Story of Nogoro (Bagian-1)
Aku
tidak ingat persis, hari dan tanggalnya. Periode tahun 1976 atau 1977. Memori terjauh atau terkecil yang kuingat, adalah ketika berlarian di areal kebun karet muda. Bersama dua orang
familiku, laki-laki dan perempuan. Sepantaran denganku, usia 4 tahunan. Dari
penuturan orang tuaku, peristiwa itu terjadi ketika keluarga kami boyongan ke
kediaman yang baru. Pindah dari tempat sebelumnya, Kebun Karet Belimbing daerah
Pekalongan, menuju Kebun Karet Getas Salatiga. Tepatnya di afdeling Jelok.
Bapak menjadi sinder (kepala afdeling ) di situ.
Yang
masih kuingat dari tempat itu, sekitar 200 meter samping kiri rumah ada pipa
besi besar dan bulat yang berjajar memanjang. Dari atas bukit menuju ke bawah.
Aku tak ingat, pipa itu asalnya dari mana dan menuju kemana. Untuk
kepentingan apa aku juga tak tahu. Terkadang aku dan teman-teman main di
sekitar pipa besar itu. Diameternya sekitar 2 atau 3 meteran. Kemudian sekitar beberapa kilometer dari rumah, ada danau atau waduk besar yang juga
digunakan untuk memelihara ikan. Saat waktu panen ikan, aku pernah ikut datang
ke situ. Entah dengan cara apa, waduk itu dikeringkan airnya. Ratusan warga
sudah berkeliling disekitar waduk. Ketika air surut, kamipun beramai-ramai
masuk ke dalamnya. Menceburkan diri dalam genangan, untuk memungut ikan-ikan
yang ada.
Aku
memulai masuk SD di situ, SD Negeri Jelok kecamatan Tuntang. Gedung sekolah tak terlalu jauh, hanya sekitar
50-an meter di depan rumah. Cukup unik, kejadian awal aku masuk sekolah. Saat
itu aku begitu takut kalo disuruh berangkat sekolah. Berbagai macam cara kulakukan untuk bisa menghindar dari acara masuk sekolah. Terkadang pura-pura
sakit perut lalu masuk ke kamar mandi. Di situ lamaaaa sekali berdiam di dalam.
Entah ngapain, yang jelas membuang waktu agar terhindar dari perintah masuk
sekolah. Cukup pusing orang-tuaku dengan kelakuanku itu. Masalah akhirnya
terselesaikan ketika bapak menemukan cara yang jitu. Ketika mulai terlihat
gejala aku hendak menghindar dari jadwal masuk sekolah, bapak segera mengambil
koper lalu meminta ibu untuk memasukkan pakaianku ke dalamnya. Katanya, itu
untuk bekalku yang hendak diantar ke panti asuhan. Yang aku pahami saat itu,
panti asuhan adalah tempat dimana anak-anak yang susah untuk sekolah biasa
ditempatkan. Cara itu ternyata jitu dan efektif. Begitu melihat bapak mengambil
koper, aku langsung melesat meninggalkan rumah menuju sekolah..
Aku
masuk sekolah dasar ketika usia masih 5 tahun. Saat itu ditempat kami belum
tersedia TK. Jadi niat awalnya, bapak menitipkan aku ke SD untuk mengisi
kegiatan pengganti TK. Tetapi ternyata aku mampu mengikuti pelajaran yang
diberikan. Akhirnya akupun resmi menjadi siswa kelas 1 di SD itu.
Saat sekolah disitu jugalah, aku pertama kali berkelahi dengan kawan sekolahku.
Aku tak ingat namanya, dan apa penyebab perkelahian kami itu. Yang kuingat,
setelah saling bertukar pukulan, aku dipisah lalu digandeng kakak untuk
pulang ke rumah. Saat di perjalanan pulang itulah, aku merasa menjadi jagoan
hebat. Dengan dada membusung dan wajah tengadah melewati kerumunan kawan-kawan
yang melihat aku berjalan digandeng kakakku.
Ada
juga kejadian yang lucu, atau lebih tepatnya mungkin kejadian memalukan. Bapak
biasa mengajak aku ke masjid di sekitar rumah, untuk melaksanakan ibadah shalat
Jumat. Saat itu usiaku belum lima tahun, belum begitu menguasai seluk beluk
ketentuan ibadah. Saat kami shalat, perutku terasa mulas. Dan saat posisi duduk
tahiyat akhir, mulas itu semakin tak tertahan. Akhirnya aku lepaskan juga kumpulan
gas yang ingin keluar dari dalam perutku. Suara kentutkupun membahana di dalam
masjid. Terdengar suara cekikikan anak-anak di sekitar tempatku duduk. Aku
santai saja, tidak merasa bersalah. Saat di perjalanan pulang, bapak dengan
sabar memberiku wejangan-wejangan tentang ketentuan shalat. Apa saja syarat dan
rukunnya. Termasuk kentut yang merupakan hadast kecil, dan membatalkan kesucian
umat yang hendak beribadah.
Adik
bungsuku lahir ketika kami tinggal di rumah itu. Kami berempat
dengan ketiga kakakku tidur di satu tempat tidur saat ibu dirawat untuk
kelahiran adik di salatiga.
Tidak
terlalu banyak, kenanganku di tempat itu. Kalau tak salah kelas satu SDpun tidak
sampai aku selesaikan. Bapak kemudian pindah afdeling. Masih di kebun yang
sama, Kebun Getas di Kecamatan Salatiga. Bapak pindah ke Afdeling Tembir. Kami
tinggal di sebuah komplek perumahan yang biasa disebut orang, Kampung Daren.
Seperti biasanya di lingkungan perkebunan, rumah dinas yang kami tempati juga
merupakan rumah peninggalan belanda. Orang biasa menyebutnya “loji”. Rumahnya
lumayan besar, dan kokoh. Di dalam bangunan induk ada tiga kamar tidur dan dua
ruangan lain untuk ruang tamu dan ruang keluarga. Keluar pintu belakang ada
teras lalu disambung selasar yang menghubungkan ke bagian belakang. Ada
beberapa ruangan di situ. Ruangan kamar mandi serta dapur. Disamping dapur ada
kamar kecil, ibu sempat menggunakannya untuk kios penjualan barang-barang
keperluan rumah tangga, kalo tidak salah dari Koperasi Kebun. Lalu ada lagi
satu ruangan besar di samping. Seingatku, di rumah selalu ada family yang ikut
tinggal untuk bersekolah di dekat kami. Di kamar besar belakang itulah, family
yang laki-laki tidur. Sedang family yang perempuan, tidur di satu kamar di
samping kamar orang tuaku. Aku ikut tidur disitu. Kamarnya besar, cukup untuk
menaruh dua tempat tidur di dalamnya.
Cukup
lama aku tinggal di situ. Dari kelas satu sampai kelas lima SD. Aku sekolah di
SD Negeri Pabelan. Sekitar 1,5 km dari rumah. Kami biasa jalan kaki menuju
sekolah, barengan dengan teman-teman yang lain. Nama teman-teman komplek yang
masih kuingat, ada kuswono, karman, parmin, sulaiman, jlamprong. Mereka
adalah anak-anak dari karyawan di afdeling tempat bapak menjadi sinder.
Kejadian yang menyenangkan adalah jika saat berjalan pulang ke rumah itu ada
truck kebun lewat untuk mengambil getah karet. Kami berebutan mengejar truck
agar mendapat tumpangan gratis sampai ke rumah.
![]() |
Rumah Sinder daren, tempat aku menghabiskan masa kecil |
Ada kenangan tersendiri tentang kawanku yang bernama Kuswono itu. Dia anak juru tulis di afdeling bapak. Suatu waktu ada kenakalan yang kami perbuat di masjid. Bapak melihat tapi belum menegur apapun. Setelah itu, saat kami main di samping rumah, Bapak membuka jendela kamar dan melihat ada Kuswono di luar. Bapak menegur dan memarahi Kuswono dengan keras. Aku juga ada di dekat situ, tapi Bapak tak melihatku karena terhalang sesuatu. Kuswono hanya tertunduk, tangannya meremas ujung baju. Wajahnya kelihatan ketakutan dengan amarah bapak. Aku ingin mendekat dan membelanya, tapi aku tak berani. Karena sebenarnya akupun ikut terlibat dalam kesalahan itu. Setelah selesai, aku dekati Kuswono mencoba menghiburnya. Aku pikir dia akan marah kepadaku. Tapi tidak, dia hanya tersenyum saat melihatku merasa bersalah. Aku dengar kabar, Kuswono telah tiada saat ini. Sudah pulang menghadap penciptanya. Semoga kepulangannya disambut dengan ampunan Illaahi dan dikaruniai tempat kepulangan yang nyaman dan bahagia. Aamiin...
Saat
itu, di lingkungan perkebunan jawa, suasana feodal peninggalan belanda masih
sangat kental terasa. Sebutan “sinder” atau kepala afdeling juga berasal dari
istilah belanda. Sebelum bapak menjadi sinder di situ, sangat jarang sekali
karyawan atau keluarganya yang berani datang ke “loji” atau rumah dinas sinder.
Aku ingat, saat ada istri seorang karyawan yang datang ke rumah untuk bertemu
ibu, begitu masuk pintu dia langsung jalan berjongkok. Dia duduk bersimpuh di
samping kursi tempat ibu duduk. Walaupun disuruh, bahkan dipaksa untuk ikut
duduk di kursi, dia keukeuh tak mau. Tetap duduk di lantai. Duduk bersimpuh
sambil mengutarakan keperluannya ke ibu.
Bapak
orang kampung, bahkan sebenarnya jauh kebih pelosok dibandingkan kebun-kebun
dimana kami pernah tinggal. Sejak kecil kami dididik untuk menghargai semua
orang. Bahwa kemuliaan atau martabat seseorang bukanlah dinilai dari kedudukan
ataupun harta kekayaan yang dia miliki. Tapi dari derajad ketakwaan dan
keshalihannya. Saat pertama kami datang, suasana keislaman belum begitu terasa.
Loji atau rumah sinder, layaknya bangunan angker yang musti dihindari oleh semua warga komplek. Ada langgar atau mushola yang sangat kecil. Dibangun dari papan
kayu, berbentuk rumah panggung kecil. Bapak lalu mengupayakan agar bisa berdiri
sebuah masjid, walaupun tidak harus besar dan megah. Akhirnya niat itu bisa
terwujud. Saat aku masih tinggal di situ, bisa berdiri satu buah masjid di
belakang rumahku. Sudah berbentuk bangunan permanen, dilengkapi fasilitas
saluran air untuk bersuci. Termasuk juga satu buah bangunan masjid di komplek
karyawan sebelah, biasa kami sebut komplek Tembir.
Setiap
malam, kami kini punya kegiatan rutin. Belajar mengaji di masjid. Kami yang
masih pemula mendapat jadwal setelah shalat maghrib hingga isya. Remaja yang
lebih tua, termasuk kakakku, menjadi pembimbingnya. Setelah menjadi imam shalat
maghrib, bapak duduk di depan mengawasi kami, anak-anak kompek belajar mengaji.
Nanti selepas Isya gantian bapak yang mengajari para remaja itu. Kami belajar
mengaji Juz 30 atau Juz amma. Kami dulu menyebutnya “turutan”. Belajar tentang
tajwid dan sebagainya. Saat itu aku akrab dengan istilah izhar, idgham, ikhfa, iqlab dan sebagainya. Kadang kami diperdengarkan tentang kisah-kisah
rasul atau para sahabat pada jaman dahulu. Bapak yang biasanya menceritakan
kisah itu kepada kami semua. Sangat menyenangkan jika datang giliran
mendengarkan kisah-kisah hikmah jaman dahulu. Kami duduk melingkar di
sekeliling bapak, dengan tekun dan khusuk mendengarkan untaian cerita yang
disampaikan. Cerita yang menjadi favoritku saat itu adalah cerita tentang
Rasulullah dan Sahabat Abu Bakar RA yang bersembunyi di Gua Tsur dan selamat
dari pengejaran kaum kafir Qurais.
Kami
juga diajari qiroah atau tilawah Al-Quran. Bapak memanggil seseorang ahli
qiroah dari salatiga untuk mengajari kami qiroah. Aku terpilih menjadi salah
satu qori dari tingkat pemula awal. Penguasaan qiroahku belum banyak saat itu.
Kalau maju kompetisi, surat yang aku kuasai hanya surat Al-Bayyinah serta surat
Al-Baqoroh yang aku lupa nomer ayatnya. Penguasaanku hanya surat itu. Jadi kalo
aku maju lomba, yang aku baca hanya surat Al-Bayyinah itu. Tapi karena untuk
tingkatan usiaku belum banyak tersedia peserta maka beberapa kali juga aku
mampu melaju ke level atau tingkat yang lebih tinggi. Masih dengan bacaan surat
yang masih sama, Al-Bayyinah. Jika sudah melaju ke level yang paling tinggi,
lombanya adalah antar rayon. Biasanya yang menjadi langganan juara adalah
peserta yang berasal dari kebun proyek PTP 18 di Kalimantan. Lumayan juga
jika turut serta dalam kompetisi ini. Seingatku, setelah lomba tingkat kebun
kami melaju ke lomba tingkat rayon. Dulu diadakan di kebun Batu Jamus daerah
Karanganyar. Dan tingkat puncak atau antar rayon dilaksanakan di kebun sekitar
Semarang. Aku lupa nama kebunnya. Yang jelas, koleksi pakaianku jadi bertambah.
Karena mendapat jatah kostum tim peserta.
Ada
seorang ulama daerah salatiga yang menjadi sahabat karib bapak. Namanya KH.
Samudi Abdullah. Beliau ini juga sempat menerbitkan beberapa buku. Aku pernah
baca salah satunya, membahas tentang perbandingan mahzab. Sering kulihat bapak
dan pak Samudi asyik berdiskusi tentang agama. Saat aku menikah tahun 1996 di
Semarang, pak Samudi berkenan datang dan menjadi khatib Khutbah Nikah di
rumahku. Walaupun saat itu bapak telah wafat.
Ketika
masuk ramadhan, rumahku biasanya jadi ponpes kilat dadakan. Banyak saudara
sepupu yang berkumpul dan menginap di rumahku. Aku ingat ada satu kejadian lucu
saat itu. Suatu waktu, setelah berbuka dan masuk saatnya harus segera ke masjid,
beberapa orang diantara kami serentak mengeluarkan jurus andalannya. Kami
kompak mengeluh sakit perut, dan harus segera masuk ke WC. Ada sekitar empat
orang saat itu, termasuk aku, berdiri bergerombol di depan pintu WC. Pura-pura
sakit perut, padahal tujuan sebenarnya hanya untuk menghindar dari kewajiban
shalat jamaah di masjid. Saat kami berdiri sambil bercanda-canda itu, karena
mengira strategi kami berhasil, bapak tiba-tiba muncul dari balik pintu.
Menegur keras kami berempat, setelah sebelumnya menghadiahi kami dengan tamparan
kecil di pipi. Kami serempak bungkam dan tertunduk malu. Tak berani mengajukan
pembelaan apapun.
Masa puasa ramadhan adalah saat yang menyenangkan. Dengan adanya sepupu dari keluarga
bapak berkumpul di rumah, menjalani ibadah puasa terasa ringan dan
menyenangkan. Walaupun saat itu belum tersedia jaringan PLN. Listrik hanya
tersedia dari mesin genset. Yang hidup jam 6 sore, dan mati jam 12 malam. Lalu
menyala lagi saat jam 4 pagi. Malam hari terkadang kami isi dengan bermain
kartu remi. Bagi yang kalah, selain harus mengocok kartu juga kebagian jatah
untuk diolesi wajahnya dengan jelaga lampu minyak yang ada di kamar. Walhasil,
ketika bangun sahur akan ketahuan siapa yang paling sering dapat giliran
mengocok kartu.
Saat
berbuka biasanya ditandai dengan suara dentuman yang terdengar cukup keras.
Konon sumber suara dentuman itu adalah dari meriam kuno yang ada di masjid agung
kota Salatiga. Kami biasa menunggu suara dentuman itu dengan berjalan-jalan di
sekitar perumahan, lalu berlarian pulang dengan riang gembira saat suara
dentuman sudah terdengar. “Bukaaaaaa...” begitu suara teriakan kami saat
berlarian menuju rumah. Es syrup dan kelapa muda menjadi favorit menu buka kami, terkadang ibu juga
membuatkan es buah atau kolak. Kakak yang besar kebagian jatah membeli es batu
dengan sepeda motor ke daerah desa Getas.
![]() |
Bersama adik bungsuku, di samping rumah "Loji" Daren |
Sekitar
empat tahun aku tinggal di situ. Mulai akhir kelas 1 hingga pertengahan kelas
5. Prestasiku lumayan gemilang saat di SD itu. Entah karena otakku yang lumayan
encer, atau gurunya yang segan dengan bapak. Selalu masuk tiga besar. Yang
tersering menjadi rangking 1. Terkadang ranking 2 atau 3. Seingatku, saingan
ranking di SD saat itu adalah Nurcholis, Atik dan Immawati.
Agak
sedih kalo mengingat Nurcholis ini. Saat itu kami kelas 5. Kejadian diawali
saat adik bungsuku sakit diare. Aku ikut menemani ibu membawa adik ke dokter langganan
keluarga kami di salatiga, Dokter Hardi. Di mobil, ibu duduk di depan memangku
adik, aku duduk di sampingnya. Aku terus mendampingi hingga masuk ke ruang
dokter dan melihat adik diperiksa. Aku mendengar bapak bicara singkat saat
keluar ruang dokter. “Opname” kata bapak. Waktu itu aku belum begitu memahami
artinya. Aku baru paham ketika orang tuaku membawa adik ke Rumah Sakit DKT. Adikku
harus dirawat inap. Aku tetap mendampinginya hingga ke dalam kamar. Lalu ikut
pulang dengan bapak. Ibu tinggal di rumah sakit, menunggui adik. Malamnya kami
tidur di rumah tanpa ibu dan adik. Pagi hari saat bersiap hendak ke sekolah, bapak
sudah terlihat gelisah ketika melihat aku bolak balik masuk kamar mandi. Tapi
aku tak mengeluarkan keluhan apapun. Tak ada rasa tak enak yang aku rasakan
saat itu. Hanya mules di perut yang tak hilang-hilang serta badan yang terasa
lemas. Terus bersambung bahkan ketika aku sudah ada di dalam kelas. Beberapa
kali aku minta ijin untuk ke kamar kecil. Saat itu sudah aku dengar kabar, kalo
Nurcholis meninggal akibat sakit muntaber. Guru akhirnya menyuruh aku pulang.
Sampai di rumah, bapak langsung menyiapkan pakaian dan mengantarku ke rumah
sakit. Aku bergabung di ruang kamar bersama adikku. Masuk kamar aku langsung
diinfus dan disuruh banyak minum oralit. Besoknya, kakakku yang nomer tiga terjangkit
sakit yang sama dan harus diopname juga di rumah sakit. Jadi dari empat bed
yang ada di kamar, ketiganya dipakai kami kakak beradik. Tinggal satu bed lagi
yang dipakai anak lainnya. Kakak yang nomer satu dan dua akhirnya dilarang
untuk ikut menengok atau berada di sekitar kami. Itulah pengalaman pertamaku
dirawat di rumah sakit. Saat itu di daerah salatiga terjangkit wabah sakit
muntaber. Banyak yang meninggal akibat sakit itu. Termasuk nurcholis, teman
sekelasku, saingan juara kelas..
Saat
awal masuk SD, seingatku uang jajan yang kubawa ke sekolah kalo tidak salah 5
rupiah. Kami dulu menyebutnya “limang gelo”. Sudah bisa dipakai untuk beli
gendar pecel dan es lilin. Sekali waktu aku pernah dikasih famili, entah om
atau pakde, uang jajan 100 rupiah. Esoknya aku bergaya layaknya juragan besar
yang banyak duit. Sekitar 5 orang kawan aku ajak berangkat bareng ke sekolah.
Di jalan aku minta mereka berjalan berbaris layaknya tentara. Dengan
iming-iming, entar bakal aku traktir jajan sepuasnya di warung jajan sekolah.
Sudah hebat sekali aku rasa saat itu. Serasa kayak konglomerat dengan uang
berlimpah. Hanya gara-gara ada uang 100 rupiah di sakuku.
Tidak
seperti anak-anak jaman sekarang, yang disibukkan dengan video game, play
station dan sejenisnya, kami dulu banyak menghabiskan waktu bermain dengan
game-game outdoor yang menyenangan. Permainan seperti bentengan, sodoran,
umpetan, anggar, umbul sangat mewarnai masa kekanakan kami. Warna yang sudah
tidak ditemui lagi saat ini. Favoritku adalah game sodoran dan betengan.
Sodoran atau gobak sodor biasa dimainkan di tempat lapangan bulu tangkis di
depan rumah yang aku tempati. Kami dibagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok
penjaga markas atau garis, kelompok lainnya bertugas untuk menyusup dan masuk
ke dalam tempat pertahanan musuh tanpa boleh terpegang oleh kelompok penjaga.
Kami memainkannya dengan penuh keriangan dan sukacita. Walau terkadang ada
perselisihan sikap, tapi bisa langsung terselesaikan saat itu juga. Ahh.. andai
kaum dewasa mau meneladani kehidupan saat anak-anak. Betapa saat itu semua
masalah bisa terselesaikan tanpa harus merendahkan atau merugikan salah satu
pihak.
Dengan
teman-teman sebaya, kami sering juga bermain kemah. Membangun sebuah kemah di
samping rumah. Kami cari bambu atau kayu-kayu kecil sebagai rangka, lalu ditutup
dengan selimut atau kain punya ibu sebagai dinding serta atapnya. Kami tidur di
situ sampai pagi. Kami terbiasa juga main masak-masakan. Dengan panci kami
menanak nasi, lalu membuat sayur. Yang paling sering memasak sayur genjer atau
sayur kangkung. Kami ambil sayurnya dari tepi sungai di dekat tempat pemandian
umum komplek. Entah bagaimana sebenarnya rasa masakan kami saat itu, yang jelas
makan nasi dengan lauk rasa senang dan gembira ternyata mampu melahirkan
kebahagiaan.
Terkadang,
dengan beberapa kawan yang lebih tua atau besar, kami “Obor welut”. Malam-malam
menyusuri persawahan dengan membawa lampu petromax atau obor mencari belut.
Cukup jauh kami melakukan pencarian, hingga ke dusun tetangga. Aku ingat, suatu
waktu kulihat sebentuk belut yang melingkar di lumpur persawahan. Aku mengendap
mencoba menangkapnya. Dan berhasil, benda melata itu bisa aku tangkap. Tapi aku
kaget, ketika kurasakan kulitnya kasar (kasap). Kulit belut biasanya licin. Aku
ketakutan, segera aku lempar kembali hewan melata itu ke sawah karena
kemungkinan besar itu adalah ular, bukan belut. Saat itu kami punya
kepercayaan, jika saat mencari belut ketemu dengan ular biasanya belut yang
bisa kami tangkap akan sangat sedikit. Beberapa kali memang terbukti demikian,
jika kami ketemu ular maka kamipun akan sangat jarang bertemu dengan belut.
Belut hasil tangkapan kami itu biasanya langsung diolah malam itu juga. Dicuci
dan dibuang isi perutnya di sungai, lalu digoreng untuk lauk teman makan nasi.
Selain
kekhawatiran bertemu ular, saat itu kami juga dihantui kekhawatiran jika
bertemu banaspati. Salah satu jenis hantu yang konon berbentuk kobaran api yang
melayang saat malam hari mencari mangsa.
Menyenangkan
sekali jika mengingat masa-masa permainan malam saat kecil dulu itu. Ketika
kami semakin besar, bapak lalu membelikan sebuah tenda yang lebih bagus dan
bisa dirakit oleh anak-anak seumuran kami. Acara berkemahpun menjadi semakin
mengasyikkan. Bapak juga sempat membuat pembiakan belut dengan memanfaatkan
bak-bak lateks karet yang tidak terpakai.
Game
lain yang juga menyenangkan adalah game “meriam”. Kami membuat meriam dari
tabung bambu, lalu dinyalakan dengan membakar minyak tanah yang dituangkan
melalui lubang yang dibuat dalam tabung itu. Bunyi meriam akan menggelegar jika bahan bambu yang dipakai juga bagus. Suara dentumannya seperti bunyi
meriam pertanda masuk waktu berbuka puasa yang dibunyikan dari kota salatiga.
Kadang kami dibagi menjadi dua tim, saling berhadapan dengan dipisahkan jalan.
Kami mengisi moncong meriam itu dengan buah-buahan yang sudah busuk atau yang
masih mentah. Kami tembakkan ke arah pasukan musuh di seberang jalan. Juru
tembak atau petugas yang memegang api harus super hati-hati. Kalau tidak tepat
cara memasukkan nyala api ke lobang meriam bambu, apinya bisa menyala balik ke
arah penembaknya. Beberapa orang sempat tersambar api yang membalik itu,
terpaksa harus ikhlas merelakan alis matanya terbakar.
Game
lainnya adalah petak umpet, kami dulu menyebutnya umpetan. Peserta kembali
dibagi dua kelompok. Satu kelompok bertugas menjaga base camp yang biasa ditandai
dengan apa saja. Sebatang kayu, pohon atau dinding rumah. Mereka bertugas
menjaga base camp itu agar jangan sampai terebut pihak musuh. Perebutan
ditandai jika ada salah satu pihak musuh yang mampu memegang base camp itu.
Semua anggota kedua kelompok tidak boleh saling melihat. Jika ada salah seorang
peserta terlihat anggota musuh dan namanya diteriakkan maka dia dihitung sudah
gugur dan harus keluar dari arena
permainan.
Game
ini cukup mengasyikkan. Kami memainkannya dengan membayangkan seolah benar-benar
berada di arena pertempuran. Dan senjata yang kami pegang adalah suara teriakan
menyebutkan nama peserta dari pihak musuh. Game ini biasa kami mainkan selepas
siang dan akan berakhir ketika menjelang maghrib, ketika ibu kami sudah sibuk
menyuruh orang mencari kami agar segera pulang dan mandi. Saat itu, tempat
persembunyian favoritku adalah sebuah rumah kosong di depan masjid. Aku biasa
masuk disitu, mencari tempat sembunyi yang nyaman dan leluasa pandangan keluar
lalu waspada mengamati situasi sekitar. Mencari keberadaan anggota pasukan
musuh.
Di
sebelah komplek perkampungan kami ada mengalir sebuah sungai yang tidak terlalu
besar tapi ada beberapa tempat yang airnya cukup dalam. Ada dua kegiatan yang
sering kami mainkan di situ. Berenang dan mencari ikan. Kegiatan berenang
selalu kami mainkan secara diam-diam. Akan menjadi malapetaka besar jika ibu
sampai mengetahuinya. Sebuah jeweran keras di telinga akan kami dapatkan sebagai
imbalannya. Ada sebuah tempat yang agak jauh dari perumahan biasa kami pakai
untuk arena berenang. Selesai puas berenang kami tidak berani langsung pulang.
Kami jalan-jalan atau pergi kemana dulu, agar rambut yang basah segera
mengering. Tapi ibu memang agak sulit dikecoh. Pernah suatu ketika, kami
berenang di sungai saat ada sudara sepupu yang datang berkunjung. Ketika sudah
selesai, rambut sudah kering dan kami rasa sudah aman, kamipun pulang. Sampai
di rumah ibu memanggil saudara sepupu itu, lalu mengambil sisir untuk merapikan
rambutnya. Nah... dari kegiatan itulah ibu tahu kalo kami habis berenang di
sungai. Karena ibu menemukan butiran-butiran pasir yang menyangkut di sisir.
Acara
yang lebih besar di sungai adalah mencari ikan, kami dulu menyebutnya “Memed”.
Di tempat yang terpantau mempunyai banyak potensi ikan kami bendung aliran air
di bagian atasnya. Acara ini melibatkan anak-anak remaja yang lebih besar,
bahkan terkadang bapak-bapakpun turut serta. Setelah aliran sungai dibendung
lalu air yang tergenang dikuras dengan membuang airnya memakai ember. Atau
istilahnya kami “tawu”. Saat air mulai dangkal itulah saat-saat yang
menggembirakan. Sudah mulai terlihat ikan-ikan yang berloncatan. Kami menyebur
ke dalam dan memunguti ikan-ikan itu. Kegiatan ini harus kami lakukan
secepatnya, karena kekuatan bendungan yang menahan air dari atas tidak bisa
terlalu lama. Jenis ikan yang paling banyak kami tangkap saat itu adalah ikan
wader. Aku tidak begitu paham istilah nasional dari ikan wader ini. Terkadang
dapat juga ikan kotes. Semacam lele tapi tidak menyengat. Ikan-ikan itu dikumpulkan
lalu ketika selesai salah seorang yang dituakan membagi rata ikan-ikan itu
kepada semua peserta penguras sungai.
Selain
itu, bapak juga menggiatkan kegiatan olah raga untuk kami. Di depan rumah
dibuat lapangan buku tangkis. Sudah dilengkapi lampu besar yang memancar dari
atas, jadi kamipun bisa melakukan kegiatan olah raga bulu tangkis saat malam
hari. Kegiatan olah raga ini biasanya sejalan dengan jenis yang sedang jadi
trending di tingkat nasional. Jika sedang berlangsung event bulu tangkis Thomas
Cup dan Uber Cup maka kami di kampung pun akan semakin semangat melangsungkan
kegiatan-kegiatan bulu tangkis. Terkadang dilangsungkan juga pertandingan bulu
tangkis antar afdeling atau bagian. Seingatku, pertandingan ini dilaksanakan di
gedung milik Balai Penelitian Karet Getas. Kami dulu menyebutnya gedung RC,
karena di depan gedung terpampang besar papan nama RC atau Research Center.
Sepak
bola, menjadi jenis olah raga favorit berikutnya. Jika sedang berlangsung
siaran Piala Dunia, maka tiap malam rumahku akan penuh dengan warga komplek
yang ikut menumpang menonton TV. Saat itu hanya ada satu rumah yang memiliki
TV, yaitu rumah kami. Masih TV hitam putih, belum berwarna.
Aku
ingat betul suasana di rumah saat berlangsung siaran langsung final sepak bola
piala dunia. Riuh ramai dipenuhi orang yang menonton. Di paling depan,
anak-anak duduk bersimpuh. Disusul remaja dan pemuda di belakangnya. Dan
bapak-bapak berjajar di barisan belakang. Barisan paling belakang bahkan harus
berdiri di atas kursi atau meja agar tidak terhalang oleh penonton di depannya.
Suasana
seperti itu juga terjadi jika televisi menyiarkan pertandingan tinju Muhammad
Ali. Sebagian besar kaum lelaki di komplek berkumpul di rumah. Kebiasaan ini
berubah ketika sudah tersedia TV lain di depan kantor. Malah aku yang
terkadang ikut nimbrung menonton TV di situ. Terasa menyenangkan menikmati suasana
ramai penuh keakraban seperti itu. Riuh rendah oleh suara-suara komentar para
penontonnya.
Dahulu,
Tim sepak bola kebun Getas cukup disegani di daerah Salatiga dan Jawa Tengah
pada umumnya. Jika tim sepak bola kebun getas bertanding, karyawan dari semua
afdeling dikerahkan untuk datang ke lapangan induk kebun. Menonton pertandingan
sekaligus menjadi supporter. Terkadang, sebelum acara pertandingan inti
dimulai, diadakan pertandingan eksibisi dari tim anak-anak atau yunior. Ramai
sekali jika sedang ada acara pertandingan sepak bola itu. Bambang Pamungkas, salah seorang bintang sepak bola nasional saat ini juga berasal dari
kebun getas. Bapaknya salah seorang karyawan bagian teknik di situ.
![]() |
Aku berdiri di tengah, bersama Tim Sepak Bola junior Kebun Getas |
Di
afdeling bapak mempunyai dua komplek perumahan karyawan. Keduanya berdekatan,
paling berjarak sekitar lima ratus meter. Nama komplek tempat aku tinggal
adalah Daren, sedang komplek di sebelah namanya Tembir. Terkadang aku main ke
komplek sebelah. Ada sahabat dekatku si situ. Namanya Jlamprong Somadi. Kalo
tidak salah dia anak kepala mandor di afdeling bapak. Setiap kali aku main ke
rumahnya selalu dipersilahkan makan oleh ibu dan bapaknya. Aku sangat menikmati
suasana main ke rumah jlamprong itu. Aku tak begitu ingat, apakah dia
seangkatan di sekolahku atau adik kelas. Bapak dan ibunya sangat ramah setiap
kali aku main ke rumahnya.
Ada
kejadian aneh saat kami tinggal di kampung daren itu. Seperti biasa, malam itu
banyak anak-anak dan remaja komplek yang berkumpul di ruangan tengah rumahku
untuk menonton TV. Bapak duduk berbaring santai di kursi malas sambil membaca
buku. Dari cerita bapak, mendadak beliau merasakan ada suasana yang aneh. Ada suara
seperti kain yang dikebutkan di luar rumah. Lalu saat bapak melihat sekeliling,
semua orang yang saat itu sedang menonton TV ternyata semuanya sudah tergeletak
tertidur. Bapak bangkit dari kursi lalu dengan lantang mengumandangkan Adzan.
Dan mungkin ada beberapa bacaan lagi yang bapak ucapkan. Tak lama kami semua
bangun, tapi tak menyadari apa yang barusan terjadi. Yang aku dengar setelah
itu, konon ada orang dengan niat jahat yang mengendap di sekitar rumah kami.
Dia mengamalkan ajian sirep. Yang bertujuan untuk membuat semua orang di dalam
rumah tertidur. Aku mengenal bapak sebagai orang yang taat beribadah, dan
menghindari persinggungan dengan hal-hal yang berbau klenik. Mungkin ketebalan
imannya lah yang membuat beliau bisa terhindar dari serangan ilmu sirep.
Saat-saat
pelaksanaan pemilu juga memberi warna tersendiri di lingkungan perkebunan. Saat
itu hanya ada tiga partai yang menjadi peserta pemilu. Golkar, PPP dan PDI.
Bapak menjadi salah satu juru kampanye golkar. Saat itu, setiap warga
perkebunan negara diwajibkan mencoblos golkar. Akan menjadi malapetaka besar
jika di perkebunan ada suara lain yang dicoblos selain Golkar. Setiap malam
bapak selalu memantau hasil perhitungan suara di kebun dan sekitarnya melalu
radio SSB. Aku yang saat itu masih jadi anak SD turut tekun mengikuti perkembangan
kegiatan pemantauan bapak. Ada kejadian menarik saat aku ikut kegiatan bapak
menjadi juru kampanye golkar di daerah ungaran. Kami datang ke lokasi kampanye
dengan kendaraan jeep yang sudah dibuka kabinnya. Bapak mengambil tempat di
kursi depan, berdiri di samping supir sambil mengacung-acungkan jarinya
membentuk tanda “2” atau nomor urut golkar. Aku duduk di bangku belakang. Kami
semakin dekat ke lokasi kampanye. Warga sudah menyambut kami dengan berkerumun
di tengah jalan. Kami datang dari arah jalan menanjak di atas bukit. Saat mobil sudah
melewati puncak tanjakan dan meluncur ke bawah ke arah kerumunan massa,
tiba-tiba supir teriak kalau remnya blong. Bapak segera berdiri dan
melambai-lambaikan tangan agar massa yang berkerumun di depan menyingkir. Tapi
massa tidak langsung memahami maksud bapak. Mereka tetap berkerumun di tengah
jalan menyambut kedatangan kami. Bapak semakin semangat melambai-lambaikan
tangan ke arah massa, sambil memperkeras teriakan agar massa menyingkir.
Syukurlah, saat mobil sudah semakin dekat, massa bisa memahami maksud teriakan
bapak dan segera menyingkir dari tengah jalan, sehingga mobil kami bisa terus
melaju tanpa harus menabrak kerumunan warga.
Kalau
untuk acara rekreasi, kami biasa berenang di tempat pemandian salatiga yang saat
itu kami sebut “Taman sari”. Entah sekarang masih ada atau tidak.
Terkadang bapak mengajak kami menonton film di gedung bioskop. Nama gedungnya Salatiga Theatre, tepat di depan terminal angkot. Setelah menonton bapak
biasanya mengajak kami makan di rumah makan langganan kami. Namanya rumah makan
“Manis”. Aku biasa memesan gulai kambing di situ. Toko buku langganan bapak
adalah Toko “Kukuh Subardi”. Kalau apotek langganan kami adalah apotek “Wahid”.
Dan ibu biasa membeli bahan-bahan pembuat kue di toko “56”. Lima
tempat di salatiga itulah yang masih aku ingat hingga sekarang. Entah mereka
masih ada atau tidak pada saat ini.
Tinggal
di rumah dinas sinder Daren itu menyenangkan. Rumahnya besar, banyak anak-anak
sebaya yang menjadi teman sepermainan. Dan yang paling menyenangkan, ada banyak
pohon buah di halaman rumah kami. Beberapa batang pohon durian, pohon rambutan,
mangga, jambu air dan jambu dersana. Yang paling seru jika masuk musim buah durian. Setiap malam, kami biasa tekun menonton TV atau belajar di
dalam rumah, tapi telinga kami pasang sedalam-dalamnya. Berharap mendengar
suara “Bukkk” dari luar. Karena itu tanda kalau ada buah durian matang yang
jatuh. Ada sekitar empat pohon, atau mungkin lebih. Aku ingat satu kejadian
pada saat itu. Ketika waktu sore, dan turun hujan yang agak lebat. Kami
memantau situasi di luar melalui jendela yang dibuka. Dan akhirnya terjadilah
hal yang kami tunggu itu. Satu buah durian rontok dan jatuh ke tanah. Walaupun
saat itu hujan, kakak keduaku nekad keluar hendak mengambilnya. Dia berlari
menerobos hujan menuju buah yang jatuh. Aku melihat dengan mata kepalaku
sendiri saat itu. Tepat ketika dia berlari dibawah deras hujan, satu butir buah
durian lain rontok juga. Tepat dari atas kepala kakak. Kami berteriak keras.
Dan aku melihat sendiri, ketika buah durian itu berada di atas kepala kakak,
tiba-tiba dia membelokkan arah larinya. Sedikit menyamping ke kiri lalu kembali
lagi ke jalur awal. Betul-betul seperti ada yang membelokkan arah larinya. Aku tak ingat,
apakah saat itu dia sempat cerita alasan dia berbelok arah itu karena mendengar
teriakan kami atau ada hal lainnya. Akupun tak sempat menanyakan hal ini
kepadanya. Pada tahun 1998 atau 1999, saat usianya sekitar 30 tahun kakak keduaku meninggal
dunia. Aku sedang tinggal di Aceh saat itu.
Sungguh menyenangkan mengingat waktu-waktu yang aku jalani saat tinggal di daerah Salatiga itu. Pada tahun 2015 ini aku dengar kabar kalau sebagian areal tanaman karetnya akan dialih fungsikan menjadi jalur jalan tol Semarang - Solo. Semoga hal ini membawa kemaslahatan dan manfaat yang besar bagi warga kampung Daren, Sembir dan sekitarnya.
Dan
saat kelas lima SD pada catur wulan kedua, bapak akhirnya mutasi lagi. Masih di
kebun yang sama, Kebun Getas – Banaran, tapi berpindah ke afdeling lain. Menjadi sinder
afdeling Kempul. Akupun berpindah sekolah. Dari SD negeri Pabelan menuju SD
Negeri Bawen.
(Bersambung...)
0 Response to "Story of Nogoro (Bagian-1)"
Post a Comment