KISAH TENTANG KEMATIAN

Aku ingin cerita tentang kematian.
Seputar kejadian-kejadian yang terkait dengan kisah kematian, dalam rentang usia duniaku.

Sungguh, hidup di dunia ini sejatinya hanyalah tentang menunggu ajal. Yang tak pernah bisa kita ketahui dengan pasti, tentang kapan bakal kedatangannya. Dan begitu dia datang menghampiri kita, pada saat itulah kita baru tersadar. Bahwa dunia ini memang bukanlah segalanya.

Mungkin ada sebagian manusia yang begitu berat meninggalkan dunia. Hatinya sudah sangat kuat terikat dengannya. Di matanya, memandang dunia hanyalah tentang memandang keindahan, kemegahan dan kenikmatan. Ini adalah ciri manusia yang kelak akan merugi. Kurang meyakini akan adanya alam setelah kematian. Segala yang dilakukannya semata hanya untuk mengejar dunia. Menumpuk kekayaan harta, dan kemasyhuran nama. Beribadah kepada Sang Pencipta hanya sekedarnya saja. Semua penjuru indera tubuhnya sudah tertutup dengan panah-panah si penggoda manusia.

Semoga kita terhindar dari sifat sedemikian...

Aku mulai kisahku dengan pengalaman pertama melihat upacara pemakaman.


🔆  PABELAN, SEKITAR TAHUN 1979

Aku sekolah di SD Negeri Pabelan, Kecamatan Salatiga. Tempat tinggalku di kampung Daren. Sekitar 1,5 km jarak antara rumah ke sekolahku. Saat itu kami hendak pulang ke rumah setelah bubaran sekolah. Sekitar 100 meter dari jalan aspal menuju arah rumahku sedang ada upacara pemberangkatan jenazah. Orang tua dari salah seorang adik kelas sekolahku meninggal. Aku tak ingat nama gadis kecil itu. Kami berdiri di tepi jalan depan rumahnya. Keranda itu dipanggul warga, lalu diangkat. Diiringi doa-doa yang dilantunkan pemuka agama. Sekitar empat orang tegap berdiri memanggul keranda. Lalu keluarga yang berduka berjalan beriringan mengelilingi keranda itu. Wajah mereka sembab menahan tangis. Termasuk gadis kecil adik kelasku itu. Sambil terisak dia berjalan melewati lorong di bawah keranda jenazah. Peristiwa ini terjadi sekitar 40 tahun yang lalu. Aku masih mengingatnya, meskipun semakin samar. Inilah pengalaman pertama dalam hidupku melihat upacara pemakaman.


🔆  WAFATNYA BAPAK

Tahun 1994, Bapak menjadi Manajer (Administratur) kebun teh Kaligua di daerah Bumiayu, Brebes. Aku kuliah di UNS Solo, tinggal di rumah kost depan kampusku. Di seberang jalan raya nasional Solo - Surabaya.


Bapak saat menjabat sebagai Administratur kebun teh Kaligua, kebun terakhir dalam masa tugasnya
Saat itu hari jumat. Selesai kuliah pagi, seperti biasa aku kumpul dengan teman-temanku di daerah timur kampus. Di tempat kost teman kuliahku. Sugeng, Wawan dan Nugie. Menjelang shalat jumat, Antok kawanku yang asli orang Solo mendatangiku. Dia cerita kalau mendapat telpon dari kakakku dan diminta tolong untuk menyampaikan pesan kepadaku. Saat itu orang-orang belum lazim menggunakan piranti komunikasi selular seperti saat ini. Kakakku menyampaikan pesan bahwa Bapak jatuh sakit, dan dirawat di rumah sakit Purwokerto.

Selesai shalat jumat aku bergegas berangkat menuju Purwokerto. Menaiki bus ke Jogja, lalu berganti kendaraan yang jurusan Purwokerto. Aku ingat, saat kumandang adzan Isya aku baru sampai di daerah Purworejo. Aku dengarkan suara adzan dari dalam bus. Kurasakan ada yang tidak biasa pada saat itu. Seolah ada sesuatu yang terlepas dari dalam diriku.

Aku sampai Purwokerto jam 9 malam lebih. Menjelang masuk kota ada bundaran besar yang disampingnya berdiri RSU Margono. RS terbesar di kota Purwokerto. Aku turun, lalu kucari telpon umum. Aku hubungi familiku di Purwokerto. Ada adik Bapak dan sepupu-sepupuku yang menetap di sana. Kabar yang aku terima, Bapak ternyata tidak dirawat di RS Margono tapi di RS DKT. Kembali aku bergegas ke situ dengan mengendarai ojek motor.

Aku turun sesampainya di depan rumah sakit. Kakak sepupuku sudah menunggu di situ. Dia mendampingiku menunjukkan kamar tempat Bapak dirawat. Kami berjalan beriringan tanpa banyak kata terucap. Menuju sebuah kamar, terlihat beberapa orang ada di depan dan di dalam kamar. Aku langsung membuka pintu kamar dan melihat pemandangan di dalamnya. Ibu terbaring di ranjang kecil di sudut kamar. Menangis terisak didampingi famili dan kenalan kami. Omku berdiri di dekat ranjang utama. Tubuh Bapak terbaring di situ. Dengan sekujur tubuh tertutup selimut. Dari kaki hingga kepala. Seluruhnya. Aku ingat ucapan spontanku saat itu. "Lhoh...."

Aku mendekati ranjang. Omku membuka selimut Bapak. Bapak terlihat terbaring dengan wajah tenang. Seperti orang tidur. Saat itu juga aku benar-benar tersadar, bahwa Bapak telah berangkat pulang. Aku pegang tubuhnya. Belum begitu dingin. Masih ada sisa kehangatan yang terasa. Aku panjatkan doa dari samping pembaringannya. Betapa saat itu aku begitu berharap dan memohon, agar kematian Bapak ini adalah kematian yang baik. Husnul khatimah...

Setelah itu baru aku mendekati Ibu. Aku jabat tangannya lalu Ibu memelukku dengan derai tangis. Aku tanyakan bagaimana kejadian akhir hayat Bapak. Dengan suara tersendat, serta dibantu orang-orang yang ada di situ, Ibu bercerita.

Hari kamis siang Bapak ada acara di luar kebun. Pulang ke rumah dinas kebun sudah larut malam. Tetapi karena ada agenda penting yang harus dibicarakan dengan jajaran kebun, Bapak mengumpulkan mereka semua di rumah dinas manajer. Rapat sampai tengah malam. Selesai rapat baru Bapak mengerjakan agenda pribadi. Beliau mandi, ganti pakaian lalu mendirikan shalat. Malam itu beliau shalat sampai dini hari. Diselingi tadarus kitab suci. Beliau terus bermunajat hingga tiba waktu fajar. Setelah selesai shalat shubuh, Bapak mengganti pakaian. Beliau berencana melihat kondisi pabrik yang sedang mengolah Teh. Tapi Ibu mencegahnya, menyarankan agar tidur dulu baru paginya ke pabrik. Bapak menurut, lalu mengganti pakaian lagi dan berbaring di samping Ibu. Sekitar 15 menit kemudian Bapak tiba-tiba tersedak hingga terduduk. Lalu jatuh lunglai di tempat tidur. Tak mampu menyahut berulang kali panggilan Ibu dari sampingnya. Ibu bergegas memanggil petugas kesehatan untuk memeriksa Bapak. Bapak sudah tidak bisa berbicara lagi saat itu. Hanya mata beliau saja yang berkejapan.

Ternyata saat itu pembuluh darah di daerah dada (jantung) Bapak telah pecah. Pagi hari itu juga Bapak dibawa ke RS DKT Purwokerto dan langsung mendapatkan penanganan. Tekanan darah Bapak naik turun pada hari itu. Menjelang sore hari konon tekanan darahnya sempat turun. Keadaan yang sempat membuat lega keluarga yang menunggui Bapak.

Dan sekitar jam 7 malam Bapak menghembuskan nafas terakhirnya. Ketika beliau berusia 50 tahun lebih satu bulan sejak kelahirannya di dunia ini tahun 1944 silam. Masih tersisa cukup waktu, pengabdian beliau di Perusahaan Perkebunan Negara ini. Kalau kufikirkan kembali, saat-saat itu mustinya bertepatan dengan saat aku dengar kumandang adzan di purworejo tadi. Saat itu aku rasakan seperti ada yang terlepas dari dalam diriku.

Sejujurnya, saat itu justru ucapan syukur yang telontar dari batinku. Aku bahagia mendengar cerita tentang kisah akhir hidup Bapak. Bahwa kegiatan terakhir yang beliau kerjakan saat menjelang maut adalah shalat dan mengaji. Aku tidak menangis pada malam itu. Kutenangkan Ibu. Aku bisikkan agar banyak terlontar ucapan-ucapan baik pada saat kematian seseorang.

Tengah malam rombongan kakakku datang dari Semarang. Jenazah Bapak sudah dipindahkan ke ruang jenazah. Aku menunggui di situ. Aku berunding dengan kakak dan keluarga yang saat itu ada di rumah sakit. Kami sepakat jenazah Bapak akan dibawa ke Semarang dan dimakamkan di sana.

Tengah malam itu juga jenazah Bapak kami bawa ke Semarang. Aku ikut menaiki mobil jenazah. Kakak keduaku duduk di belakang, di sisi peti jenazah. Aku duduk di depan, di samping pengemudi. Kami shalat shubuh di perjalanan. Dan sampai di rumah kami di komplek perumahan Ngaliyan Semarang sekitar jam 6 pagi.

Rumah kami sudah ramai oleh kerabat dan tetangga yang menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan. Lancar sekali pekerjaan mereka saat itu. Menyiapkan peralatan untuk memandikan jenazah Bapak, perlengkapan kain kafan serta menyiapkan ruangan tengah untuk menshalatkan jenazah Bapak.

Aku turut serta saat memandikan jenazah Bapak. Aku rasakan tubuh Bapak sudah dingin. Kami berulang kali mengguyurkan air sesuai tuntunan yang kami yakini. Kakak keduaku juga turut serta. Aku lihat dia begitu terpukul dengan wafatnya Bapak. Isakan tangisnya berus terdengar tiada berhenti. Aku memintanya agar tidak usah ikut memandikan jenazah Bapak. Aku khawatir tetesan air matanya mengenai jasad Bapak. Biarlah Bapak pulang menghadap Pencipta-Nya dengan tenang.

Sampai detik menjelang siang itu tak setetespun air mataku mengalir. Tak ada isakan tangis dariku. Hatiku saat itu terasa tenang. Aku justru bahagia. Cerita Ibu tentang saat-saat terakhir kehidupan Bapak itu begitu kuat menghunjam ke dalam pikiranku. Saat itu aku begitu yakin, bahwa kematian Bapak adalah husnul khatimah. Sebuah akhir kehidupan dunia yang baik. Lalu, kenapa kita harus menangis. Siapa sebenarnya yang kita tangisi. Apa yang sejatinya kita ratapi. Apakah kita menangisi Bapak...? Bukankah beliau Insya Allah sudah mendapatkan akhir kehidupan yang baik...
Atau jangan-jangan sebenarnya kita menangisi diri kita sendiri... Yang sudah tidak mungkin lagi dapat berkomunikasi dengan almarhum di alam dunia ini...

Kami lalu mendirikan shalat jenazah di dalam rumah. Saat memanjatkan doa itulah aku akhirnya menangis. Bukan menangisi kepergian Bapak. Aku menangisi diriku sendiri. Apakah aku mampu meneladani segala ajaran dan bimbingan beliau selama ini....

Saat imam shalat jenazah memanjatkan doa, aku sedikit terhenyak saat mendengar lantunan doa yang dipanjatkan. Aku mengenal itu sebagai lantunan doa yang lazim diamalkan dalam kalangan nahdiyin. Yaa... Daerah tempat tinggalku memang sangat kental diwarnai dengan budaya-budaya islam dari kalangan nahdiyin.

Bapak tidak resmi tercatat sebagai anggota perhimpunan Muhammadiyah. Apalagi sebagai pengurusnya. Tapi aku begitu memahami bahwa beliau secara batin lebih condong terikat dengan budaya Muhammadiyah. Beliau sangat mengagumi Buya Hamka. Di lemari buku rumah kami, ada ratusan koleksi buku beliau. Terutama buku-buku karya Buya Hamka. Dari novel-novel sastra, tasawuf moderen sampai satu set buku Tafzir Al-Azhar. Lengkap 30 juzz...

Aku lalu bicara dengan salah seorang famili. Aku minta tolong dengan sangat agar dicarikan pengurus Muhammadiyah Semarang untuk memimpin pengurusan jenazah Bapak.

Akhirnya upaya itu berhasil. Siang hari itu juga ada dua orang lelaki separo baya datang ke rumah. Mereka adalah petugas dari Rumah Sakit Muhammadiyah Roemani Semarang. Acara pemberangkatan jenazah dari rumah dipimpin oleh mereka berdua.

Ramai sekali kerabat dan kenalan yang melayat saat itu. Parkir mobil sampai melewati beberapa gang di samping rumah kami. Salah seorang famili sempat menghitung, saat itu ada sekitar 110 kendaraan roda empat yang membawa rombongan pelayat. Sebagian besar tentunya dari keluarga besar PTP 18. Dari belasan kebun yang ada di segenap penjuru propinsi Jawa Tengah... Alhamdulillah..

Aku ikut mengantar ke pemakaman. Saat itu aku begitu berharap agar semua tahap upacara pelepasan jenazah dipimpin oleh dua orang petugas dari RS Roemani tadi. Mereka melihat kegalauan di wajahku. Di pemakaman, salah seorang dari mereka merangkulku. Beliau membisikkan nasihat ke telingaku. Agar aku tidak terlalu keras dalam menyikapi perbedaan yang ada. Semuanya Insya Allah benar, tidak ada yang salah. Bahwa kebenaran hanyalah milik Sang Penguasa Semesta. "Yang penting kita tahu bagaimana yang seharusnya, mas.. Itu udah cukup.. Tidak baik kalau kita terlalu keras bertentangan dengan lingkungan kita..." Begitu antara lain bisikan beliau. Hatiku menjadi tenang. Aku ikhlaskan pemuka agama setempat kembali mengambil alih panduan acara.

Upacara di pemakaman selesai dengan lancar. Jenazah Bapak sudah dikuburkan di sana. Aku ingat salah seorang teman kuliahku sempat menegurku di sana. Kenapa aku tidak terlihat sedih, atau menangis. Aku hanya tersenyum membalas tegurannya. Teman kuliahku banyak yang melayat saat itu. Mereka berangkat dari Solo. Termasuk istriku, yang saat itu kami belum resmi melangsungkan pernikahan. Dia datang dari Banjarnegara didampingi kakak kandungnya, serta Pipit sahabatnya dari Magelang.

Ini adalah salah satu kisah kematian yang berkesan dalam kehidupanku. Bukan semata karena ayah kandungku yang meninggal. Tapi kisah seputar kematian beliau inilah yang terpateri dalam ingatan memoriku...

Bahwa keseluruhan tahap kehidupan manusia di dunia, pada akhirnya akan ditentukan dengan situasi saat malaikat maut sudah muncul di hadapan kita. Dan mencabut nyawa kita. Saat jiwa kita terpisah dengan raga ini....

Teruslah berdoa dan memohon, agar kelak Dia mengutus malaikat maut menjemput ketika kita dalam keadaan yang baik dan terpuji. Dan semoga kalimat-kalimat dzikir menjadi penutup usia kita...


🔆 MAS SLAMET

Ini kejadian yang belum lama. Saat bulan ramadhan tahun 2017 lalu.
Tentang lelaki separuh baya bernama Slamet.
Lengkapnya Slamet Hernawan.

Mas Slamet ini asli orang Cilacap, daerah Lumbir. Sudah puluhan tahun dia merantau ke Banten. Berawal dari mengemudi kendaraan pemasaran sebuah merk rokok. Akhirnya masuk menjadi karyawan PTPN 8. Dahulu namanya masih PTP 11. Masih tetap dengan profesi ketrampilan  yang dia kuasai. Menjadi pengemudi.

Pada tahun 2009 lalu dia mendampingiku disaat aku mendapat kepercayaan pertama kali menjabat sebagai Asisten Kepala di kebun Cisalak Baru. Di daerah Rangkasbitung, Kabupaten Lebak. Hampir setiap hari kami berdua menjelajah areal sawit seluas -+ 5400 hektar. Dengan segala suka, maupun duka pada setiap situasi yang dihadapi. Dengan segala dinamika yang terjadi.

Mas Slamet ini type orang periang. Setiap bertemu selalu aku dengar derai tawanya, ataupun kulihat seringai senyum di wajahnya. Dia sangat dekat dengan keluargaku. Dengan istri serta ketiga anakku. Apalagi bu Slamet, istrinya, juga bekerja membantu pekerjaan sehari-hari di rumah dinas kami.

Aku yang pernah menetap di Purwokerto, serta istriku yang lahir dan dibesarkan di Banjarnegara, menjadi perekat hubungan diantara kami. Dalam beberapa kesempatan dialog terkadang aku selipkan logat bahasa jawa banyumasan, jika berkomunikasi dengan mas Slamet.

Mas Slamet punya dua orang putri. Mega dan Vivi. Keduanya aku kenal sebagai anak yang cerdas, dan shalehah. Putri sulungnya itu begitu fasih bicara dalam bahasa inggris. Dahulu sempat aku tekankan ke mas Slamet, agar Mega melanjutkan kuliah di perguruan tinggi negeri. Dengan kecerdasan yang dia miliki, aku tak menyangsikan kemampuan akademisnya. Tapi keluarga mereka punya alasan lain. Mega lebih memilih terjun dalam medan dakwah. Dan bertemu jodoh di dalamya. Dia sudah menikah, sudah memberi cucu buat mas Slamet. Dan menetap di Semarang bersama Rico, suaminya.

Saat aku ditugaskan kembali menjadi Asisten Kepala di Kebun Cisalak Baru pada bulan november 2016 lalu, mas Slamet sudah menjadi pengemudi Manajer Kebun. Masih tetap dengan keriangan dan banyolan-banyolan khasnya. Anaknya yang kedua sudah tamat SLTA. Sedikit aku bantu agar mendapat posisi bekerja di kantor kebun. Alhamdulillah, sejak awal tahun 2017 lalu Vivi sudah mendapat posisi di kantor kebun.

Bertemu Mega dan Vivi di Bandara Semarang tahun 2019



Awal ramadhan 2017 kemarin, beberapa kali mas Slamet menceritakan keriangannya. Tentang Vivi yang sudah bisa membantunya membiayai ongkos mereka mudik lebaran ke Jawa. Rencana mereka sudah begitu detail. Menjelang lebaran, mereka bertiga akan ke Semarang ke tempat Mega. Menaiki kereta api. Setelah itu berlanjut ke kampung orang tua mas Slamet di Lumbir. Baru kemudian pulang ke Rangkas. Tiket perjalanan sudah ada di tangan meraka.

Dan tibalah pada satu waktu itu. Hari kamis malam, saat puasa memasuki hari ke-14, jam 8 malam seseorang mengetuk pintu rumahku. Aku buka pintu dan ada Vivi di situ. Dengan suara tersendat dan setengah terisak dia meminta tolong agar bapaknya dibawa ke rumah sakit. Segera aku menuju ke rumahnya. Ada beberapa orang yang sudah berada di dalam rumah mas Slamet. Dia terbaring di atas karpet ruang tamu. Aku dekati dan duduk di sampingnya. Aku amati wajah mas Slamet. Matanya sudah terpejam rapat, hanya napasnya yang terdengar tersendat-sendat. Bu Slamet duduk di sampingnya dengan wajah sembab dan isak yang tertahan. Segera mas Slamet dinaikkan ke mobil dan berangkat menuju rumah sakit.

Aku pulang ke rumah. Ganti pakaian, lalu memanggil Nano pengemudi kendaraan dinasku. Aku naik dan bersiap menyusul ke rumah sakit. Kami hanya berdua di rumah dinas pada saat itu. Aku dan Dani, anak sulungku. Istri dan kedua anakku yang lain ada di rumah pribadi kami di Bogor.

Saat di jalan itulah, aku mendengar kabar kalau Mas Slamet sudah menghembuskan napas terakhirnya ketika masih di perjalanan menuju rumah sakit.

Mas Slamet pulang menghadap penciptanya pada malam jumat di dalam bulan suci ramadhan. Dan aku bersaksi tidak ada siksa sakaratul maut yang dia alami.

Bagiku itu adalah saat dan cara kematian yang indah.  

Dari rumah sakit aku kabarkan berita duka ini kepada sesepuh-sesepuh yang pernah dilayani oleh mas Slamet. Aku telpon pak Budihardjo, pak Sri Hermawan dan pak Hanan. Beliau terkejut mendengar kabar duka ini. Dan menyampaikan pesan akan bertakziah ke pemakaman mas Slamet keesokan harinya.

Mas Slamet hanyalah manusia biasa. Teramat biasa. Tidak ada amalan-amalan hebat khusus yang selalu dia tegakkan.


Foto terakhir mas Slamet, dua hari sebelum menghembuskan nafas terakhir

Aku fikir dan renungkan. Aku coba ingat dan pelajari, dari jalan manakah sehingga Penciptanya memberinya kematian yang baik seperti itu. Mas Slamet bukan orang kaya. Hidupnya hanya sekedar cukup, tidak berlebihan. Tapi dia jujur dalam memegang amanat yang dibebankan ke dirinya. Salah satu keinginannya yang belum mampu dia wujudkan adalah membangunkan sebuah rumah untuk istrinya. Tempat dimana mereka berdua kelak mengisi hari-hari tua setelah pensiun dari perusahaan. Dan jika Vivi si bungsu juga telah menjalani hari-harinya dalam kedewasaan berkeluarga.

Mataku sempat menghangat saat tengah malam itu berjalan pulang dari rumah duka menuju kediamanku.

Aku terngiang ceritanya, saat dia ikut sibuk membantuku ketika aku jatuh sakit tahun 2012 dulu. Beberapa kali dia membantu mengantar dan menjemput keluargaku yang sedang mengurusku ketika dirawat di rumah sakit Cilegon dan Rangkasbitung. Dia cerita mengantar adik dan kakakku, menurunkannya di depan rumah sakit lalu dia pulang. Sempat aku candai mas Slamet ,"kenapa nggak ikut masuk, mas..?"
Dia menjawab "Kulo mboten tega ningali bapak.."
Saya tidak tega melihat bapak.

Selamat jalan, mas Slamet...
Kau pulang pada waktu yang mulia di malam jumat. Di bulan Ramadhan yang suci...

Semoga firman Allah inilah yang menyambut kepulanganmu...
" Wahai jiwa yang tenang.. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha.. Dan diridhai-Nya..."

Aamiin ya arhamarraahimiin...


Argo Kumoro Anak Kebon.. Lahir.. Besar.. Dan menua di Perkebunan

0 Response to "KISAH TENTANG KEMATIAN"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel