebelahnya. Cukup banyak dia berusaha dengan terus mengetuk pintu rumah warga. Sampai dia berjarak lumayan jauh dari lokasi kami menunggu di mobil yang parkir di pinggir jalan. Dan akhirnya ada juga seorang warga yang bisa dia temuin dan akhirnya bersedia menolong mengurusi ban mobil yang bocor. Dari percakapan dengan warga penolong itulah akhirnya kami tahu kenapa sebelumnya tak ada satupun warga yang mau keluar rumah dan menemui kami. Rupanya warga curiga dengan kedatangan kami. Saat itu, periode awal tahun 80-an, sedang ramai dengan kejadian "Petrus". Atau Penembakan Misterius. Hampir setiap hari kami mendengar berita tentang adanya mayat yang dibuang di pingir jalan. Mayat itu biasanya bertattoo. Yang saat itu merupakan ciri kalau dia adalah seorang preman atau penjahat. Dan menurut masyarakat, mobil yang biasa digunakan untuk membuang mayat korban Petrus saat itu adalah mobil Jeep berwarna abu-abu. Seperti mobil dinas bapak yang kami pakai saat malam itu. Jeep Nissan warna abu-abu....
Pernah terjadi kejadian agak unik pada saat itu. Suatu ketika saat kami pulang dari kota Pemalang dan hendak menuju Rumah Dinas di Afdeling Pesantren, mobil dinas yang kami naiki mengalami kempes ban di sebuah daerah setelah keluar dari jalan Raya Nasional daerah Petarukan. Supir turun lalu memeriksa. Ternyata ban serapnya pun dalam kondisi kempes. Dia lalu mencoba mencari pertolongan dengan mengetuk rumah warga di sekitar lokasi. Satu dua rumah diketuk, tapi tidak ada yang membuka pintu. Terus dia bergeser ke rumah -rumah di sebelahnya. Cukup banyak dia berusaha dengan terus mengetuk pintu rumah warga. Sampai dia berjarak lumayan jauh dari lokasi kami menunggu di mobil yang parkir di pinggir jalan. Dan akhirnya ada juga seorang warga yang bisa dia temuin dan akhirnya bersedia menolong mengurusi ban mobil yang bocor. Dari percakapan dengan warga penolong itulah akhirnya kami tahu kenapa sebelumnya tak ada satupun warga yang mau keluar rumah dan menemui kami. Rupanya warga curiga dengan kedatangan kami. Saat itu, periode awal tahun 80-an, sedang ramai dengan kejadian "Petrus". Atau Penembakan Misterius. Hampir setiap hari kami mendengar berita tentang adanya mayat yang dibuang di pingir jalan. Mayat itu biasanya bertattoo. Yang saat itu merupakan ciri kalau dia adalah seorang preman atau penjahat. Dan menurut masyarakat, mobil yang biasa digunakan untuk membuang mayat korban Petrus saat itu adalah mobil Jeep berwarna abu-abu. Seperti mobil dinas bapak yang kami pakai saat malam itu. Jeep Nissan warna abu-abu....
Meskipun
tak lama, tapi bapak cukup dikenal di daerah situ. Terutama saat ada
pertandingan sepak bola. Desa Pesantren mempunyai klub sepak bola yang diberi
nama “PS Mama” atau “PS Maulana Maghribi”. Kakak sulungku, yang saat itu siswa
SMA, menjadi bintang sepak bola di situ. Dia selalu diminta ikut bermain jika PS Mama
bertanding. Ramai sekali suasana pertandingan. Apalagi jika kakakku mampu mencetak Gol, para penonton serentak turun
dan masuk ke tengah lapangan, bersorak kegirangan.
Saat
kenaikan menuju kelas 6, bapak memindahkanku ke sekolah di kota Pemalang.
Memang seperti
inilah dilema warga
perkebunan saat itu. Jika mengutamakan pengawasan kepada anaknya, maka kualitas
pendidikan yang didapat akan terabaikan. Tapi jika
mengutamakan kualitas pendidikan maka sisi pengawasan akan sedikit terabaikan.
Bapak mengontrak sebuah rumah di kota pemalang, di daerah kebondalem. Di situ
aku tinggal bersama ketiga kakakku. Dua kakakku menjadi siswa di SMA Negeri 1 Pemalang, dan yang ketiga menjadi
siswa di SMPN 2 Pemalang. Aku berpindah ke SDN Kebondalem 3 Pemalang.
Di sekolah
ini aku tak mampu mendapat ranking saat penerimaan rapor. Ini sekolah di kota,
meskipun kota menengah. Persaingan sudah cukup ketat di sini. Aku hanya pernah
diminta ikut dalam lomba mengarang. Tapi aku tak ingat apakah mendapat
penghargaan dalam lomba antar sekolah itu.
Dan
disinilah, awal-awal kebandelanku dimulai. Aku tinggal di rumah kontrakan, di Jalan Serayu daerah Kebondalem.
Dengan kakak-kakak yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Aku bebas mau
main kemana saja dan kapan saja. Bapak biasa menjemput kami hari sabtu siang, pulang
ke kebun, lalu minggu sore diantar lagi ke Pemalang. Saat itu bapak sudah
mendapat fasilitas mobil dinas HTO, sebuah kendaraan Jeep Nissan, lengkap dengan pengemudinya.
Aku terbiasa nongkrong dengan teman-teman SD-ku di depan gedung bioskop “Indra Theatre”. Ada sahabat karibku saat itu. Namanya Nasir. Dia sering menyebut namanya sendiri dengan istilah “Monas”, kepanjangan dari Mohammad Nasir. Dia anak seorang nelayan. Orangnya ulet, rajin dan pekerja keras. Persahabatan kami terus terjalin hingga dewasa. Aku bertemu dia terakhir pada saat aku hendak berangkat menuju daerah Aceh. Sekitar awal tahun 1998-an. Dia mengantar kepergianku. Ikut bus yang kunaiki dari Semarang menuju Jakarta, dia turun di Pemalang. Ahhhh.. tak terasa, sudah 15 tahun lebih aku tak berjumpa dengannya...
Aku terbiasa nongkrong dengan teman-teman SD-ku di depan gedung bioskop “Indra Theatre”. Ada sahabat karibku saat itu. Namanya Nasir. Dia sering menyebut namanya sendiri dengan istilah “Monas”, kepanjangan dari Mohammad Nasir. Dia anak seorang nelayan. Orangnya ulet, rajin dan pekerja keras. Persahabatan kami terus terjalin hingga dewasa. Aku bertemu dia terakhir pada saat aku hendak berangkat menuju daerah Aceh. Sekitar awal tahun 1998-an. Dia mengantar kepergianku. Ikut bus yang kunaiki dari Semarang menuju Jakarta, dia turun di Pemalang. Ahhhh.. tak terasa, sudah 15 tahun lebih aku tak berjumpa dengannya...
![]() |
Lebaran haji tahun 2017 aku bisa bertemu Monas dan berfoto bersama di depan kelas saat kami SD dulu |
Kenangan
yang masih membekas tentang kota Pemalang adalah kulinernya. Minuman teh poci
sangat lazim disajikan pada setiap warung makan. Sebuah teko berisi teh panas serta cangkir tanah liat yang diisi gula batu. Rasa tehnya khas. Sepat dan
segar. Juga makanan-makanan lainnya. Soto grombyang dan lontong dekem biasa
kami nikmati di sekitar terminal Sirandu. Bapak sering mengajak kami makan di
situ.
Begitulah,
selintas perjalanan hidupku dalam menempuh masa pendidikan dasar. 6 tahun aku
selesaikan di 5 sekolah yang berbeda. Keuntungan dan kerugian hidup seperti itu
sangat beragam. Terkadang aku merasa kurang nyaman, karena begitu banyaknya
“kenangan” yang kupunya. Jika satu kelas berkisar antara 50-an orang, maka aku
punya hampir tiga ratus teman-teman masa kecil yang pernah sekelas denganku.
Terlalu banyak kenangan atau memori seperti itu terkadang justru kurasa tidak
mengenakkan.
Dan
akhirnya aku lulus pendidikan dasar dari SDN Kebondalem 3 Pemalang. Untuk
selanjutnya bersiap melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Dan sasaranku
adalah SMP Negeri 2 Pemalang. Sekolah tempat bapak dahulu menyelesaikan
pendidikan menengahnya juga...
0 Response to "Story of Nogoro (Bagian-2)"
Post a Comment