Sekilas Cerita tentang Ospek Mahasiswa Baru Awal Tahun 90-an..
OSPEK...
Orientasi study dan pengenalan kampus. Istilahnya keren dan terkesan formal. Tapi lebih lazim dikenal dengan sebutan gojlokan. Pada masa zaman kuliahku dulu, era awal tahun 90-an, setiap memasuki tahapan pertama di perguruan tinggi maka setiap mahasiswa baru hampir mustahil bisa terbebas dari kegiatan ini. Acara yang menjadi momok bagi setiap mahasiswa baru.
Orientasi study dan pengenalan kampus. Istilahnya keren dan terkesan formal. Tapi lebih lazim dikenal dengan sebutan gojlokan. Pada masa zaman kuliahku dulu, era awal tahun 90-an, setiap memasuki tahapan pertama di perguruan tinggi maka setiap mahasiswa baru hampir mustahil bisa terbebas dari kegiatan ini. Acara yang menjadi momok bagi setiap mahasiswa baru.
Begitupun yang aku alami. Kali ini akan aku ceritakan
keterlibatan diriku dalam kegiatan ini. Baik saat menjadi korban alias peserta,
serta berlanjut dengan bertahun-tahun kemudian menjadi subyek pelaku alias
panitia...😊
Aku tercatat menjadi mahasiwa di Fakultas Pertanian
Universita Sebelas Maret Surakarta pada tahun 1990. Sementara waktu aku menetap di sebuah rumah yang dikontrak orang
tuaku untuk tempat tinggal kami. Beserta kedua kakak dan seorang adik, kami
tinggal di sebuah daerah yang orang Solo lazim menyebutnya "Sumber".
Sebuah rumah di sisi jalan raya nasional menuju terminal bus Tirtonadi. Di samping
pool bus Damri, dan tak jauh dari lapangan Manahan. Lumayan jauh jika harus menuju kampusku di Kentingan, di tepian sungai Bengawan Solo. Harus mengendarai motor, atau bus kota yang aku naiki dari depan SMAN 4 Surakarta hingga depan kampus Kentingan.
Aku masuk kuliah pada tahun 1990. Jadi selama periode aku
kuliah itu tercatat satu kali aku menjadi peserta Ospek dan lima kali menjadi
panitia ( tahun 1991 - 1995). Tapi aku tak ingat persis semua nama kegiatan Ospek
yang melibatkanku di dalamnya. Hanya beberapa nama saja yang aku ingat. Itupun
aku tak ingat betul kapan persis urutan tahun kegiatannya. Dimulai dari
"BOM", "Laskar", "Plasma", "Korpus" dst. Aku benar-benar tak mengingat yang
lainnya..
Aku mulai kisahku dengan pengalaman saat menjadi peserta Ospek.
A. BOM Tahun 1990
Nama kegiatan Ospek yang dikenakan pada angkatanku saat itu
adalah "BOM 90". Kepanjangan dari Bina Orientasi Mahasiswa. Yang
menjadi tradisi di FP-UNS, untuk panitia pelaksana (OC/organizing committe)
kegiatan orientasi mahasiswa baru adalah mahasiswa satu tahun atau satu
angkatan di atasnya, lalu mahasiswa yang lebih senior sebagai panitia pengarah
(SC/steering committee), serta Senat sebagai pengawas. Jadi, saat aku masuk kuliah,
yang menjadi panitia pelaksana kegiatan orientasi adalah mahasiswa angkatan 89,
dengan didampingi dan diarahkan oleh mahasiswa dari angkatan diatasnya serta
pengurus Senat.
Saat itu, selesai acara penataran P4 sekitar sebulan penuh dimana fikiran kami
sedang "idealis-idealisnya", kami dikumpulkan oleh Senat di ruang 1
(ruang aula kampus). Hari itu adalah acara briefing untuk kegiatan orientasi
mahasiswa baru. Sejak awal acara di pagi hari itu, dahi kami sudah berkerinyit
mendengar paparan dari panitia. Tentang model pakaian yang harus kami kenakan,
barang-barang "aneh" yang harus kami bawa. Saat itu kami tidak
mendapatkan kesempatan untuk mengajukan keberatan, walau sekedar pertanyaan.
Situasi sudah diciptakan sedemikian rupa dalam suasana tegang dan kaku. Dengan
suara-suara nyaring dan bentakan-bentakan keras dari panitia. Menjelang akhir
acara, kami sedikit tenang ketika seorang petinggi Senat menyampaikan pesan
," kalau ada yang ingin ditanyakan, silahkan adik-adik datang ke kantor Senat
untuk berdiskusi".
Selesai acara, beberapa orang diantara kami menuju kantor Senat.
Kami ingin diskusi. Kami ingin meminta penjelasan tentang beberapa detail
ketentuan acara yang kami rasa aneh dan janggal.
Tapi apa yang kami dapat..?
Sesampai di depan ruang Senat, pengurus senior Senat tadi
menyambut kami dengan ketus. Sambil duduk di atas jok motor yang terparkir di
depan ruang Senat dia menghardik kami.
"Kalau merasa tidak puas, silahkan melapor ke
rektorat"
Kami mahasiswa baru, baru saja selesai menjalani penataran P4 yang dipenuhi dengan debat - debat panas dan idealis,
dihadapkan dengan perlakuan seperti itu tentu seperti layaknya
"ditantang". Dan kami pantang mundur saat menerima tantangan.
Maka kamipun memenuhi tantangannya. Kami bergegas menuju
kantor rektorat. Seingatku ada Arif Wibowo, Choentrianto, Gunawan cepek, Griyo.
Aku tak ingat lagi siapa. Kemungkinan besar Bambang S Widodo. Untuk
situasi-situasi yang membutuhkan kelihaian argumentasi seperti ini selalu kami
pasrahkan ke Arif Wibowo untuk tampil di depan. Dia mempunyai keunggulan dalam
menyampaikan narasi-narasi yang runtut dan logis. Aku cukup berperan di
belakang layar saja. Mendesain strategi dan mengamati potensi gangguan yang
mungkin muncul. Kami menghadap ke bagian rektorat bidang 3, atau bidang
kemahasiswaan. Dan kami langsung diterima oleh bapak Pembantu Rektor 3 di
ruangannya pada lantai 2 gedung rektorat. Kepada beliau kami sampaikan ganjalan
kami. Tentang beberapa aturan kegiatan Ospek yang kami rasa aneh, serta
kewajiban membawa barang-barang yang kami pikir juga tak lazim.
Bapak PR 3 mendengarkan semua keluhan kami dengan serius dan
penuh perhatian. Kami lalu pamit setelah beliau berjanji akan menindak lanjuti
semua laporan kami. Kami keluar dari ruangan beliau, lalu turun menuju tempat parkir
motor di halaman lantai bawah. Setelah sempat berembug sejenak, kami berpisah
dan sepakat untuk bersama-sama memantau perkembangan esok hari. Saat hendak
pulang itu kami melihat ada pejabat rektorat yang mendatangi kampus pertanian,
kampusku.
Pagi hari esoknya, aku berangkat menuju kampus. Dengan
membawa semua barang dan peralatan yang sudah ditetapkan panitia semampuku.
Keanehan sebenarnya sudah mulai terlihat pada pagi hari itu.
Sejak kami mulai masuk ke area kampus, sama sekali tak terdengar bentakan atau
teriakan apapun dari panitia. Mereka hanya berdiri bergerombol mengawasi kami
datang. Dengan muka masam dan raut tak bersahabat..
Situasi seperti itu terus berjalan selama dua hari pertama
pelaksanaan Ospek. Kami dikumpulkan di ruang 1, menerima segala materi dari
pembicara yang sudah disiapkan panitia. Dan selama dua hari itu juga kami
melihat wajah-wajah masam panitia, yang didominasi oleh mahasiswa angkatan 89.
Bagiku, dua hari pertama pelaksanaan Ospek tahun 1990 itu terasa hambar dan
monoton.
Sungguh, acara Ospek yang kami terima saat awal masuk kuliah
itu tidak terasa berkesan bagiku. Pada hari terakhir, hari ketiga, barulah para
panitia itu menerapkan tekanan mental ke peserta. Dengan bentakan-bentakan
keras dan teriakan-teriakan lantang. Bagiku sebenarnya tidak ada masalah harus
menerima hal semacam itu. Apalagi sebelum mengikuti acara Ospek itu aku
terlebih dahulu sudah menjalani kegiatan pemusatan atau karantina untuk menjadi
anggota Paskibra kampus. Selama sepuluh hari, kami yang berasal dari berbagai
fakultas dikarantina dan menjalani pelatihan siang dan malam. Model kegiatannya
semi militer, dengan instruktur kegiatan dari anggota paskibra senior serta
para mahasiswa yang sudah tercatat sebagai perwira pertama TNI-POLRI dengan pangkat
Letnan Dua. Mereka para prajurit yang berasal dari program pendidikan militer
suka rela. Mayoritas dari fakultas kedokteran. Selama pemusatan itu setiap hari
kami menerima tekanan-tekanan dari instruktur. Bahkan termasuk pukulan-pukulan
di perut dan tepukan keras di dada dan punggung kami. Maka sebenarnya model stressing
dari panitia Ospek di kampusku saat itu tidaklah menggangguku.
Jadi kalau bisa aku simpulkan, acara Ospek tahun 1990 dulu
itu akhirnya menjadi lintasan kejadian yang tidak terlalu berkesan. Dan poin
kritisnya terjadi saat kami datang ke sekretariat Senat dan tidak diterima
dengan baik. Seandainya saja waktu itu kami diterima dan diajak diskusi dengan
baik, tentulah kami tak perlu lagi mendatangi dan menghadap ke kantor Rektorat.
B. Ospek 1991
Sejak awal, aku sudah mendapat isyarat dari Senat akan
ditunjuk menjadi ketua panitia Ospek. Aku menerima dengan senang hati. Setiap
peluang kesempatan yang ada selalu aku coba manfaatkan sebaik mungkin. Ganjalan
yang ada mungkin masalah rambutku saja. Saat pertengahan tahun 1991 itu
rambutku sudah lumayan panjang menutupi kedua telingaku. Ini hadiah dari bapak, bahwa aku
diijinkan untuk tidak potong rambut selama dua tahun, jika aku berhasil masuk
ke perguruan tinggi negeri melalui jalur Sipenmaru.
Untuk mengamankan rambut gondrongku itu, dari jatah empat
mahasiswa 89 yang akan menjadi panitia pengarah (SC), salah satunya aku memilih
Firman. Mahasiswa gondrong yang cukup akrab denganku dan angkatanku.
Pertimbanganku saat itu, kalau rambut gondrongku dipermasalahkan dalam kaitan
dengan tugas sebagai ketua panitia OC, maka hal itu juga akan menyasar ke
Firman gondrong sebagai SC. Syukurlah, sampai acara selesai tidak ada yang
mempermasalahkan rambut gondrong kami. Seingatku, selain firman, ada mbak Nunik
serta Ganang dan Yuwono sebagai panitia SC lainnya. Atau Baskoro. Aku tak ingat
persis.
![]() |
Ospek 91 kami laksanakan selama tiga hari di dalam kampus.
Dalam penyusunan acaranya aku serahkan ke sahabatku, Arif Wibowo, sebagai
komandannya. Aku hanya meminta agar tidak perlu banyak membuat aturan yang
arahnya bertujuan membuat malu peserta. Untuk membangun dan mendidik ketangguhan
mental seseorang bukanlah dengan menciptakan kondisi-kondisi mereka berada di
dalam situasi dipermalukan. Arif ini juga sengaja aku kondisikan sebagai tameng
jika ada protes atau pertanyaan dari peserta jilbaber. Pada awal tahun 90-an
dulu, mahasiswi yang berjilbab belum terlalu banyak. Dan aku pasti bakal mati
kutu jika ada mahasiswi jilbaber yang mengajukan protes ke diriku. Seingatku,
baru sejak awal kuliah dulu itulah aku sering bertemu dengan wanita berjilbab.
Itupun belum begitu banyak seperti saat ini. Dari 200-an jumlah mahasiswa
angkatanku, lebih dari separonya adalah perempuan. Dan baru sekitar sepuluhan
orang mahasiswi yang mengenakan jilbab. Baru dekat dengan mereka saja mentalku
sudah ngedrop, apalagi jika ada diantara mereka yang memprotesku. Melihat sosok
mereka, saat itu serasa berdiri di depan cermin dan terbuka semua kejahiliyahan
diriku 😅.
Acara kami susun dan tata serapih mungkin. Kami juga membuat
momen-momen acara yang kami bangun dalam suasana tegang dan mencekam. Dengan
bentakan-bentakan lantang dan suara keras kami. Tapi kami sangat menghindari
ucapan-ucapan dan tindakan yang kasar. Keras, tidaklah selalu harus dibangun
dengan sesuatu yang bersifat kasar. Kami semua juga sepakat tidak boleh keluar
kata-kata umpatan dari panitia.
![]() |
Bentuk-Bentuk Tindakan ke Peserta Ospek |
Sebetulnya kami rada sungkan juga mengelola acara ini.
Mengingat setahun sebelumnya kami telah mengacaukan skenario acara yang telah
dibangun panitia pada waktu itu. Tapi aku bersyukur melihat senior-senior dari
angkatan 89 yang sedikitpun tidak menyimpan ganjalan perasaan atas kejadian
setahun sebelumnya. Mereka dengan ringan tangan bersedia membantu pelaksanaan
acara Ospek tahun 91 itu.
Dan kiranya tak berlebihan jika aku menyebut kegiatan Ospek Mahasiswa Baru tahun 91 itu berlangsung lancar dan sukses. Meskipun tetap dihiasi dengan suara bentakan-bentakan dan hardikan keras, tapi tak ada ucapan-ucapan kasar yang terlontar.
Dan kiranya tak berlebihan jika aku menyebut kegiatan Ospek Mahasiswa Baru tahun 91 itu berlangsung lancar dan sukses. Meskipun tetap dihiasi dengan suara bentakan-bentakan dan hardikan keras, tapi tak ada ucapan-ucapan kasar yang terlontar.
Peserta tidak kami wajibkan mengenakan atribut-atribut
pakaian yang aneh-aneh. Hanya papan nama dari kertas karton yang harus selalu
mereka kenakan di dada. Sesuai nama kegiatan, Ospek atau Orientasi Pengenalan
Kampus, acara yang kami susun didominasi materi-materi pengenalan kampus kami.
Tentang organisasi kemahasiswaan yang ada, tata letak laboratorium di dalam
kampus, serta segala hal yang berkenaan dengan kampus kami perkenalkan ke
mahasiswa baru.
![]() |
Pengenalan kampus kepada mahasiswa baru |
Acara final stressing kami bangun pada jam acara terakhir.
Awalnya peserta kami kumpulkan di halaman gedung laboratorium. Di sana mereka
kami tekan mentalnya habis-habisan. Bahkan seluruh peserta kami perintahkan
untuk mencium bumi. Sedikitpun tak ada celah kami biarkan mereka mampu menarik
napas lega. Semua panitia turun ke laga. Mengepung peserta yang sedang
tersungkur mencium bumi, dan menghujaninya dengan bentakan-bentakan dan teriakan
lantang. Suasana benar-benar terasa mencekam bagi peserta.
![]() |
Wajah Tersungkur Mencium Bumi |
Lalu masih dengan posisi wajah menghadap ke bawah,
semua peserta kami giring ke depan gedung kampus satu. Disana mereka kembali
kami kumpulkan, dan kami satukan dalam posisi duduk jongkok dan posisi wajah
tetap tertunduk. Nah, barulah suasana stressing kami kurangi. Suara-suara
bentakan perlahan menghilang. Berganti dengan suara renungan panitia senior
dari lantai tiga. Sudah siap dengan didampingi panitia yang siaga dengan selang
air hydrant yang besar. Saat kami pastikan emosi peserta sudah berangsur normal
kembali, maka guyuran airpun mulai menghujani peserta yang duduk
bersimpuh dikelilingi panitia. Semua orang yang ada di situ, baik peserta
maupun panitia, semua basah kuyup perkena guyuran air. Dan ketika peserta mulai
mengangkat wajah dan melihat ke kondisi sekitarnya, yang mereka lihat adalah
wajah-wajah seniornya yang menyambut tatapan mata mereka dengan senyum
mengembang dan tangan terbuka menyambut pelukan dari adik-adik barunya. Suasana
lantas menjadi cair. Larut dalam kebahagiaan dan rasa haru ikatan persaudaraan.
Selamat datang, adik-adikku...
Suasana riang terasa sekali saat itu. Ada beberapa panitia
dan peserta yang saling bertukar kaos. Rasa dendam dan sebel yang terbentuk
selama tiga hari karena selalu dibentak dan disalahkan seketika menjadi pupus.
Sebelum diijinkan pulang dan diminta datang lagi malamnya
untuk acara penutupan, para peserta diberi tugas membuat surat untuk panitia.
Peserta wanita mengirim surat ke panitia pria, dan peserta pria mengirim surat
ke panitia wanita. Jumlah surat yang diterima dari peserta ini akan dipakai
untuk menentukan siapa panitia yang berhak dinobatkan menjadi panitia favorit.
Ahh.. Ada yang sedikit terlupa dari kisahku saat menjadi
ketua panitia Ospek tahun 1991 ini. Pada hari kedua malam hari, atau sabtu
malam minggu, di Stadion Sriwedari Solo berlangsung pagelaran konser Kantata
Takwa. Saat itu aku sedang takzim-takzimnya menjadi pengikut Iwan
Fals. Maka konser ini tak akan mungkin aku lewatkan. Sabtu sore setelah materi
acara terakhir, kami mengadakan briefing panitia. Sengaja acara briefing ini
aku kondisikan berjalan secepat dan seringkas mungkin. Dan begitu selesai,
akupun bergegas ganti pakaian lalu langsung menuju lapangan Sriwedari. Sendiri.
Benar-benar megah suasana pagelaran musik pada malam itu.
Dengan sound system yang menggelegar dan kilatan-kilatan sinar laser yang
bertaburan. Aku terduduk di bangku penonton. Staminaku tak cukup lagi jika
harus ikut berjingkrakan di depan panggung.
Akupun jadi teringat pengalaman seru di tempat yang sama,
setahun sebelumnya.
Begini ceritanya..
Saat itu aku sudah lulus SMA dan bersiap untuk menempuh tes
penerimaan menjadi mahasiswa baru. Aku sudah tinggal di rumah Solo. Ketika itu
bertepatan dengan berlangsungnya konser musisi internasional. Gitaris Hard Rock
dunia, Yngwie J Malmsteen. Bersama teman-teman SMA dari Purwokerto, aku sudah
menyusun rencana untuk menonton konser ini. Dengan menaiki kereta api,
teman-temanku datang dari Purwokerto. Aku jemput di Stasiun Purwosari, lalu aku
ajak mereka ke rumahku dulu. Setelah mandi dan makan malam kami menuju ke
lokasi konser. Penampilan kami saat itu belum bertampang metal. Tak ada satupun
diantara kami yang berambut panjang. Karena kami memang baru saja mendapat
kelulusan dari SMA.
Kami agak sedikit grogi melihat rata-rata tampang penonton
yang datang. Dengan rambut gondrong, pakaian hitam atau gelap dengan aksesoris
metal. Akhirnya kami memutuskan akan menonton dari arah depan panggung. Di
bawah panggung kecil yang biasa dipakai sebagai posko panitia. Untuk memandu
sound system ataupun lightning panggung. Di sekitar situ banyak berkumpul
polisi. Jadi aku pikir, kami pasti aman di situ. Pagelaran pun dimulai.
Lengkingan gitar Yngwie langsung bak cadas menyayat udara malam Sriwedari. Kami
mengikuti alunan musik metal itu dengan semangat. Aku masih mampu menghapal
beberapa lirik lagu Yngwie. Jadi mulutku ikut menyenandungkan lagu-lagu yang
diteriakkan pada malam itu. Badan kami ikut bergoyang mengikuti dentuman cadas
dan hentakan metal dari atas panggung.
Lalu aku ingat kejadian pada malam itu..
Ketika secara tiba-tiba semua lampu stadion menyala terang.
Pemandangan situasi di stadionpun terlihat jelas.
Aku masih melihat jelas ketika para petugas keamanan dengan
seragam coklat yang ada di sekitar kami mendadak lari berhamburan meninggalkan
pos menara bantu itu. Mereka berlarian menjauhi lokasi menara pantau itu. Kami
semua kaget, terperanjat, lalu menengok ke arah belakang, arah pintu masuk. Di
bawah benderang lampu stadion kami melihat puluhan, atau mungkin ratusan,
petugas keamanan dengan seragam yang lain berlarian menuju tengah lapangan.
Mereka tidak membawa senjata. Hanya
mengayun-ayunkan sabuk ikat pinggangnya. Mengejar aparat lain yang berlarian
diantara penonton.
Kami terdiam kaku. Otak kami kaget melihat pemandangan yang
tidak kami sangka-sangka ini. Sementara dentuman musik dan cabikan gitar Yngwie
tetap meraung-raung di atas udara Sriwedari.
Begitulah..
Itu tadi sekilas cerita lain yang aku alami saat tinggal di
Solo waktu itu..
Sekarang kita kembali ke cerita Ospek lagi..
Acara penutupan Ospek 91 berjalan lancar. Sekaligus menandai
berakhirnya kegiatan Ospek mahasiswa baru angkatan 91. Arif Wibowo dan Kuky
terpilih menjadi panitia favorit, karena mendapat surat paling banyak dari
peserta.
Aku mendapat sekitar belasan surat. Geli ketika membaca surat-surat mereka itu. Mayoritas mengomentari rambutku yang panjang. Ada yang bilang katanya suka ngeliat rambutku yang gondrong. Kruwel-kruwel kayak indomie.. Begitu mereka bilang.. 😁
Alhamdulillah.. Acara Ospek Mahasiswa Baru 1991 dimana aku
mendapat kepercayaan menjadi nakhodanya berjalan lancar dan sukses...
C. Ospek 1992
Aku agak lupa siapa ketua Senat saat Ospek tahun 1992 ini. Agak susah
mengingatnya. Ini untuk pertama kalinya kegiatan Ospek Fp-UNS akan kami
selenggarakan di luar kampus. Sebagai mantan ketua panitia pelaksana
sebelumnya, seperti biasa aku ditunjuk Senat untuk menjadi Panitia Pengarah
(SC). Dan kami juga sepakat menunjuk Nur Rachim, atau Aim dari angkatan 91,
menjadi ketua panitia pelaksananya. Aku membantu Aim menyusun panitia
pelaksananya. Ada Febri, Baroto, Agus Tudiharto, Mujib, Evi, Ehrlien, Dewi
Masita, dan banyak lagi pentolan-pentolan mahasiswa dari angkatan 91. Termasuk
beberapa mahasiswa pinggiran, atau mahasiswa badung, yang aku minta untuk
dimasukkan dalam kepanitiaan. Danang diantaranya. Aku ingin formasi panitia ini
beragam. Campuran dari semua karakter dan kelompok yang ada di kalangan kampus.
Sebagai panitia pengarah, seingatku aku didampingi Sunarto dan Riri. Termasuk
beberapa mahasiswa lain dari angkatanku yang masuk membantu dalam panitia
pelaksana. Aji, salah satunya. Pentolan klub sepak bola yang sekarang menjadi
pejabat di Kementerian Hukum dan Ham.
Mengingat ini adalah pelaksanaan Ospek outdoor pertama yang hendak kami lakukan maka dipandang perlu untuk mempersiapkan segala sumber daya serapih mungkin. Termasuk sumbar daya manusia kepanitiaan, dalam hal ini mahasiswa angkatan 91. Maka kami siapkanlah semacam acara training untuk kepenitiaan. Kalau dalam istilah kekinian mungkin saat ini kita kenal dengan acara TOT, atau Training Of Trainers. Sejak sabtu siang para panitia pelaksana diberi pembekalan tentang trik trik menghadapi peserta Ospek. Dalam bentuk diskusi di ruang rapat, maupun praktek langsung di halaman Laborat. Acara ini kami teruskan hingga siang keesokan harinya. Malam hari panitia OC kami inapkan di kampus. Kelak saat pelaksanaan Ospek, para panitia OC sudah menyusun acara Jalan Malam. Para peserta secara berkelompok kecil diminta menyusuri daerah pada rute perjalanan yang telah ditentukan. Di dalam rute tadi telah dipersiapkan pos-pos monitoring, dan peserta diberikan materi-materi yang unik. Diantaranya materi horror, ketika peserta diarahkan melewati rute yang rada seram. Nah.. kami ingin panitia pelaksana juga merasakan hal yang serupa dahulu sebelum mereka menerapkan perlakuan tadi ke peserta. Saat training tadi, ketika tengah malam, panitia pelaksana secara bergiliran kami minta menyusuri rute perjalanan yang sudah kami tentukan. Kebanyakan tentunya rute-rute antar lab yang ada di gedung itu. Yang paling seram adalah Lab Tanah di lantai tiga gedung Laboratorium. Banyak kisah seram di situ. Tentang seorang mahasiswa yang konon pernah bertemu seorang wujud manusia yang menembus tembok dan lain sebagainya. Kami hadirkan juga anak remaja kampung sebelah kampus yang bernama si Mul. Dia remaja usia belasan tahun yang mengalami keterbelakangan. Sering bergabung dengan kelompok kami saat nongkrong kampung sebelah, atau di tempat kost mahasiswa rekan kami. Bertemu sosok si Mul saat siang hari tentunya hal biasa bagi kami. Dengan gaya berjalannya yang sedikit terpincang-pincang serta roman muka yang jarang lepas dari senyum dan tertawa-tawanya. Tapi bayangkanlah jika seorang panitia, apalagi mahasiswi, saat tengah malam bertemu sosok si Mul yang cengar cengir di depan ruang Lab pada lantai tiga. Sebagian langsung lari terbirit-birit sambil menjerit kencang. Tapi ada juga yang pemberani, cuek saja walaupun ada sosok si Mul yang cengar cengir menatapnya di lantai tiga gedung Lab.
Aku juga ingat bercandaan konyolku saat itu. Tengah malam aku menaiki bukit Argo Budoyo di samping kantin. Ada mitos "Nyah Rewel" dan Kereta Kencana siluman di bukit itu. Saat kami berdua sudah hampir sampai ke atas bukit, aku bercandain temanku tadi. Aku agak lupa siapa waktu itu yang bersamaku di atas bukit. Kalau nggak salah si Febri anak angkatan 91.
Aku tanya ke dia. Dalam bahasa jawa. Tapi akan aku ceritakan di sini dalam bahasa Nasional
"Kamu lagi sama siapa..? tanyaku.
Dia diam saja. Cengengesan.
"Aku tanya.. kamu lagi sama siapa..."
Dia masih senyam senyum.
"Ahh.. jangan bercanda ah..." ucapnya.
Aku teruskan...
"Kamu pikir kamu lagi sama Dahono yaaa....
Aku bukan Dahono...
Kamu lihat itu Dahono lagi ada di Kantin...
Aku bukan Dahono.."
Ujarku sambil mataku menatap tajam ke wajahnya. Wajahku kubuat sedingin mungkin.
Tiba-tiba dia langsung berlari kencang menuruni bukit. Menuju ruang kantin posko kegiatan yang ramai dengan mahasiswa.
Meninggalkanku yang cekikikan sendiri. Merasa geli dan puas melihat teman yag terbirit-birit.
Baru kemudian kusadari, tenyata aku sendirian di bukit Argo Budoyo tadi.
Bulu kudukku meremang.
Akupun lantas bergegas menuruni bukit. Sedikit berlari.
Dan menarik lapas lega saat sudah bergabung di keramaian.
Angkatan 91 ini cukup kompak dan kreatif dalam menyusun program acara kegiatan. Sebagai komandan acara, mereka menyerahkannya ke Mujib Darmawan. Lokasi kegiatan sudah mereka sepakati. Yaitu bumi perkemahan Manisrenggo, di daerah Klaten. Mereka cenderung santai dalam bekerja. Tapi rapi dan detail. Terkadang malah terkesan terlalu kreatif. Aku ingat harus beberapa kali menegur mereka untuk merubah beberapa detail rencana kegiatan. Yang aku ingat, saat ada rencana membuat permainan dengan memberikan pisang untuk dimakan peserta, tetapi setelah pisang tadi direndam terlebih dahulu dalam jamban. Walaupun jamban yang akan dipakai adalah jamban baru yang baru dibeli dari toko, sesuai kewenanganku sebagai panitia pengarah, detail rencana tadi tetap aku coret. Aku tak melihat poin pembelajaran positif dari materi acara seperti itu.
![]() |
Aku Mengawasi Peserta yang Sedang Mendirikan Tenda Perkemahan |
Acara berlangsung lancar, rapih dan meriah. Dari pengalaman
pertama kegiatan Ospek outdoor ini banyak muncul hal-hal tak diduga yang
memunculkan ilham baru untuk kegiatan pada tahun depannya. Saat Ospek tahun 92
itu belum diagendakan acara renungan. Tapi ada hal menarik yang terjadi. Saat
secara spontanitas terbangun sebuah adegan ketika para panitia senior dan Senat
seolah menghukum dan menindak panitia pelaksana. Aku ingat, salah seorang
peserta cewek, Marina Ratih, dengan wajah merah dan sesenggukan meminta agar
para panitia senior mengampuni panitia pelaksana. Acara itu muncul secara
tiba-tiba, spontanitas dari kreativitas. Tapi muncul reaksi yang diluar dugaan
kami. Pada saat itu aku berfikir, seharusnya saat itulah momen yang tepat untuk
memberikan materi renungan ke peserta. Hal ini menjadi poin fokus yang tertanam
dalam memoriku. Dan akan aku wujudkan dan bangun secara lebih rapih pada
pelaksanaan Ospek tahun berikutnya.
![]() |
Suasana di Dalam Aula Perkemahan |
Peserta juga kami ajak jalan malam. Secara bergilir dan
berkelompok mereka diarahkan untuk melaksanakan perjalanan menyusuri rute yang
ditentukan. Di sepanjang rute telah ditempatkan pos-pos yang dijaga panitia
dengan beragam fungsi dan spesifikasi acara. Yang paling seru tentunya pada pos
ketika peserta ditempatkan dalam situasi mencekam yang rada horor. Beberapa
peserta menjadi pucat dan tegang. Tapi mayoritas pos dan skenario yang
ditetapkan berada dalam suasana santai dan diwarnai canda.
Sebagai
panitia pengarah, aku tidak selalu intensif dalam
mengawal jalannya acara. Hanya ketika terjadi situasi panitia terlihat
kewalahan, di situlah kami langsung turun tangan. Seperti dalam Ospek 92
ini,
ada seorang peserta yang tingkahnya rada merepotkan panitia. Dia berasal
dari daerah luar Jawa. Tidak banyak protes atau membantah, tapi sering
memberikan
perlawanan dengan diam, tak mematuhi panitia. Untuk peserta seperti
inilah kami
biasanya yang mengambil alih. Dia aku panggil, aku suruh berdiri tegap.
Lalu
langsung dari depan wajahnya dia aku interogasi. Ini sebenarnya hanya
tes
mental saja. Aku tatap matanya, langsung dari bola mata ke bola mata.
Hitam
mataku langsung aku tatapkan ke hitam matanya dalam jarak beberapa
senti. Kami
beradu nyali. Saat hitam bola matanya menunduk, maka saat itulah dia
sudah
berada dalam kendaliku.
Aku juga suka memberi hukuman yang yang bernuansa santai. Toh
tanpa dibentak atau dimarahin pun para peserta sudah takut ke panitia. Ada
seorang peserta yang melakukan kesalahan dan saatnya menerima hukuman. Peserta
tadi aku panggil ke hadapanku. Aku beri dia alternatif hukuman yang bisa dia
pilih sendiri. Pilihannya adalah lari keliling lapangan sepak bola 5 kali, atau
push-up 5 kali. Tentu saja peserta tadi memilih push-up 5 kali. Lalu aku suruh
dia mengambil posisi push-up dan mematuhi komando dariku.
Aku pun beraksi..
*turun... ”Teriakku.
Dia menurunkan badannya hampir menyentuh tanah.
*naik...
Dia menaikkan badannya ke posisi semula.
*satu.. ”Ucapku
menghitung
*Turun..
Dia turunkan badannya.
*naik setengah... ”Teriakku lagi
Dia menaikkan badannya
setengah posisi.
Lalu aku tinggal pergi, tak
jauh darinya.
Aku pura-pura ngobrol
dengan rekanku. Aku awasi dia dengan sudut mataku. Perlahan lengan tangannya
mulai bergetar. Mukanya terlihat memerah.
Aku dekati dia lagi.
*Naik...
Dia menaikkan badannya.
*Dua.. ”Hitungku
*sekarang turun lagi
setengah...
Diapun menurunkan badannya
setengah. Tapi terlihat gemetarnya lebih keras.
Lalu tiba-tiba dia ambruk
ke tanah. Lengannya sudah tak tahan menahan beban tubuhnya.
Nah.. Saat itulah
berondongan intimidasiku menghujaninya. Wajahnya semakin pucat. Entah karena
capai akibat menahan beban di lengannya, atau mentalnya ambrol menerima
hujatanku......
Atau ada juga model hukuman yang lain. Peserta disuruh menyanyikan lagu "Balonku ada Lima", dan harus terus diulang-ulang sampai balonnya habis. pada awalnya semua peserta pastilah bisa menyanyikannya dengan lancar.
"Balonku ada lima..
rupa-rupa warnanya..
hijau kuning kelabu..
merah muda dan biru..
meletus balon hijau..
dorr..
dst.."
Nah.. saat pengulangan lagu itulah peserta mulai kewalahan menyanyikannya.
"Balonku ada empat..
dst hingga Balonku tinggal satu.."
Daya ingat peserta harus kuat. Karena warna balon yang sudah meletus pada bait lagu sebelumnya tidak boleh disebutkan lagi. Seingatku, tak ada peserta yang berhasil lancar menyanyikan lagu ini sampai selesai. Dan itu memberi dasar alasan yang kuat bagi panitia untuk memberikan hukuman ke peserta.
Ospek outdoor pertama ini berjalan dengan sukses. Ada banyak catatan-catatan baru yang akan menjadi fokus perbaikan pada pelaksanaan Ospek tahun depan. Diantaranya agenda pelaksaan renungan malam. Kayaknya kami sudah semakin siap untuk membentuk materi kegiatan renungan.
"Balonku ada lima..
rupa-rupa warnanya..
hijau kuning kelabu..
merah muda dan biru..
meletus balon hijau..
dorr..
dst.."
Nah.. saat pengulangan lagu itulah peserta mulai kewalahan menyanyikannya.
"Balonku ada empat..
dst hingga Balonku tinggal satu.."
Daya ingat peserta harus kuat. Karena warna balon yang sudah meletus pada bait lagu sebelumnya tidak boleh disebutkan lagi. Seingatku, tak ada peserta yang berhasil lancar menyanyikan lagu ini sampai selesai. Dan itu memberi dasar alasan yang kuat bagi panitia untuk memberikan hukuman ke peserta.
Ospek outdoor pertama ini berjalan dengan sukses. Ada banyak catatan-catatan baru yang akan menjadi fokus perbaikan pada pelaksanaan Ospek tahun depan. Diantaranya agenda pelaksaan renungan malam. Kayaknya kami sudah semakin siap untuk membentuk materi kegiatan renungan.
Ehmm.. Pada kegiatan Ospek tahun 92 ini seraut wajah
mahasiswi baru peserta Ospek mulai menghantui benak pikiranku. Sempat aku
obrolkan dengan Aji, dan dia langsung menyambutnya dengan antusias. Entahlah, mungkin
rada aneh dalam benaknya, mahasiswa slenge'an kayak aku tertarik pada cewek.
Aji mengambil foto yang aku simpan di dompetku. Itu fotoku setahun sebelumnya,
saat berambut panjang sebahu. Awal tahun 1992 rambut gondrongku sudah kupangkas. Aku tergoda tawaran dari bapak saat aku pulang berkunjung ke tempat tugas Beliau saat itu di daerah Banjar Baru, Kalimantan Selatan. Bapak menyangggupi untuk membelikanku sepeda motor Binter Kawasaki AR 125 jika aku bersedia potong rambut. Dan aku menyetujuinya.
Gadis itu dipanggil oleh Aji, lalu diberi foto itu dan diberi tugas untuk mengembalikan ke orang yang punya. Dia menerima sambil tersipu. Memandang dari kejauhan, hatiku dag dig dug tak karuan. Aku tak terbiasa dengan situasi seperti itu. Kehidupanku sebelumnya tak pernah bersentuhan dengan hal-hal roman. Dan syukurlah, Allah meridhai perasaanku. Mahasiswi baru itu beberapa tahun kemudian aku sunting menjadi istriku. Berdua kami bersama mengarungi kehidupan. Dan Allahpun berkenan menganugerahi kami tiga putra putri yang menyenangkan mata, dan menentramkan hati. Cerita diriku dengan dirinya begitu panjang dan berwarna. Entahlah, kelak mungkin ada kesempatanku untuk menulis kisah kami dalam cerita tersendiri.
Gadis itu dipanggil oleh Aji, lalu diberi foto itu dan diberi tugas untuk mengembalikan ke orang yang punya. Dia menerima sambil tersipu. Memandang dari kejauhan, hatiku dag dig dug tak karuan. Aku tak terbiasa dengan situasi seperti itu. Kehidupanku sebelumnya tak pernah bersentuhan dengan hal-hal roman. Dan syukurlah, Allah meridhai perasaanku. Mahasiswi baru itu beberapa tahun kemudian aku sunting menjadi istriku. Berdua kami bersama mengarungi kehidupan. Dan Allahpun berkenan menganugerahi kami tiga putra putri yang menyenangkan mata, dan menentramkan hati. Cerita diriku dengan dirinya begitu panjang dan berwarna. Entahlah, kelak mungkin ada kesempatanku untuk menulis kisah kami dalam cerita tersendiri.
Ospek tahun 1992 berjalan lancar dan sukses. Dan angkatan
1991 dibawah kepemimpinan Aim mencatat prestasi tersendiri.
D. Ospek 1993
Ini Ospek paling dramatis dalam kisah perjalananku mengelola
kegiatan Ospek di kampus. Tentunya akan ada detail-detail kejadian yang tak
akan aku ceritakan. Tapi aku yakin yang terlibat langsung saat pelaksanaan Ospek
tahun 1993 lalu pasti masih mengingatnya.
Ketidak-nyamanan sebenarnya sudah aku rasakan sejak awal saat
penyusunan rencana program kegiatan Ospek oleh Senat. Saat itu Senat mahasiswa
Fp Uns dipimpin oleh mas Asnanto. Mahasiswa angkatan 88. Ada beberapa petinggi Senat
saat itu yang sudah memberikan opsi opini yang menurutku kurang tepat. Mereka
menghendaki agar kendali operasional Ospek mahasiswa baru angkatan 1993 ini
diserahkan kembali kepada mahasiswa angkatan 1991. Bukan angkatan satu tingkat
di atasnya, atau angkatan tahun 1992, seperti kelaziman sebelumnya. Aku kurang
bisa menerima argumen petinggi Senat tadi. Aku merasa mengenal betul karakter
angkatan 91, dan karakter angkatan 92. Sikapku konsisten dan aku tunjukkan
dengan tegas, bahwa untuk Ospek tahun 1993 ini agar tetap dibawah kendali
lapangan dari mahasiswa angkatan 92. Pengurus Senat akhirnya melunak, dan tetap
menyerahkan kendali penyusunan panitia padaku. Hal yang jarang aku ceritakan ke
siapapun, bahwa sebenarnya aku menjamin ke Senat jika angkatan 92 pasti mempu
menakhodai kegiatan Ospek.
Mulailah metode identifikasi aku jalankan. Dari sekian
kandidat tokoh angkatan 1992 yang potensial menjadi ketua panitia Ospek,
pilihanku jatuh ke sosok Hernowo. Dia
mempunyai cukup kewibawaan untuk memimpin teman-temannya. Tapi ternyata tidak semulus
seperti yang kurencanakan. Dia menolak saat pertama kali aku sodorkan pilihan
menjadi ketua OC Ospek. Aku harus telaten memberinya motivasi dan kepercayaan
diri, bahwa dia memang mampu mengemban tugas itu. Dan akhirnya dia menerima,
bersedia menjadi ketua panitia Ospek 1993. Aku biarkan dia bersama tim kecilnya
menyusun kepanitiaan.
Untuk yang kedua kalinya, Ospek mahasiswa baru kami selenggarakan di bumi perkemahan Manisrenggo Klaten. Dalam pengamatan awalku, pada formasi mahasiswa baru angkatan 1993 ada beberapa mahasiswa
yang aku tengarai merupakan anak pribumi asli kota solo. Entahlah, dalam
memetakan potensi personal, posisi anak pribumi asli selalu aku posisikan
tersendiri.
Dan acara Ospek 1993 ini kami mulai. Berbekal
pengalaman kegiatan tahun 1992 lalu, di benakku sudah tertanam rencana-rencana
teknis kegiatan yang akan kami realisasikan pada tahun itu.
Sampai hari kedua, acara pelaksanaan berjalan lancar. Panitia
pelaksana dari angkatan 1992 mampu membangun kegiatan dengan baik dan sukses.
Acara-acara pengenalan keorganisasian mahasiswa kemudian game-game outdoor
berjalan lancar dan meriah.
Dan tibalah pada kejadian awal yang kemudian memicu kerusuhan
pada hari berikutnya. Kejadian-kejadian ini tentunya terjadi menurut
peneropongan dari kaca mata versiku. Bisa jadi orang lain melihat dengan kaca
mata versinya yang mungkin berbeda.
Sebagai panitia pengarah (SC) aku sudah menyusun skenario
acara yang akan memuncak menjadi acara renungan pada malam terakhir di lokasi
perkemahan.
Pada awalnya, saat sebagian panitia pelaksana memimpin acara
di aula acara, ada suara-suara teriakan bentakan keras dari lapangan samping
aula. Itu adalah suara panitia pengarah yang dimaksudkan memberi kesan pada
peserta bahwa panitia pelaksana sedang ditindak panitia pengarah. Bahwa OC
sedang dimarahi oleh SC. Semua panitia OC kami suruh berkumpul di samping Aula.
Kami sengaja mengkondisikan demikan agar suara-suara bentakan keras itu
terdengar oleh peserta. Dan seperti yang kami harapkan, terlihat para peserta
mulai kebingungan melihat situasi tadi. Ketika tiba-tiba panitia pelaksana
dikumpulkan dan dimarahin habis-habisan oleh panitia pengarah. Wajah-wajah
mereka tegang dengan kondisi yang memang sengaja kami ciptakan mencekam.
Nah, pada saat seperti itu, ketika kondisi mental peserta
menurun menuju titik terendah, aku akan masuk ke dalam ruangan dan menetralkan
situasi dengan memberi mereka materi-materi renungan.
Tapi apa yang terjadi...?
Ketika aku masuk ke ruangan, ternyata di depan peserta sudah
berdiri ketua Senat memegang kendali acara. Aku mati langkah. Skenario yang
sudah kami susun adalah aku masuk ke ruangan yang sudah terkondisikan menjadi
status quo. Kondisi yang seolah tanpa kendali dan tanpa kontrol. Fikiran
peserta dalam suasana seperti itu akan kosong. Karena mereka belum mengerti dan
memahami perubahan situasi yang terjadi mendadak dan seolah tanpa kendali. Pada
saat seperti itulah aku masuk, mengambil alih kendali acara, lalu secara
perlahan memberikan materi renungan.
Tapi aku betul-betul mati langkah saat itu. Situasi yang
seharusnya status quo tadi tiba-tiba sudah ada ketua Senat yang mengendalikan
acara.
Di kemudian hari aku baru mengerti, bahwa ketua Senat tidak
mengerti skenario acara dari kami, panitia Ospek. Melihat situasi yang
"kosong" seperti itu, dia berinisiatif mengambil komando acara. Dia
berniat "membela" peserta dengan menegur kami. Terutama panitia
pengarah. Dengan bentakan keras dia menghardikku, dan berteriak hendak
memberiku tindakan di hadapan peserta. Dia menyuruhku push-up. Aku tertegun
sejenak. Dalam fikiranku, jika aku sudah dimarahi di depan peserta seperti itu
lalu siapa nanti yang akan memberi materi renungan kepada peserta. Skenario
sebenarnya sudah kami siapkan matang. Panitia pelaksana dimarahi di depan
peserta agar timbul rasa simpati peserta kepada mereka. Dan panitia pengarah
bertindak keras kepada panitia pelaksana agar tercipta kewibawaan sehingga aku
akan lebih mudah memberi peserta materi renungan.
Dan skenario itu buyar, rusak berantakan.
Aku hilang akal di depan peserta, di dalam ruangan itu.
Fikiranku mati kutu. Sekejap hilang akal kendali. Tapi aku paksakan diriku agar
tidak mengucapkan perkataan apapun. Aku khawatir kata umpatan kasar yang keluar.
Dengan darah yang masih mendidih, aku melangkah keluar. Di depan pintu keluar
tergeletak sebuah galon air mineral kosong. Galon itu aku tendang keras. Aku
hanya berfikir harus secepat mungkin meninggalkan ruangan itu. Sebelum keluar
kata-kata kasar atau tindakan tak pantas dariku. Aku terus melangkah keluar,
menuju tempat kosong di belakang lokasi perkemahan. Di situ aku duduk, mencoba
menenangkan hatiku....
Beberapa kawan datang dan menemaniku di situ. Tapi tak banyak
percakapan yang terucap. Mereka memaklumi aku sedang dikuasai perasaan amarah yang tinggi.
Aku hanya perlu waktu untuk menenangkan diri. Dari kejauhan
terlihat suasana acara Ospek masih terkendali. Para peserta tidak menyadari apa
yang sebenarnya terjadi.
Setelah acara ditutup, entah dengan cara seperti apa, aku
kembali ke ruangan aula perkemahan. Beberapa panitia pelaksana memandangku
dengan sorot mata penuh tanda tanya. Yaa, mereka pasti merasa kebingungan
dengan peristiwa yang barusan terjadi. Karena dalam skenario yang telah kami
rencanakan, setelah panita pelaksana seolah-olah kami "tindak" di
luar aula, kami dari panitia pengarah akan masuk ke dalam aula mengambil alih
kendali. Panitia pengarah akan memberikan materi renungan kepada peserta yang
sudah kami kondisikan pada posisi emosional yang rendah atau bahkan kosong.
Pada saat manusia sudah berada pada situasi seperti itu, mereka akan lebih
mudah manerima materi-materi yang mengajak untuk merenung dan berfikir.
Sayang... skenario itu gagal berantakan.
Aku sempat berpapasan dengan ketua Senat. Dia memandangku,
tak mengucapkan perkataan apapun. Akupun sedang tidak dalam hasrat untuk
berkomunikasi dengannya.
Pagi harinya, suasana sudah kembali berjalan normal. Acara pada
hari terakhir memang kami kondisikan lebih santai. Peserta diberi tugas untuk
meminta tanda tangan kepada panitia pelaksana. Ini salah satu acara favorit
bagi panitia. Terutama panitia cowok. Mereka mendapatkan arena untuk
"berkreatifitas" dalam memberi tanda tangan untuk peserta cewek.
Kamipun lantas kembali ke kampus.
Kami sudah menemukan skenario alternatif untuk menggantikan
materi renungan yang gagal di bumi perkemahan.
Panitia pelaksana dan panitia pengarah briefing di ruang
kantin. Masih ada satu acara yang bisa kami modifikasi menjadi menjadi acara
materi renungan. Yaitu acara guyuran.
Skenario kami, peserta kami kumpulkan di halaman
laboratorium. Mereka akan kami bombardir lagi dengan stressing yang keras.
Semua peserta harus dalam posisi menunduk menatap tanah, sementara di
sekeliling mereka semua panitia memberikan intimidasi. Masih dalam posisi
tertunduk, peserta kami giring untuk berpindah ke halaman gedung satu. Akan
kami kondisikan mereka berkumpul dengan posisi berjongkok dan wajah tertunduk.
Nah... Pada saat itu lah aku akan mengambil alih kendali
acara. Megaphone akan berada di tanganku. Akan aku pulihkan kondisi emosional
peserta kembali pada situasi normal. Saat kondisi peserta sudah normal seperti
itulah, akan ada guyuran air hydran dari lantai tiga. Air yang tercurah akan
mengguyur kami tanpa kecuali. Peserta dan panitia. Pada saat itulah peserta
kami persilahkan untuk menengadahkan wajahnya. Meraka akan mendapati di
sekeliling mereka ada kami, kakak-kakak mereka, yang dengan wajah cerah
menyambut tatapan mereka. Kami akan hamparkan tangan kami menyambut mereka.
Suasanapun akan menjadi hangat dan cair.
Seperti itulah yang terbangun saat kami dari angkatan 90
membangun acara Ospek untuk angkatan 91 dua tahun sebelumnya.
Tapi inilah yang terjadi saat Ospek tahun 93....
Pada awalnya, acara berjalan sesuai skenario. Peserta sudah
habis-habisan diturunkan mentalnya sejak dari halaman lab.
Begitu mereka sampai di halaman depan gedung satu, sesuai
skenario kami, maka aku harus mengambil alih megaphone dan mengendalikan acara.
Tapi ternyata tidak seperti itu yang terjadi.
Saat megaphone yang berada di tangan panitia pelaksana aku
minta, entah kenapa dia menolak memberikannya kepadaku.
Usiaku masih relatif muda pada saat itu. Kestabilan jiwaku
belum matang. Perasaanku masih mudah terkuasai amarah.
Dalam sekejap, emosiku kembali membumbung tinggi. Benar-benar
akal sehatku hampir sepenuhnya hilang saat itu. Tapi masih ada terbersit
kesadaran dalam benakku, bahwa jangan membuat keonaran di depan peserta.
Aku bergegas memasuki teras gedung satu. Ada satu krat
minuman yang berisi botol-botol kosong di dalamya. Krat itu aku banting,
terdengar suara botol-botol yang pecah. Beberapa kawan senior bergegas
menghampiri dan hendak menenangkanku. Ada secuil kesadaran dalam benakku bahwa
lokasi aku meluapkan amarah itu masih terhitung dekat dengan lokasi peserta
yang sedang bersiap menerima guyuran air dari lantai atas. Aku bergegas
menyingkir dari halaman depan. Aku berjalan melingkar, memutar gedung, lalu
duduk di halaman parkir sepeda motor. Beberapa kawan menemaniku di situ. Salah
satunya Iwan Kharismeinosa, salah satu panitia pelaksana sahabatku, dari
angkatan 92.
Kita tinggalkan sejenak cerita tentangku. Mari kita lihat
suasana kacau di depan gedung. Cerita ini aku dapat beberapa tempo waktu setelahnya.
Seperti yang aku cemaskan, ketika semua peserta sudah dalam
posisi tertunduk di halaman gedung, maka munculah teriakan komando dari bawah
agar petugas yang bersiap di lantai 3 menyiramkan air dari hydran.
Airpun meluncur deras mengguyur peserta. Sedangkan saat itu
mahasiswa angkatan 1993 masih dalam kondisi emosional yang sangat tinggi
dan rentan akibat pengkondisian panitia
sebelumnya...
Kemudian disusul teriakan agar peserta berdiri dan membuka
mata.
Pada saat itulah kekisruhan lantas terjadi.
Pada saat itulah kekisruhan lantas terjadi.
Peserta menjadi brutal. Mereka berbalik lalu berganti
"menyerang" panitia. Aku memakai tanda kutip, karena kata menyerang
yang aku maksud di sini bukan menyerang dalam arti berkelahi atau beradu fisik.
Sedangkan beberapa mahasiswa senior yang ada, saat itu berada
di lokasi belakang gedung menemaniku.
Suasana benar-benar kacau balau saat itu. Lokasi kisruh
bahkan sampai menyebar ke halaman atas menuju gedung laboratorium. Salah
seorang peserta sampai mengalami semacam "kesurupan" di depan pos
satpam. Ketika tiba-tiba dia menggeram dan menirukan gerak seperti harimau yang
merangkak. Peserta dan panitia laki-laki saling kejar di sekitar halaman
kampus. Dipenuhi teriakan-terikan amarah dan tangis histeris dari peserta
maupun panitia cewek.
Semua panitia seperti hilang akal sehat, bahkan
termasuk pengurus Senat yang mengawasi kegiatan. Mereka tidak sanggup merespon
perkembangan suasana yang mendadak mejadi liar pada saat itu. Beruntunglah pada
saat itu ada beberapa kelompok mahasiswa senior yang sedang melakukan aktifitas
di kampus. Yaitu dari mahasiswa pecinta alam "Kompos", dan kelompok
teater kampus "Thukul". Mereka mahasiwa senior yang sudah matang.
Melihat kekacauan terjadi di kampus, mereka terjun langsung ke lokasi kekisruhan
membantu menenangkan suasana.
Aku masih duduk termenung di lantai halaman parkir. Suara
teriakan-teriakan dan jerit histeris terdengar, tapi fikiranku sudah kosong.
Tak sanggup lagi merespon. Iwan Kharismeinosa (sekarang sudah wafat) yang duduk
di sampingku mendadak histeris tanpa sebab yang aku pahami. Beberapa kawan
menenangkannya.
Aku akhirnya meninggalkan kampus melalui pintu belakang atau
jalur rumah kaca. Di tempat kost Arif Wibowo aku menenangkan diri lagi. Sampai
malam. Aku sengaja tak hadir dalam acara pentas seni penutupan Ospek. Beberapa
kabar perkembangan situasi mulai masuk ke telingaku. Tentang kekisruhan antara
peserta dan panitia. Termasuk ada juga kabar bahwa konon ada beberapa panitia
pelaksana yang marah dan mencariku. Ahhh... Kenapa sampai susah mencariku. Toh
aku ada di tempat terbuka. Semua pandangan mata mudah mencariku. Tapi yang
membuat aku berpikir, bahwa kabar tentang beberapa mahasiswa yang
"mencariku" ini sampai ke telinga beberapa mahasiswa angkatanku yang
asli Solo. Mereka mengutus teman untuk meneliti kabar ini. Apakah benar aku
sedang dalam posisi berseteru. Aku berpikir hal seperti ini menjadi potensial
berubah menjadi masalah yang besar. Maka bergegaslah aku ke kampus. Sementara
aku tidak memunculkan diri. Kepada mas Agus Subekti, atau Agus Gajah pentolan
angkatan 88 aku sampaikan perkembangan situasi ini. Agar potensi masalah
seperti ini segera kita redam. Mas Agus sepakat, perselisihan antara aku dan
beberapa panitia pelaksana akan dijernihkan dulu. Baru kemudian meredakan
potensi konflik yang lain. Sementara di Ruang 1 berlangsung acara penutupan Ospek,
aku menunggu di ruang yang biasa dipakai mahasiswa untuk Shalat. Beberapa kawan
bergantian menemaniku di situ, sambil mengabarkan perkembangan situasi yang
terjadi.
Selesai acara penutupan, ketika semua peserta mahasiswa baru
dan para dosen fakultas sudah meninggalkan ruangan, aku memasuki ruang aula utama.
Aku langsung menuju deretan kursi pembicara di depan. Sepintas aku pandangi
wajah-wajah panitia yang ada di depanku. Mayoritas dari mereka tak
menunjukkan amarah atau permusuhan terhadapku. Hanya beberapa dari mereka yang tak
bisa aku tebak isi perasaannya. Tapi aku sudah memperhitungkan hal ini.
Pengeras suara aku ambil. Dengan kata-kata yang jelas, meski
rada tersendat, aku sampaikan permintaan maaf kepada panitia pelaksana. Aku tak
perlu mencari kambing hitam atau mencari siapa-siapa yang bersalah. Semua beban
tanggung jawab kesalahan aku tanggung. Terlepas dari segala hal yang mendasari
situasi kekacauan, pemicu kerusuhan pada hari itu adalah pada saat acara
guyuran. Ketika aku kalap, meninggalkan lokasi acara tanpa ada yang
mengendalikan. Kuakui kesalahanku, dan aku minta maaf. Immawan tiba-tiba
berteriak keras lalu meninggalkan ruangan. Saat itu ada dua orang panitia dari
pribumi asli solo yang sejak awal bersamaku mengawal kepanitiaan. Immawan dan Iwan
Kharismeinosa. Aku maklum, bisa memahami perasaan Immawan. Salah seorang panitia pelaksana, Benyamin
Yuli, berlari ke depan menuju ke arahku. Dia memelukku. Air matanya tumpah. Senat
dan para senior lain akhirnya turun tangan. Situasi mereka netralkan sebaik
mungkin. Acara klarifikasi pada malam itu berjalan lancar. Paling
tidak, issue perselisihan antara aku dari angkatan 90 dengan panitia pelaksana
dari angkatan 92 teredam dengan baik. Aku peluk Hernowo, ketua panitia
pelaksana, kusampaikan permintaan maafku. Memang kuakui, selama sekitar
sebulan persiapan acara Ospek itu dia begitu aku tekan untuk dapat
mengendalikan panitia dan kegiatan dengan sempurna. Mungkin aku terlalu keras
menekannya. Sedangkan dia sejak awal sebenarnya tidak berambisi menjadi ketua
panitia. Tapi aku yang setengah memaksanya agar bersedia menjadi ketua panitia.
Sejak awal aku sudah yakin kalau Hernowo mempunyai kapasitas yang cukup untuk
menakhodai kepanitiaan. Dia hanya perlu meningkatkan rasa percaya dirinya saja.
Acara klarifikasi malam itu di kampus berjalan dengan baik.
Tapi tak ada orang lain yang tahu, bahwa sebenarnya ada bara yang masih menyala
di dadaku. Entah kapan setelahnya, bara itu pasti akan meledak.
Aku ingat kejadian beberapa tahun sebelumnya. Saat kami masih
semester 2. Angkatan 90 berniat membuat acara kemah bakti sosial di Tawang
Mangu. Beberapa diantara kami survey ke sana. Aku belum akan menceritakan
detail kejadian yang aku alami pada saat itu. Saat itu ada Arif, Cahyadi, Dhady
dan beberapa teman lain yang menyaksikan kejadian yang aku alami. Yang jelas,
sejak saat itu aku berusaha menghindar jika berada pada situasi yang rentan
membuatku kalap. Aku tahu di dadaku masih ada bara yang bersiap kapanpun untuk
meledak. Jadi lebih baik aku menyingkir. Setelah kegiatan malam itu ditutup,
aku ikut dengan Bustanul Arifin ke kediamannya di daerah Palur. Dan seperti
yang aku khawatirkan, pada suatu waktu di tengah malam itu, bara di dadaku itu
meledak. Tapi toh tak ada orang lain di situ. Hanya kami berdua. Aku dan Bustanul Arifin.
Paginya aku pulang ke Semarang. Saat itu aku memang
seharusnya menjalani perawatan di Rumah Sakit. Tapi aku tunda karena harus
mengawal pelaksanaan Ospek di kampus dulu. Ada polip di hidungku yang harus
dioperasi. Sambil menenangkan diri, aku menjalani operasi polip di RS Elizabeth
Semarang. Bahkan aku tak berfikir panjang ketika Dokter menawarkan agar
sekalian dilakukan operasi amandel. Aku iyakan saja. Yang setelah itu
sebenarnya sempat aku sesali. Karena dengan adanya operasi polip itu, maka
praktis organ hidungku tak befungsi beberapa waktu. Kedua lubang hidungku
ditutup dengan perban yang panjang. Sehingga untuk bernapaspun harus melalui
rongga mulut. Sedangkan rongga mulutkupun tidak dalam kondisi normal akibat luka
operasi amandel di tenggorokanku. Jadi selama beberapa hari itu aku berada
dalam kondisi yang begitu menderita. Boro-boro meneguk air, sedang saat menelan
ludahpun rasanya seperti menelan segenggam jarum yang menusuk melewati
tenggorokanku.
Sementara aku beristirahat di rumah kakakku. Sesekali aku
menelpon temanku di Solo menanyakan perkembangan situasi. Saat itu kami belum
mengenal piranti komunikasi seluler. Beberapa teman dari adik angkatan juga
mengirimiku surat melalui kantor pos, memberiku informasi terbaru.
Suasana di kampus ternyata belum kembali pulih. Potensi
konflik antara mahasiswa senior memang sudah teredam. Tapi ada potensi konflik
lain dari mahasiswa baru angkatan 93. Mereka yang sebelumnya hanya pasrah
menerima tekanan dari seniornya, saat itu mulai muncul gejala-gejala tanda
perlawanan dari mereka. Aku mengenal beberapa pentolan angkatan 93. Sebelumnya
sudah sempat aku petakan. Dari kelompok mahasiswa asli pribumi Solo ada Hoho,
Agus Endot dan Gempil. Lalu ada beberapa mahasiswa lain yang meskipun bukan
warga asli Solo tapi punya pengaruh kuat di angkatannya. Ada Putut, Lasdar dan
Ulin. Nama terakhir ini sekarang berada di lingkar pusat kekuasaan negeri ini.
Pada saat terjadi kisruh Ospek tahun 93 lalu itu, nama Ulin menjadi salah satu
nama yang paling dicari mahasiswa senior.
Akupun segera kembali ke Solo dan bergabung lagi di kehidupan
kampus. Aku rasakan sudah tidak ada potensi konflik diantara mahasiswa senior.
Tapi memang terlihat masih ada ganjalan di lingkungan mahasiswa baru angkatan
93. Mereka masih merasa dipojokkan. Dampak kisruh guyuran Ospek belum
sepenuhnya hilang. Dengan keterlibatan mahasiswa-mahasiswa angkatan senior,
potensi kerawanan itu akhirnya bisa diredam. Semua angkatan di kampus pertanian
kembali bisa bergandeng bersama mengisi dinamika kehidupan kampus.
Kekisruhan saat Ospek tahun 93 menjadikan kami lebih matang
dan dewasa. Aku tak perlu mencari-cari atau menunjuk siapa sebenarnya figur
yang harus paling bertanggung jawab dalam kekacauan itu. Semua pihak mempunyai
andil kesalahan sehingga kekisruhan itu terjadi. Terutama diriku. Seandainya
aku mampu menahan diri saat muncul percikan konflik ketika di tempat perkemahan
serta mampu menahan diri saat tragedi guyuran di depan kampus tentu kerusuhan
seperti itu tak akan terjadi. Tapi sudahlah, aku bersyukur keributan itu bisa
kami akhiri dengan baik dan damai serta tak berkembang menjadi kekisruhan yang
lebih besar dan luas.
Hampir semua obat rasanya memang pahit. Tapi itu menjadikan kita lebih siap
dan tangguh menghadapi tantangan masa depan.
Dan yang aku ceritakan ini adalah kejadian yang terjadi
menurut sudut pandangku. Bisa jadi orang lain yang melihat dan mengalami
kejadian itu memaknainya lain. Makna yang tertangkap menurut sudut pandangnya
masing-masing.
E. Ospek 1994
Aku sebenarnya sudah tidak begitu antusias mengurusi Ospek
lagi. Sejak semester lima terlewat, sudah aku sadari begitu banyak
ketertinggalanku dalam pencapaian nilai akademis. Sehingga aku harus mulai
mengurangi aktivitas non akademis dan lebih serius lagi menjalani perkuliahan
dan ujian untuk memperbaiki pencapaian nilai Indeks Prestasiku. Tapi akupun tak
mungkin membiarkan ketua Senat saat itu, sahabatku Sony, mengelola Ospek tanpa
support dariku. Apalagi aku termasuk salah satu mahasiswa yang penuh mendorong
Sony, mahasiswa seangkatan denganku agar bersedia menerima amanah tanggung
jawab sebagai ketua Senat mahasiswa. Sebutan Senat mahasiswa, saat ini lebih
dikenal dengan sebutan BEM. Badan Eksekutif Mahasiswa. Aku berbagi peran dengan
Sony. Dia menjadi ketua Senat mahasiswa Fp-Uns, dan aku menjadi Ketua Badan
Pelaksana ISMPI (Ikatan Senat Mahasiswa Pertanian Indonesia) Wilayah Jateng dan
DIY.
Agar terjadi penyegaran, pelaksanaan Ospek 1994 ini kami
selenggarakan di Bumi Perkemahan Pantaran, Boyolali. Bukan di Klaten lagi.
Ketua panitia pelaksananya tak begitu aku ingat pasti. Apakah Putut, atau
Lasdar. Dari mahasiswa angkatan 93. Aku tak begitu banyak berperan lagi dalam
tahapan-tahapan perencanaan dan persiapan. Akupun tak lagi berada dalam jajaran
panitia pengarah (SC) lagi. Posisiku di Ospek saat itu jelas.
Sebagai senior. Bersama beberapa teman mahasiswa senior, kami membentuk tugas
dan peran sendiri. Kebetulan salah seorang temanku dari angkatan 90 mempunyai
Handy Cam. Barang yang pada masa itu masih sangat langka. Kami namai sendiri
kelompok itu dengan sebutan KTVC, Kentingan TeleVisi Club. Tugas kelompok ini
mengabadikan momen-momen menarik saat Ospek dan kelak akan diputar saat acara
penutupan atau pembubaran panitia. Dan khusus untukku, Sony memberiku tugas
mengawal acara renungan dan mengawasi jalannya acara jalan malam.
![]() |
KTVC bersama Sony (duduk) dan Sunarto (duduk) |
Acara berjalan sangat lancar sejak awal pembukaan di kampus
dan berlanjut ke bumi perkemahan Pantaran. Mahasiswa angkatan 94 termasuk
mahasiswa yang sangat kooperatif dalam menjalani kegiatan Ospek.
Tahapan-tahapan acara seperti jalan malam, game-game lintas medan, dan
seterusnya berjalan lancar.
![]() |
Suasana Game-Game di Lokasi Perkemahan |
Nah, sampailah pada malam terakhir saat tiba waktunya materi
acara renungan. Aku sudah siapkan sematang mungkin skenario acara renungan.
Tapi sungguh, saat itu aku merasa
sungkan kepada Senat jika harus memegang komando saat renungan malam. Ada trio
pejabat Senat yang ketiganya merupakan sahabat-sahabatku. Ada Sony, Sunarto dan
Riri. Akhirnya, dalam setinganku,
penanggung jawab materi renungan tetap berada di tangan mereka bertiga. Aku
hanya bertugas menyiapkan suasana atau mengkondisikan peserta agar siap
menerima pemberian materi renungan.
Trik yang kami bangun saat menjelang materi renungan malam
berjalan lancar. Begitu semua peserta sudah kami kondisikan siap untuk menerima
materi renungan, komando acara aku serahkan ke trio pengurus Senat tadi.
Ketiganya langsung mengambil posisi di depan peserta dan memberi materi
renungan. Aku menyingkir dan mengawasi dari tempat tertutup di belakang
peserta.
Banyak materi-materi perenungan yang lancar diluncurkan oleh
ketiga pengurus Senat tadi ke peserta. Semua mahasiswa barupun nampak serius
menerima materi tadi.
Acara renungan pada malam itu berjalan sukses dan lancar.
Meskipun belum terjadi situasi klimaks seperti yang aku harapkan. Ibarat
permainan sepak bola, penampilan trio petinggi Senat tadi lumayan memikat. Tapi
sayangnya, sampai peluit terakhir terdengar tetap belum tercipta Goal ke gawang
lawan.
Bagiku, pelaksanaan Ospek tahun 94 itu telah mampu memulihkan
"luka" yang sempat tertoreh pada saat pelaksanaan Ospek
tahun 93 sebelumnya.
![]() |
(bawah) Gambaran Prosesi Guyuran |
F. Ospek 1995
Situasi seperti tahun 94 sebelumnya kembali terulang pada
tahun ini. Ketua Senat saat itu dari mahasiswa
angkatan 91 di bawahku, Baroto Eko Pujanto. Hubungan kami sangat dekat.
Sudah akrab sejak awal dia masuk perkuliahan. Jadi aku rasa tak mungkin dan tak
elok jika aku membiarkannya membangun kegiatan Ospek mahasiswa baru tanpa
dukunganku. Kembali aku terlibat dalam kegiatan Ospek. Meskipun tanpa penetapan
status yang jelas. Hanya sebagai senior. Dan kembali bergabung dalam riuhnya Ospek
95 di bumi pantaran dengan group kebanggaanku, KTVC.
Akupun tak terlibat dalam segala macam pernik kegiatan
persiapan kepanitiaan. Saat itu aku sudah menjalani tahap penyusunan skripsi.
Tim lengkap KTVC kembali beraksi. Kelompok yang didominasi mahasiswa angkatan
90, angkatanku, serta beberapa mahasiswa dari angkatan 91. Bahkan ada mas Puji,
kami memanggilnya simbah, dari angkatan 87 yang saat itu sudah lulus tapi turut
bergabung dengan kami.
Sayang aku tak bisa mendapatkan salinan rekaman handycam KTVC waktu itu. Pada masa itu kami belum familiar dengan Mini CD, apalagi Flashdisk. Untuk merekam hasil shooting digunakan kaset Beta kecil yang bisa dipakai untuk menyimpan hasil rekaman berulang-ulang.
Sayang aku tak bisa mendapatkan salinan rekaman handycam KTVC waktu itu. Pada masa itu kami belum familiar dengan Mini CD, apalagi Flashdisk. Untuk merekam hasil shooting digunakan kaset Beta kecil yang bisa dipakai untuk menyimpan hasil rekaman berulang-ulang.
![]() |
Formasi lengkap KTVC atas ki-ka : Mas Puji, Sugeng Tyson, Dhaddy Pelita bawah ki-ka : Aim, Nugie, Wawan, Sentot, Baroto, Aku |
Aku rada ragu siapa ketua OC pada Ospek 95 ini. Aku pikir awalnya Dhaddy Prasetyawan. Tapi setelah ngobrol dengan banyak pelaku sejarah saat kejadian dahulu itu, ternyata hasilnya sama, mereka juga kabur mengingat peristiwa hampir dua puluh tahun lalu itu. Baru kemudian misteri terpecahkan. Ketua OC pada Ospek 95 ternyata tetap dipegang mahasiswa angkatan 93, Arif Rahman. Pada saat itu ada perubahan pola kepanitiaan. Ketua OC Ospek dipegang oleh mahasiswa dua angkatan di atas mahasiswa baru. Dhaddy Prasetyawan baru menjadi ketua OC pada Ospek tahun berikutnya, 1996. Aku tak terlibat lagi di dalamnya.
Sejak awal acara di kampus, hingga di lokasi perkemahan, panitia dari angkatan 94 sukses membangun suasana kegiatan dengan baik. Aku bantu dengan usulan-usulan solusi jika mereka menemui kesulitan. Kelompok KTVC juga merekam adegan-adegan lucu dalam jepretan lensa kamera dan handycam kami. Salah satu peserta dari angkatan 95, kalau tak salah namanya Fathul, disuruh menunggang sebuah patung harimau dan bergaya seolah-olah sedang menunggang kuda layaknya cowboy. Dia sebenarnya tinggal dalam rumah kost yang sama dengan kami, Kost Mc Lampir. Dia hanya cekikikan pasrah menerima keisengan kami, senior-senior angkatannya. Dahulu aku ada menyimpan foto Fathul saat menunggang patung harimau ini. Tapi entah berada dimana, tak aku temukan saat kucari.
Sejak awal acara di kampus, hingga di lokasi perkemahan, panitia dari angkatan 94 sukses membangun suasana kegiatan dengan baik. Aku bantu dengan usulan-usulan solusi jika mereka menemui kesulitan. Kelompok KTVC juga merekam adegan-adegan lucu dalam jepretan lensa kamera dan handycam kami. Salah satu peserta dari angkatan 95, kalau tak salah namanya Fathul, disuruh menunggang sebuah patung harimau dan bergaya seolah-olah sedang menunggang kuda layaknya cowboy. Dia sebenarnya tinggal dalam rumah kost yang sama dengan kami, Kost Mc Lampir. Dia hanya cekikikan pasrah menerima keisengan kami, senior-senior angkatannya. Dahulu aku ada menyimpan foto Fathul saat menunggang patung harimau ini. Tapi entah berada dimana, tak aku temukan saat kucari.
Baroto
secara intensif dan khusus sengaja aku dampingi.
Sejak awal acara sebelum berangkat ke bumi perkemahan sudah aku rasakan
keanehan pada dirinya. Saat itu, seraut wajah dari sesosok mahasiswi
baru sudah
mengganggu pikirannya. Yaa, aku maklum, dia sudah terbidik panah asmara
mahasiswi baru gadis Cirebon, Maria Ulfa. Kejadian lama yang terulang
kembali di
kampusku. Ketika Ketua Senat kampus terpikat dengan adik tingkatnya.
Ketua Senat
sebelum Baroto, Sony, juga terpikat dengan adik tingkat dari angkatan
92, Lily.
Yang ternyata juga seorang gadis Cirebon. Kedua pasangan itu kini sudah
menikah
dan membangun rumah tangga dengan tenang dan bahagia. Sony tinggal
bersama
keluarganya di Semarang, menekuni usahanya dalam bidang perdagangan
sarana
pertanian. Perusahaannya berkembang pesat, maju akibat ketekunan dan
integritasnya. Mengunjungi berbagai pelosok negara di segenap penjuru dunia ini sudah bukan hal asing lagi baginya. Baroto hidup sebagai Pegawai Negeri di Pemda Wonogiri,
kampung
halamannya. Di sana dia bersama Ria dan putra putrinya tinggal. Terkadang terpantau kegiatannya saat bertugas ke propinsi-propinsi lain di luar pulau Jawa. Sesekali
waktu,
kami, aku dan Baroto atau Sony, berkomunikasi. Aku bersyukur mendapatkan kesempatan turut berperan dalam tersambungnya hubungan kedua pasangan itu. Semoga mereka tetap lancar dan langgeng, dikaruniai hubungan yang shakinah dan mawaddah. Senantiasa bahagia bersama keluarganya..
Kita kembali lagi ke cerita Ospek. Kondisi Baroto seperti itu membuat dia tidak bisa fokus mengawasi jalannya Ospek. Apalagi
beberapa kali Ria harus masuk ruang kesehatan. Aku biarkan saja Baroto risau.
Kondisi itu malah membuatku semakin leluasa mengawasi pelaksanaan Ospek. Dhady
pun terlihat wellcome dengan keterlibatanku. Sedari awal, kami tidak terlalu
jauh mencampuri detail-detail acara yang sudah disusun panitia. Tugas dan misi
kami sudah jelas. Khusus mengawal dan membangun acara renungan agar sukses
selancar mungkin.
Setelah hari pertama dan kedua di perkemahan diisi dengan
materi pengenalan kampus, pengenalan dunia pertanian, serta game-game seru
lainnya, akhirnya masuklah kami pada malam terakhir di perkemahan. Malam yang
akan kami isi dengan materi renungan.
Semua panitia pelaksana, panitia pengarah, senior serta
pengurus Senat berkumpul di sebuah ruangan di dekat aula. Di situ kami
melakukan briefing. Panitia Pelaksana (OC) memberiku keleluasaan penuh untuk mengelola item acara pada malam itu. Begitupun panitia pengarah (SC) berikut pengurus Senatnya. Kendali pengaturan skenario acara berada di
tanganku. Aku sadari betul pada saat itu, bahwa ini adalah kesempatan
terakhirku terlibat langsung pada internal kepanitiaan. Acara renungan malam ini harus sukses. Begitu tekadku. Tak akan ada lagi kesempatan berikutnya. Bayangan tragedi kerusuhan saat Ospek tahun
93 lalu masih membayangiku.
Aku sampaikan skenario acara kepada seluruh mahasiswa yang
terlibat dalam kepanitiaan. Termasuk crew KTVC yang saat itu mendapat tugas
mengiringi acara renungan dengan dentingan gitar dan alunan vokal tanpa lirik
dari sisi aula. Lagu-lagu yang akan disenandungkan sudah kami tentukan. Lagu
"ibu" dari Iwan Fals, "Gugur Bunga", "Tuhan" dari
Bimbo dan beberapa lagu lainnya.
Dan mulailah kami menetaskan telur skenario itu...
Saat panitia sedang memberikan materi di depan aula, dari
belakang peserta kami sengaja membuat kegaduhan. Dengan bentakan yang keras,
personel panitia yang kami lakonkan "bersalah" kami tindak di ruang lapang belakang peserta.
Antara aula dan posko panitia. Bentakan kami dari mahasiswa senior tentulah
berbeda dengan bentakan panitia pelaksana yang satu tingkat di atas peserta.
Sedangkan mendapat perlakuan keras dari panitia saja sudah mampu membuat hati
peserta kecut, apalagi pada saat itu yang beraksi adalah mahasiswa-mahasiswa
senior yang sudah matang dengan asam garam kegiatan Ospek. Saat itu kami
membuat skenario ada pos penjagaan panitia yang kosong, sehingga keamanan tenda
peserta tidak terjaga.
Semua panitia pelaksana kami panggil untuk segera berkumpul.
Termasuk panitia yang sedang memberi materi di depan peserta kami panggil ke belakang. Bentakan dan
teriakan panitia senior terdengar keras bersahutan pada malam itu. Sekitar tiga
puluhan panitia pelaksana serentak berlarian serabutan menuju tempat lapang di
belakang aula, memenuhi panggilan mahasiswa senior. Suasana aula jadi kosong,
status quo.
Wajah peserta terlihat kebingungan menyikapi situasi yang
terjadi. Mereka menoleh ke belakang, melihat panitia yang sedang ditindak
senior.
Karena ruang lapang di belakang aula itu sempit, para panitia
kemudian kami giring bergeser ke lapangan sepak bola di samping lokasi
perkemahan. Lapangan yang dibatasi pagar tembok setinggi dada manusia itu berjarak sekitar lima puluhan meter dari aula yang
bentuknya terbuka.
Riuh, suara derap kaki panitia yang berlarian menuju
lapangan. Diselingi bentakan-bentakan keras senior yang terus terdengar.
Nah.. Ketika sudah berada di lapangan, kondisi mereka sudah
tak terlihat oleh peserta karena ada pagar tembok lapangan yang membatasi. Para panitia pelaksana itu sebenarnya dalam situasi
santai. Tidak berdiri dengan tegang dan kaku seperti yang dibayangkan peserta.
Dari tempat peserta, yang terpantau hanyalah suara-suara keras bentakan dan
teriakan-teriakan dari senior.
"Ayoo.. Kumpul sini semua... Cepaaat.."
"Panitia macam apa kalian ini.."
"Kalian tidak bertanggung jawab.."
"Hanya cari enaknya saja..."
"Disuruh jaga malah tidur..."
"Harusnya kalian malu jadi panitia"
"Semua usaha kalian sia-sia.. Percuma bikin persiapan
berbulan-bulan hasilnya cuman gini.."
Begitu antara lain teriakan-teriakan senior yang terdengar
oleh peserta. Bunyi teriakan-teriakan itu sebenarnya juga sudah kami
kondisikan. Kami meneriaki panitia, tapi sasaran sebenarnya adalah peserta.
Agar timbul kesan pada diri peserta, bahwa menjadi panitia itu ternyata tak
mudah.
Aku tak ikut ke lapangan. Ketika semua panitia pelaksana
berlarian ke lapangan digiring senior, aku mengambil alih kendali aula.
Aku
berakting pada saat itu. Entah gayaku saat itu terlihat
alami atau terlihat sudah diatur, aku tak tahu. Aku berdiri di depan
peserta.
Tapi mataku masih fokus memandang ke arah lapangan. Bergaya seolah saat
itu tindakanku adalah spontanitas. Mic pengeras suara ada di tanganku.
"Adik-adik tahu apa yang terjadi barusan..?"
Begitu tanyaku ke peserta. Tak seorangpun peserta yang berani
menjawab.
"Saat peserta mengikuti materi di aula, seharusnya
panitia menjaga keamanan tenda-tenda peserta. Saat kami periksa tadi, ternyata
ada pos penjagaan yang kosong. Maka itulah semua panitia ditindak
senior.." Ucapku.
Peserta tetap hening. Mata mereka menatapku, sesekali
berusaha menengok ke arah lapangan. Mereka ingin tahu apa yang terjadi di sana.
Sementara suara-suara bentakan senior masih keras terdengar.
"Jadi panitia itu berat, adik-adik.. Mereka adalah
orang-orang pilihan di angkatannya..
Butuh waktu sekitar tiga bulan untuk menyiapkan acara ini..
Jadi ketika teman-teman mereka lainnya menikmati liburan semester, para panitia itu
tak bisa leluasa seperti yang lainnya.. Mereka harus bekerja keras menyiapkan
acara ini sebaik-baiknya.."
Suasana menjadi hening. Fikiran peserta sudah masuk dalam giringanku. Wajah mereka tertunduk.
"Jadi kami tidak bisa menerima sekecil apapun kesalahan
yang mereka buat... Mereka mewakili semua mahasiswa di kampus kita dalam
menerima kalian, adik-adik baru kami... Pelaksanaan Ospek ini harus berjalan
sempurna.. Tak boleh ada kesalahan yang terjadi.." Lanjutku.
"Sejak hari pertama mereka kami biarkan membuat acara
dalam bentuk apapun ke kalian.. Tiap hari kalian dibentak-bentak..
Disuruh-suruh ini dan itu.. Lalu dihukum sesuka mereka.. Karena mereka memang mendapat mandat dari
kami semua.."
Penyampaianku mulai mempengaruhi fikiran peserta.
"Nah.. Sekarang mereka ganti merasakan gimana rasanya
kalau dibentak-bentak dan dihukum.. Senang kan dek..? Melihat panitia dihukum
kayak gitu...?
Sebagian peserta mulai menengadahkan wajahnya. Raut mukanya
menunjukkan ada sesuatu yang ingin mereka ungkapkan.
"Mereka akan kami suruh tetap di lapangan sampai pagi..
Biar mereka merenung dan memikirkan apa saja yang telah mereka kerjakan selama
di sini.."
"Agar mereka rasakan juga seperti apa rasanya
saat kalian dihukum dan ditindak oleh mereka.. "
"Senang kan dek, melihat panitia sekarang dihukum
seperti itu.." Kuulang pertanyaanku..
Sebagian peserta terlihat gelisah. Sayup terdengar ada suara
yang menjawab "tidak"...
"Kami sengaja menghukum mereka di depan kalian agar
mereka sadar diri.. Tidak bebas seenaknya saja menghukum kalian.. Sekarang
saatnya pembalasan.. Kalian bisa menikmati melihat panitia dihukum dan
dibentak-bentak seperti tadi.."
Semakin banyak terlihat peserta yang gelisah.
"Sekarang biar panitia itu merenung, apa saja hasil dari
kerja mereka selama beberapa bulan ini.. Apakah acara Ospek ini bisa jadi
manfaat, atau hanya sekedar hura-hura berkemah saja.. Biar mereka fikir dan
renungkan sampai pagi di lapangan sana.."
Semakin banyak suara gelisah yang muncul dari tempat peserta.
"Mereka pikir kalian peserta Ospek ini bisa menikmati
acara ini.. Mereka pikir peserta bisa mendapatkan banyak manfaat dari acara
ini.. Padahal sebenarnya kalian peserta ini sudah muak dengan acara ini..
Betul begitu kan, dek...? Teriakku.
Banyak teriakan "tidak" dari arah peserta. Lantang.
"Lalu kenapa kalian diam saja..." Tukasku.
Beberapa peserta berdiri. Peserta putra dan putri. Aku
berikan kesempatan ke mahasiswi baru tadi untuk bicara, karena aku lihat
wajahnya sudah merah menahan tangis.
"Saya mohon panitia jangan dihukum, kak.." Ucapnya
dengan sedikit tersendat.
"Kenapa..?" Tanyaku.."Bukankah kalian senang
melihat panitia dihukum seperti tadi..?"
"Tidak..." Banyak terdengar jawaban dari peserta.
Beberapa peserta lain juga berdiri. Menyampaikan permintaan
yang sama, agar hukuman ke panitia dihentikan.
Akhirnya dua orang peserta tadi, putra dan putri, aku suruh
berlari ke lapangan, dan menyampaikan ke senior agar tindakan hukuman ke
panitia dihentikan. Kedua peserta tadi bergegas berlari ke arah lapangan. Dan
tak lama kembali lagi, menyampaikan kabar bahwa hukuman sudah dihentikan.
Setelah mereka berdua bergabung lagi dengan teman-temannya,
kendali acara kembali aku teruskan. Aku sampaikan, bahwa menjadi panitia Ospek
itu tidak mudah. Mereka adalah mahasiswa-mahasiswa pilihan yang mendapat
kepercayaan dari Senat. Proses penjaringan dan penyusunan kepanitiaan sudah
dimulai sejak tiga bulan sebelum pelaksanaan. Dan betul-betul efektif
beroperasional setelah pelaksanaan ujian semester genap selesai mereka jalani.
Sementara teman-teman mereka, mahasiswa yang lain, biasanya menikmati suasana
liburan semester dengan pulang kampung atau kegiatan lainnya, para panitia
pelaksana tidak bisa menikmati itu. Mereka tetap fokus dan penuh semangat
bekerja menyempurnakan persiapan kegiatan ini. Survey ke lokasi kegiatan,
menyiapkan konsumsi dan akomodasi, menyusun acara kegiatan dan sebagainya.
Mahasiswa baru peserta Ospek terlihat penuh perhatian
mendengar paparanku. Terlihat dari raut mukanya, mereka semakin tersentuh
dengan pengkondisian suasana yang kami bangun.
Untuk lebih memantapkan lagi, aku coba tanyakan ke peserta
apa yang akan mereka sampaikan jika panitia kami hadirkan di depan mereka.
Beberapa peserta saling berpandangan diantara mereka. Ada beberapa suara yang sempat aku dengar,
bahwa mereka ingin minta maaf kepada panitia. Akupun meminta
agar semua panitia dihadirkan di depan peserta. Secara tertib dan teratur satu
persatu berjalan masuk ke ruang aula. Berdiri berjajar di depan peserta.
"Nah.. Adik-adik.. Ini semua panitia sudah dihadirkan di
depan kalian..," tukasku.
"Lihatlah wajah-wajah mereka.. Apakah kalian lihat raut
amarah dan kebencian pada mereka..?
Ini adalah kakak-kakak kalian.. Yang telah merelakan waktu
dan tenaga mereka untuk menyiapkan acara ini.. Agar kalian lebih mengenal
tentang kampus dan dunia pertanian..."
"Lihatlah wajah mereka.. Apakah kalian lihat raut
kebencian pada diri mereka...?
Aku ulang pertanyaanku.
Ada jawaban pelan, tapi berasal dari banyak sudut dari arah
peserta..
" tidaak..."
Saat itu aku berfikir bahwa situasi sebenarnya sudah bisa
untuk dinaikkan menjadi puncak klimaks perenungan. Tapi aku tetap berpegang
pada skenario awal, bahwa masih ada beberapa materi renungan yang harus
disampaikan. Maka alur peningkatan derajad emosional peserta kembali aku tahan
dulu..
"Nah.. Silahkan untuk adik-adik yang ingin minta maaf ke
panitia agar maju ke depan.. Jabat tangan kakak-kakak kalian ini.."
Beberapa peserta maju ke depan. Posisi panitia sudah kami
kondisikan sedemikian rupa, sehingga panitia perempuan berada di depan peserta
perempuan. Demikian juga yang laki-laki.
"Jabat tangan kakak kalian.. Dan rasakan adakah rasa
permusuhan dari mereka.." Demikian instruksiku ke peserta. Beberapa dari
peserta sudah maju ke depan dan menyalami panitia.
"Jabat tangannya... Dan peluklah mereka.. Akan kalian
rasakan kehangatan seorang kakak dari mereka.."
Peserta-peserta itu menjabat tangan panitia dan memeluknya
sambil menyampaikan permintaan maaf. Panitia menyambut dan membalasanya dengan
pelukan hangat dan tepukan di punggung. Beberapa peserta perempuan memeluk
panitia putri dengan isak tertahan.
Semakin banyak peserta yang hendak bangkit dan bergabung ke
depan. Aku harus menahannya, agar kondisi emosional ini tidak mencapai puncak
terlebih dahulu. Setelah sekitar seperempat peserta menyalami dan memeluk
panitia, aku menghentikannya. Peserta yang belum beranjak ke depan aku minta
untuk tetap berada di tempatnya.
Aku sampaikan arahan sebentar kepada panitia pelaksana yang
masih berjajar di depan. Aku minta mereka meninggalkan tempat renungan dan
kembali ke posnya masing-masing. Merekapun meninggalkan ruang.
Kini tinggal aku, tunggal, yang memegang kendali acara. Ada satu dua panitia senior yang mendampingiku dari sisi-sisi aula. Entahlah, apakah aku egois, over percaya diri atau takabur pada saat itu. Yang
jelas, ketika itu aku betul-betul berniat agar malam ini acara renungan
benar-benar berjalan sesuai harapan kami jauh hari sebelumnya. Setelah
pelaksanaan renungan yang seharusnya berjalan seperti ini gagal dan berantakan
dua tahun sebelumnya (saat Ospek tahun 1993), maka aku harus memastikan tak ada
lagi potensi kendala yang berpeluang mengacaukan acara pada malam itu.
Aku berdiri dengan mic di tangan dan keseluruhan
peserta dari mahasiswa baru angkatan tahun 1995 yang duduk berjajar rapi di
hadapanku.
Panitia lain berdiri melingkari bangsal. Terbanyak mereka
berdiri berjajar di deretan belakang.
Mahasiswa senior yang bertugas mengisi ilustrasi musikal juga
sudah bersiap di tempatnya.
Aku ringkas saja materi-materi yang aku sampaikan pada saat
itu..
Seperti ini...
"Adik-adik... Kami ingin adik-adik memahami kenapa
kalian kami bawa ke tempat ini.. Malam hari kalian tidur di tenda, terkena
angin malam daerah sini.. Siang hari kalian kami ajak berjalan-jalan
berkeliling lingkungan sini.. Menyusuri persawahan.. Melihat dan bertemu para
petani yang tekun menggarap sawahnya.. Agar kalian bisa merasakan bagaimana
denyut napas seorang petani.. Karena untuk merekalah kita menuntut ilmu di
kampus pertanian ini.... Dari hari ke hari, tantangan mereka semakin berat, dik..
Tanah di nusantara yang subur ini semakin lama semakin berkurang untuk lahan
pertanian.. Masih banyak para petani yang tetap setia mengayun cangkul
menggarap lahan, tapi sudah bukan di tanah milik mereka sendiri.. Kalian harusnya
membuka mata dan mendengar berita, ketika banyak petani di daerah (aku
menyebutkan nama tempat yang saat itu sedang menjadi topik utama pemberitaan media massa dalam kasus
penggusuran) yang harus kehilangan lahan garapannya dan hanya diganti dengan
uang yang cuman cukup untuk membeli semangkuk mie ayam..." Tuturku...
Demikian aku terus membombardir peserta dengan kasus-kasus
penggusuran lahan persawahan petani.
Suara isak peserta kembali terdengar lagi.
Dan perlahan aku bergeser ke materi renungan berikutnya.
Tentang cinta tanah air...
Aku ceritakan kepada peserta tentang taman makam pahlawan
yang ada di depan kampus kami. Banyak tertulis di pusaranya, usia para pahlawan itu ketika gugur. Sebagian
masih berusia belasan tahun. Seusia mahasiswa yang duduk berjejer di hadapanku
itu.
Aku bilang ke mahasiswa-mahasiswa baru itu, kalau mereka
masuk ke dalam taman makam pahlawan, akan mereka temui sebuah nisan yang
bertuliskan nama Slamet Riyadi. Seorang pahlawan nasional yang berasal dari
kota Solo. Tapi jangan harap akan mereka temui bekas jasad atau sisa kerangka
di dalam makam itu. Karena sejatinya yang dikubur dalam makam itu hanyalah
serpihan tanah yang berasal dari sisa jasad pahlawan Slamet Riyadi yang gugur
saat memadamkan pemberontakan di daerah Ambon. Dia gugur saat berusia 23 tahun
(cerita ini aku dapat saat mengikuti pelatihan Paskibra UNS tahun 1990
sebelumya. Saat itu kami sempat ziarah ke taman makam pahlawan itu).
Dentingan
gitar masih terdengar syahdu mengiringi.
Satu dua peserta mulai histeris. Ada yang tiba-tiba
tergeletak di lantai aula. Pingsan. Dan inilah yang ditunggu-tunggu para
panitia cowok badung di sekitar aula. Meskipun sudah ditentukan pembagian
tugasnya, bahwa peserta cewek yang pingsan akan diurus oleh panitia putri,
tetap saja panitia cewek akan kewalahan karena mayoritas peserta yang pingsan
adalah peserta putri.
Kembali aku ajak peserta untuk mengembangkan imajinasinya.
Aku minta mereka membayangkan sosok bapak dan ibu mereka. Kira-kira apa yang
orang tua mereka lakukan saat ini. Bahwa mungkin ada banyak orang tua mereka
yang pada saat tengah malam seperti ini mendirikan ibadah dan bermunajat ke
Sang Pencipta. Memohonkan kebaikan untuk kita, anak-anaknya. Aku minta peserta
membayangkan kerut dan gores keletihan yang semakin banyak menghiasi wajah
orang tuanya. Mungkin ada diantara mereka yang sudah tidak utuh lagi orang tuanya. Bapaknya sudah berpulang, atau ibunya yang sudah mendahului. Bahkan mungkin ada diantara mereka yang sudah tak ada lagi bapak dan ibunya. Apapun itu, suatu saat kita pasti akan berpisah dengan kedua orang tua kita.
(aku terbayang raut wajah alamarhum bapak saat menyampaikan ini).
(aku terbayang raut wajah alamarhum bapak saat menyampaikan ini).
Terus aku sampaikan
materi-materi yang berkaitan dengan cinta dan hormat kepada orang tua. Para panitia mengevakuasi peserta yang pingsan
ke ruang kesehatan, diiringi sedu sedan peserta lainnya.
Dan sampailah aku ke puncak materi perenungan malam itu.
Para peserta aku ajak untuk merenungkan arti keberadaan kita
di dunia ini. Bahwa kelak pasti akan datang masanya, ketika semua manusia, seluruhnya, harus berdiri
berjajar memanjang, di sebuah padang yang teramat luas tak bertepi, mempertanggung-jawabkan segala perbuatan kita di dunia ke
hadapan Sang Pencipta. Segala pernik perbuatan, bahkan sekedar lintasan pikiran maupun desir perasaan kitapun akan terpapar dengan terang di hadapanNya.
Yang Haq, maupun yang bathil..
Aku minta mereka membayangkan suasana kelak setelah akhir jaman itu..
Yang Haq, maupun yang bathil..
Aku minta mereka membayangkan suasana kelak setelah akhir jaman itu..
Apakah kita sudah yakin akan selamat..??
Isak tangis sudah menggemuruh di aula itu. Para peserta yang lunglai bertambah lagi.
Aku akhiri perenungan malam itu dengan mengajak mereka untuk
terus melakukan perenungan tentang arti keberadaan manusia di dunia....
Renungan malam selesai. Aku tak ingat ada berapa peserta yang pingsan...
Lampu di aula itu kembali dinyalakan. Nampak wajah-wajah
peserta yang kuyu.
Alhamdulillah, materi perenungan yang aku sampaikan Insya
Allah masuk ke dalam hati sanubari mereka.
Semoga……
Semoga……
Panitia mengedarkan air minum kepada peserta. Aku pamit
meninggalkan aula. Peserta diijinkan untuk sejenak beristirahat di aula, untuk
kemudian dipersilahkan kembali ke tenda mereka.
Sejujurnya, saat itu aku mencari tempat yang rada sepi dan
tersembunyi, lalu aku merebahkan badan di situ. Beralaskan tanah dan
serpihan daun, serta beratap langit malam.
Aku renungi sendiri segala perkataanku. Bahwa yang
aku ucapkan untuk peserta Ospek sejatinya adalah kegundahan diriku sendiri.
Saat ini aku berada di sini. Di bumi perkemahan Pantaran Boyolali. Tapi entah besok atau lusa hari. Terbayang segala kemelut kehidupan yang kualami hingga usiaku menginjak dua puluhan tahun pada saat itu. Aku berharap sisa usia kehidupanku kelak lebih banyak diwarnai kedamaian dan ketenangan.
Sungguh aku sangat berharap...
Sungguh aku sangat berharap...
Aku pandang langit dan bintang di atas sana..
Yaa... Di bumi Pantaran aku layangkan ucap
syukurku, beban pelaksanaan Ospek di kampus telah aku tunaikan dengan baik pada
malam itu..
Semoga manfaat..
Semoga berkah...
*********
Kisah ini yang terbaca dari sudut pandangku..
Meski ada beberapa detail kejadian yang sengaja tidak aku paparkan
tetapi tidaklah merubah inti cerita kejadian yang berlangsung..
Bisa jadi kawan-kawanku yang lain melihat kisah yang terjadi ini berbeda dengan kisah kejadian yang aku tangkap...
Wallahu 'alam..
Anggaplah hanya sekedar cerita ringan pelepas lelah ketika penat..
Ada tiga nama pada cerita di atas yang saat ini tak lagi berada di alam yang sama dengan kita.
Iwan Kharismeinosa 92 wafat pada akhir tahun 2012 dahulu.
Febriana Hari Sulistyo 91 wafat pada akhir tahun 2018 kemarin. Beberapa bulan setelah aku sempat menghubunginya via Messenger Facebook, setelah lebih 20 tahun kami tidak berkomunikasi.
Firman Gondes 89 wafat pada awal tahun 2019 ini, saat cerita ini aku susun sedikit demi sedikit.
Mereka bertiga pulang setelah mengalami masa sakit terlebih dahulu.
Semoga kalian bertiga tenang di alam sana..
Aamiin Ya Robbal Aalaamiin..
*********
Kisah ini yang terbaca dari sudut pandangku..
Meski ada beberapa detail kejadian yang sengaja tidak aku paparkan
tetapi tidaklah merubah inti cerita kejadian yang berlangsung..
Bisa jadi kawan-kawanku yang lain melihat kisah yang terjadi ini berbeda dengan kisah kejadian yang aku tangkap...
Wallahu 'alam..
Anggaplah hanya sekedar cerita ringan pelepas lelah ketika penat..
Ada tiga nama pada cerita di atas yang saat ini tak lagi berada di alam yang sama dengan kita.
Iwan Kharismeinosa 92 wafat pada akhir tahun 2012 dahulu.
Febriana Hari Sulistyo 91 wafat pada akhir tahun 2018 kemarin. Beberapa bulan setelah aku sempat menghubunginya via Messenger Facebook, setelah lebih 20 tahun kami tidak berkomunikasi.
Firman Gondes 89 wafat pada awal tahun 2019 ini, saat cerita ini aku susun sedikit demi sedikit.
Mereka bertiga pulang setelah mengalami masa sakit terlebih dahulu.
Semoga kalian bertiga tenang di alam sana..
Aamiin Ya Robbal Aalaamiin..
0 Response to "Sekilas Cerita tentang Ospek Mahasiswa Baru Awal Tahun 90-an.."
Post a Comment