KISAH TENTANG KEMATIAN
Aku ingin cerita tentang
kematian.
🔆 PABELAN, SEKITAR TAHUN 1979
🔆 WAFATNYA BAPAK
Aamiin ya arhamarraahimiin...
Sungguh, hidup di dunia ini sejatinya
hanyalah tentang menunggu ajal. Yang tak pernah bisa kita ketahui dengan pasti,
tentang kapan bakal kedatangannya. Dan begitu dia datang menghampiri kita, pada
saat itulah kita baru tersadar. Bahwa dunia ini memang bukanlah segalanya.
Mungkin ada sebagian manusia yang
begitu berat meninggalkan dunia. Hatinya sudah sangat kuat terikat dengannya.
Di matanya, memandang dunia hanyalah tentang memandang keindahan, kemegahan dan
kenikmatan. Ini adalah ciri manusia yang kelak akan merugi. Kurang meyakini akan adanya
alam setelah kematian. Segala yang dilakukannya semata hanya untuk mengejar
dunia. Menumpuk kekayaan harta, dan kemasyhuran nama. Beribadah kepada Sang Pencipta
hanya sekedarnya saja. Semua penjuru indera tubuhnya sudah tertutup dengan
panah-panah si penggoda manusia.
Semoga kita terhindar dari sifat
sedemikian...
Aku mulai kisahku dengan
pengalaman pertama melihat upacara pemakaman.
🔆 PABELAN, SEKITAR TAHUN 1979
Aku sekolah di SD Negeri Pabelan,
Kecamatan Salatiga. Tempat tinggalku di kampung Daren. Sekitar 1,5 km jarak
antara rumah ke sekolahku. Saat itu kami hendak pulang ke rumah setelah bubaran
sekolah. Sekitar 100 meter dari jalan aspal menuju arah rumahku sedang ada
upacara pemberangkatan jenazah. Orang tua dari salah seorang adik kelas
sekolahku meninggal. Aku tak ingat nama gadis kecil itu. Kami berdiri di tepi
jalan depan rumahnya. Keranda itu dipanggul warga, lalu diangkat. Diiringi
doa-doa yang dilantunkan pemuka agama. Sekitar empat orang tegap berdiri
memanggul keranda. Lalu keluarga yang berduka berjalan beriringan mengelilingi
keranda itu. Wajah mereka sembab menahan tangis. Termasuk gadis kecil adik
kelasku itu. Sambil terisak dia berjalan melewati lorong di bawah keranda
jenazah. Peristiwa ini terjadi sekitar 40 tahun yang lalu. Aku masih
mengingatnya, meskipun semakin samar. Inilah pengalaman pertama dalam hidupku
melihat upacara pemakaman.
🔆 WAFATNYA BAPAK
Tahun 1994, Bapak menjadi Manajer
(Administratur) kebun teh Kaligua di daerah Bumiayu, Brebes. Aku kuliah di UNS
Solo, tinggal di rumah kost depan kampusku. Di seberang jalan raya nasional
Solo - Surabaya.
![]() |
Bapak saat menjabat sebagai Administratur kebun teh Kaligua, kebun terakhir dalam masa tugasnya |
Saat itu hari jumat. Selesai
kuliah pagi, seperti biasa aku kumpul dengan teman-temanku di daerah timur
kampus. Di tempat kost teman kuliahku. Sugeng, Wawan dan Nugie. Menjelang
shalat jumat, Antok kawanku yang asli orang Solo mendatangiku. Dia cerita kalau
mendapat telpon dari kakakku dan diminta tolong untuk menyampaikan pesan
kepadaku. Saat itu orang-orang belum lazim menggunakan piranti komunikasi
selular seperti saat ini. Kakakku menyampaikan pesan bahwa Bapak jatuh sakit, dan
dirawat di rumah sakit Purwokerto.
Selesai shalat jumat aku bergegas
berangkat menuju Purwokerto. Menaiki bus ke Jogja, lalu berganti kendaraan yang
jurusan Purwokerto. Aku ingat, saat kumandang adzan Isya aku baru sampai di
daerah Purworejo. Aku dengarkan suara adzan dari dalam bus. Kurasakan ada yang
tidak biasa pada saat itu. Seolah ada sesuatu yang terlepas dari dalam diriku.
Aku sampai Purwokerto jam 9 malam
lebih. Menjelang masuk kota ada bundaran besar yang disampingnya berdiri RSU
Margono. RS terbesar di kota Purwokerto. Aku turun, lalu kucari telpon umum.
Aku hubungi familiku di Purwokerto. Ada adik Bapak dan sepupu-sepupuku yang
menetap di sana. Kabar yang aku terima, Bapak ternyata tidak dirawat di RS
Margono tapi di RS DKT. Kembali aku bergegas ke situ dengan mengendarai ojek
motor.
Aku turun sesampainya di depan rumah
sakit. Kakak sepupuku sudah menunggu di situ. Dia mendampingiku menunjukkan
kamar tempat Bapak dirawat. Kami berjalan beriringan tanpa banyak kata terucap.
Menuju sebuah kamar, terlihat beberapa orang ada di depan dan di dalam kamar.
Aku langsung membuka pintu kamar dan melihat pemandangan di dalamnya. Ibu
terbaring di ranjang kecil di sudut kamar. Menangis terisak didampingi famili
dan kenalan kami. Omku berdiri di dekat ranjang utama. Tubuh Bapak terbaring di
situ. Dengan sekujur tubuh tertutup selimut. Dari kaki hingga kepala.
Seluruhnya. Aku ingat ucapan spontanku saat itu. "Lhoh...."
Aku mendekati ranjang. Omku
membuka selimut Bapak. Bapak terlihat terbaring dengan wajah tenang. Seperti
orang tidur. Saat itu juga aku benar-benar tersadar, bahwa Bapak telah
berangkat pulang. Aku pegang tubuhnya. Belum begitu dingin. Masih ada sisa
kehangatan yang terasa. Aku panjatkan doa dari samping pembaringannya. Betapa
saat itu aku begitu berharap dan memohon, agar kematian Bapak ini adalah
kematian yang baik. Husnul khatimah...
Setelah itu baru aku mendekati Ibu.
Aku jabat tangannya lalu Ibu memelukku dengan derai tangis. Aku tanyakan
bagaimana kejadian akhir hayat Bapak. Dengan suara tersendat, serta dibantu
orang-orang yang ada di situ, Ibu bercerita.
Hari kamis siang Bapak ada acara
di luar kebun. Pulang ke rumah dinas kebun sudah larut malam. Tetapi karena ada
agenda penting yang harus dibicarakan dengan jajaran kebun, Bapak mengumpulkan
mereka semua di rumah dinas manajer. Rapat sampai tengah malam. Selesai rapat
baru Bapak mengerjakan agenda pribadi. Beliau mandi, ganti pakaian lalu
mendirikan shalat. Malam itu beliau shalat sampai dini hari. Diselingi tadarus
kitab suci. Beliau terus bermunajat hingga tiba waktu fajar. Setelah selesai
shalat shubuh, Bapak mengganti pakaian. Beliau berencana melihat kondisi pabrik
yang sedang mengolah Teh. Tapi Ibu mencegahnya, menyarankan agar tidur dulu
baru paginya ke pabrik. Bapak menurut, lalu mengganti pakaian lagi dan
berbaring di samping Ibu. Sekitar 15 menit kemudian Bapak tiba-tiba tersedak
hingga terduduk. Lalu jatuh lunglai di tempat tidur. Tak mampu menyahut berulang
kali panggilan Ibu dari sampingnya. Ibu bergegas memanggil petugas kesehatan
untuk memeriksa Bapak. Bapak sudah tidak bisa berbicara lagi saat itu. Hanya
mata beliau saja yang berkejapan.
Ternyata saat itu pembuluh darah
di daerah dada (jantung) Bapak telah pecah. Pagi hari itu juga Bapak dibawa ke
RS DKT Purwokerto dan langsung mendapatkan penanganan. Tekanan darah Bapak naik
turun pada hari itu. Menjelang sore hari konon tekanan darahnya sempat turun.
Keadaan yang sempat membuat lega keluarga yang menunggui Bapak.
Dan sekitar jam 7 malam Bapak
menghembuskan nafas terakhirnya. Ketika beliau berusia 50 tahun lebih satu bulan sejak kelahirannya di dunia ini tahun 1944 silam. Masih tersisa cukup waktu, pengabdian beliau di Perusahaan Perkebunan Negara ini. Kalau kufikirkan kembali, saat-saat itu
mustinya bertepatan dengan saat aku dengar kumandang adzan di purworejo tadi.
Saat itu aku rasakan seperti ada yang terlepas dari dalam diriku.
Sejujurnya, saat itu justru
ucapan syukur yang telontar dari batinku. Aku bahagia mendengar cerita tentang
kisah akhir hidup Bapak. Bahwa kegiatan terakhir yang beliau kerjakan saat
menjelang maut adalah shalat dan mengaji. Aku tidak menangis pada malam itu.
Kutenangkan Ibu. Aku bisikkan agar banyak terlontar ucapan-ucapan baik pada
saat kematian seseorang.
Tengah malam rombongan kakakku
datang dari Semarang. Jenazah Bapak sudah dipindahkan ke ruang jenazah. Aku
menunggui di situ. Aku berunding dengan kakak dan keluarga yang saat itu ada di
rumah sakit. Kami sepakat jenazah Bapak akan dibawa ke Semarang dan dimakamkan
di sana.
Tengah malam itu juga jenazah Bapak
kami bawa ke Semarang. Aku ikut menaiki mobil jenazah. Kakak keduaku duduk di
belakang, di sisi peti jenazah. Aku duduk di depan, di samping pengemudi. Kami
shalat shubuh di perjalanan. Dan sampai di rumah kami di komplek perumahan Ngaliyan
Semarang sekitar jam 6 pagi.
Rumah kami sudah ramai oleh
kerabat dan tetangga yang menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan. Lancar
sekali pekerjaan mereka saat itu. Menyiapkan peralatan untuk memandikan jenazah
Bapak, perlengkapan kain kafan serta menyiapkan ruangan tengah untuk menshalatkan
jenazah Bapak.
Aku turut serta saat memandikan
jenazah Bapak. Aku rasakan tubuh Bapak sudah dingin. Kami berulang kali
mengguyurkan air sesuai tuntunan yang kami yakini. Kakak keduaku juga turut
serta. Aku lihat dia begitu terpukul dengan wafatnya Bapak. Isakan tangisnya
berus terdengar tiada berhenti. Aku memintanya agar tidak usah ikut memandikan
jenazah Bapak. Aku khawatir tetesan air matanya mengenai jasad Bapak. Biarlah Bapak
pulang menghadap Pencipta-Nya dengan tenang.
Sampai detik menjelang siang itu
tak setetespun air mataku mengalir. Tak ada isakan tangis dariku. Hatiku saat
itu terasa tenang. Aku justru bahagia. Cerita Ibu tentang saat-saat terakhir
kehidupan Bapak itu begitu kuat menghunjam ke dalam pikiranku. Saat itu aku
begitu yakin, bahwa kematian Bapak adalah husnul khatimah. Sebuah akhir kehidupan
dunia yang baik. Lalu, kenapa kita harus menangis. Siapa sebenarnya yang kita
tangisi. Apa yang sejatinya kita ratapi. Apakah kita menangisi Bapak...?
Bukankah beliau Insya Allah sudah mendapatkan akhir kehidupan yang baik...
Atau jangan-jangan sebenarnya
kita menangisi diri kita sendiri... Yang sudah tidak mungkin lagi dapat
berkomunikasi dengan almarhum di alam dunia ini...
Kami lalu mendirikan shalat jenazah
di dalam rumah. Saat memanjatkan doa itulah aku akhirnya menangis. Bukan
menangisi kepergian Bapak. Aku menangisi diriku sendiri. Apakah aku mampu
meneladani segala ajaran dan bimbingan beliau selama ini....
Saat imam shalat jenazah
memanjatkan doa, aku sedikit terhenyak saat mendengar lantunan doa yang
dipanjatkan. Aku mengenal itu sebagai lantunan doa yang lazim diamalkan dalam
kalangan nahdiyin. Yaa... Daerah tempat tinggalku memang sangat kental diwarnai
dengan budaya-budaya islam dari kalangan nahdiyin.
Bapak tidak resmi tercatat
sebagai anggota perhimpunan Muhammadiyah. Apalagi sebagai pengurusnya. Tapi aku
begitu memahami bahwa beliau secara batin lebih condong terikat dengan budaya
Muhammadiyah. Beliau sangat mengagumi Buya Hamka. Di lemari buku rumah kami,
ada ratusan koleksi buku beliau. Terutama buku-buku karya Buya Hamka. Dari
novel-novel sastra, tasawuf moderen sampai satu set buku Tafzir Al-Azhar.
Lengkap 30 juzz...
Aku lalu bicara dengan salah
seorang famili. Aku minta tolong dengan sangat agar dicarikan pengurus
Muhammadiyah Semarang untuk memimpin pengurusan jenazah Bapak.
Akhirnya upaya itu berhasil.
Siang hari itu juga ada dua orang lelaki separo baya datang ke rumah. Mereka
adalah petugas dari Rumah Sakit Muhammadiyah Roemani Semarang. Acara
pemberangkatan jenazah dari rumah dipimpin oleh mereka berdua.
Ramai sekali kerabat dan kenalan
yang melayat saat itu. Parkir mobil sampai melewati beberapa gang di samping rumah
kami. Salah seorang famili sempat menghitung, saat itu ada sekitar 110
kendaraan roda empat yang membawa rombongan pelayat. Sebagian besar tentunya
dari keluarga besar PTP 18. Dari belasan kebun yang ada di segenap penjuru
propinsi Jawa Tengah... Alhamdulillah..
Aku ikut mengantar ke pemakaman. Saat
itu aku begitu berharap agar semua tahap upacara pelepasan jenazah dipimpin oleh
dua orang petugas dari RS Roemani tadi. Mereka melihat kegalauan di wajahku. Di
pemakaman, salah seorang dari mereka merangkulku. Beliau membisikkan nasihat ke
telingaku. Agar aku tidak terlalu keras dalam menyikapi perbedaan yang ada.
Semuanya Insya Allah benar, tidak ada yang salah. Bahwa kebenaran hanyalah
milik Sang Penguasa Semesta. "Yang penting kita tahu bagaimana yang
seharusnya, mas.. Itu udah cukup.. Tidak baik kalau kita terlalu keras bertentangan
dengan lingkungan kita..." Begitu antara lain bisikan beliau. Hatiku
menjadi tenang. Aku ikhlaskan pemuka agama setempat kembali mengambil alih
panduan acara.
Upacara di pemakaman selesai
dengan lancar. Jenazah Bapak sudah dikuburkan di sana. Aku ingat salah seorang
teman kuliahku sempat menegurku di sana. Kenapa aku tidak terlihat sedih, atau
menangis. Aku hanya tersenyum membalas tegurannya. Teman kuliahku banyak yang
melayat saat itu. Mereka berangkat dari Solo. Termasuk istriku, yang saat itu
kami belum resmi melangsungkan pernikahan. Dia datang dari Banjarnegara
didampingi kakak kandungnya, serta Pipit sahabatnya dari Magelang.
Ini adalah salah satu kisah
kematian yang berkesan dalam kehidupanku. Bukan semata karena ayah kandungku
yang meninggal. Tapi kisah seputar kematian beliau inilah yang terpateri dalam
ingatan memoriku...
Bahwa keseluruhan tahap kehidupan
manusia di dunia, pada akhirnya akan ditentukan dengan situasi saat malaikat
maut sudah muncul di hadapan kita. Dan mencabut nyawa kita. Saat jiwa kita
terpisah dengan raga ini....
Teruslah berdoa dan memohon, agar
kelak Dia mengutus malaikat maut menjemput ketika kita dalam keadaan yang baik dan
terpuji. Dan semoga kalimat-kalimat dzikir menjadi penutup usia kita...
🔆 MAS SLAMET
Ini kejadian yang belum lama. Saat
bulan ramadhan tahun 2017 lalu.
Tentang lelaki separuh baya
bernama Slamet.
Lengkapnya Slamet Hernawan.
Mas Slamet ini asli orang Cilacap,
daerah Lumbir. Sudah puluhan tahun dia merantau ke Banten. Berawal dari
mengemudi kendaraan pemasaran sebuah merk rokok. Akhirnya masuk menjadi
karyawan PTPN 8. Dahulu namanya masih PTP 11. Masih tetap dengan profesi
ketrampilan yang dia kuasai. Menjadi
pengemudi.
Pada tahun 2009 lalu dia
mendampingiku disaat aku mendapat kepercayaan pertama kali menjabat sebagai Asisten
Kepala di kebun Cisalak Baru. Di daerah Rangkasbitung, Kabupaten Lebak. Hampir
setiap hari kami berdua menjelajah areal sawit seluas -+ 5400 hektar. Dengan
segala suka, maupun duka pada setiap situasi yang dihadapi. Dengan segala
dinamika yang terjadi.
Mas Slamet ini type orang
periang. Setiap bertemu selalu aku dengar derai tawanya, ataupun kulihat seringai
senyum di wajahnya. Dia sangat dekat dengan keluargaku. Dengan istri serta
ketiga anakku. Apalagi bu Slamet, istrinya, juga bekerja membantu pekerjaan
sehari-hari di rumah dinas kami.
Aku yang pernah menetap di Purwokerto,
serta istriku yang lahir dan dibesarkan di Banjarnegara, menjadi perekat
hubungan diantara kami. Dalam beberapa kesempatan dialog terkadang aku selipkan
logat bahasa jawa banyumasan, jika berkomunikasi dengan mas Slamet.
Mas Slamet punya dua orang putri.
Mega dan Vivi. Keduanya aku kenal sebagai anak yang cerdas, dan shalehah. Putri
sulungnya itu begitu fasih bicara dalam bahasa inggris. Dahulu sempat aku
tekankan ke mas Slamet, agar Mega melanjutkan kuliah di perguruan tinggi negeri.
Dengan kecerdasan yang dia miliki, aku tak menyangsikan kemampuan akademisnya. Tapi
keluarga mereka punya alasan lain. Mega lebih memilih terjun dalam medan
dakwah. Dan bertemu jodoh di dalamya. Dia sudah menikah, sudah memberi cucu
buat mas Slamet. Dan menetap di Semarang bersama Rico, suaminya.
Saat aku ditugaskan kembali menjadi
Asisten Kepala di Kebun Cisalak Baru pada bulan november 2016 lalu, mas Slamet
sudah menjadi pengemudi Manajer Kebun. Masih tetap dengan keriangan dan
banyolan-banyolan khasnya. Anaknya yang kedua sudah tamat SLTA. Sedikit aku
bantu agar mendapat posisi bekerja di kantor kebun. Alhamdulillah, sejak awal
tahun 2017 lalu Vivi sudah mendapat posisi di kantor kebun.
Awal ramadhan 2017 kemarin,
beberapa kali mas Slamet menceritakan keriangannya. Tentang Vivi yang sudah
bisa membantunya membiayai ongkos mereka mudik lebaran ke Jawa. Rencana mereka
sudah begitu detail. Menjelang lebaran, mereka bertiga akan ke Semarang ke
tempat Mega. Menaiki kereta api. Setelah itu berlanjut ke kampung orang tua mas
Slamet di Lumbir. Baru kemudian pulang ke Rangkas. Tiket perjalanan sudah ada
di tangan meraka.
![]() | |||||
Bertemu Mega dan Vivi di Bandara Semarang tahun 2019 |
Dan tibalah pada satu waktu itu.
Hari kamis malam, saat puasa memasuki hari ke-14, jam 8 malam seseorang
mengetuk pintu rumahku. Aku buka pintu dan ada Vivi di situ. Dengan suara
tersendat dan setengah terisak dia meminta tolong agar bapaknya dibawa ke rumah
sakit. Segera aku menuju ke rumahnya. Ada beberapa orang yang sudah berada di
dalam rumah mas Slamet. Dia terbaring di atas karpet ruang tamu. Aku dekati dan
duduk di sampingnya. Aku amati wajah mas Slamet. Matanya sudah terpejam rapat, hanya
napasnya yang terdengar tersendat-sendat. Bu Slamet duduk di sampingnya dengan
wajah sembab dan isak yang tertahan. Segera mas Slamet dinaikkan ke mobil dan
berangkat menuju rumah sakit.
Aku pulang ke rumah. Ganti
pakaian, lalu memanggil Nano pengemudi kendaraan dinasku. Aku naik dan bersiap
menyusul ke rumah sakit. Kami hanya berdua di rumah dinas pada saat itu. Aku
dan Dani, anak sulungku. Istri dan kedua anakku yang lain ada di rumah pribadi
kami di Bogor.
Saat di jalan itulah, aku
mendengar kabar kalau Mas Slamet sudah menghembuskan napas terakhirnya ketika
masih di perjalanan menuju rumah sakit.
Mas Slamet pulang menghadap
penciptanya pada malam jumat di dalam bulan suci ramadhan. Dan aku bersaksi
tidak ada siksa sakaratul maut yang dia alami.
Bagiku itu adalah saat dan cara
kematian yang indah.
Dari rumah sakit aku kabarkan
berita duka ini kepada sesepuh-sesepuh yang pernah dilayani oleh mas Slamet.
Aku telpon pak Budihardjo, pak Sri Hermawan dan pak Hanan. Beliau terkejut
mendengar kabar duka ini. Dan menyampaikan pesan akan bertakziah ke pemakaman
mas Slamet keesokan harinya.
Mas Slamet hanyalah manusia biasa.
Teramat biasa. Tidak ada amalan-amalan hebat khusus yang selalu dia tegakkan.
![]() |
Foto terakhir mas Slamet, dua hari sebelum menghembuskan nafas terakhir |
Aku fikir dan renungkan. Aku coba
ingat dan pelajari, dari jalan manakah sehingga Penciptanya memberinya kematian
yang baik seperti itu. Mas Slamet bukan orang kaya. Hidupnya hanya sekedar
cukup, tidak berlebihan. Tapi dia jujur dalam memegang amanat yang dibebankan
ke dirinya. Salah satu keinginannya yang belum mampu dia wujudkan adalah
membangunkan sebuah rumah untuk istrinya. Tempat dimana mereka berdua kelak
mengisi hari-hari tua setelah pensiun dari perusahaan. Dan jika Vivi si bungsu
juga telah menjalani hari-harinya dalam kedewasaan berkeluarga.
Mataku sempat menghangat saat
tengah malam itu berjalan pulang dari rumah duka menuju kediamanku.
Aku terngiang ceritanya, saat dia
ikut sibuk membantuku ketika aku jatuh sakit tahun 2012 dulu. Beberapa kali dia
membantu mengantar dan menjemput keluargaku yang sedang mengurusku ketika
dirawat di rumah sakit Cilegon dan Rangkasbitung. Dia cerita mengantar adik dan
kakakku, menurunkannya di depan rumah sakit lalu dia pulang. Sempat aku candai
mas Slamet ,"kenapa nggak ikut masuk, mas..?"
Dia menjawab "Kulo mboten
tega ningali bapak.."
Saya tidak tega melihat bapak.
Selamat jalan, mas Slamet...
Kau pulang pada waktu yang mulia
di malam jumat. Di bulan Ramadhan yang suci...
Semoga firman Allah inilah yang
menyambut kepulanganmu...
" Wahai jiwa yang tenang..
Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha.. Dan diridhai-Nya..."
0 Response to "KISAH TENTANG KEMATIAN"
Post a Comment