Sekilas Cerita tentang Ospek Mahasiswa Baru Awal Tahun 90-an..


OSPEK...
Orientasi study dan pengenalan kampus. Istilahnya keren dan terkesan formal. Tapi lebih lazim dikenal dengan sebutan gojlokan. Pada masa zaman kuliahku dulu, era awal tahun 90-an, setiap memasuki tahapan pertama di perguruan tinggi maka setiap mahasiswa baru hampir mustahil bisa terbebas dari kegiatan ini. Acara yang menjadi momok bagi setiap mahasiswa baru.

Begitupun yang aku alami. Kali ini akan aku ceritakan keterlibatan diriku dalam kegiatan ini. Baik saat menjadi korban alias peserta, serta berlanjut dengan bertahun-tahun kemudian menjadi subyek pelaku alias panitia...😊






Aku tercatat menjadi mahasiwa di Fakultas Pertanian Universita Sebelas Maret Surakarta pada tahun 1990. Sementara waktu aku  menetap di sebuah rumah yang dikontrak orang tuaku untuk tempat tinggal kami. Beserta kedua kakak dan seorang adik, kami tinggal di sebuah daerah yang orang Solo lazim menyebutnya "Sumber". Sebuah rumah di sisi jalan raya nasional menuju terminal bus Tirtonadi. Di samping pool bus Damri, dan tak jauh dari lapangan Manahan. Lumayan jauh jika harus menuju kampusku di Kentingan, di tepian sungai Bengawan Solo. Harus mengendarai motor, atau bus kota yang aku naiki dari depan SMAN 4 Surakarta hingga depan kampus Kentingan.

Aku masuk kuliah pada tahun 1990. Jadi selama periode aku kuliah itu tercatat satu kali aku menjadi peserta Ospek dan lima kali menjadi panitia ( tahun 1991 - 1995). Tapi aku tak ingat persis semua nama kegiatan Ospek yang melibatkanku di dalamnya. Hanya beberapa nama saja yang aku ingat. Itupun aku tak ingat betul kapan persis urutan tahun kegiatannya. Dimulai dari "BOM", "Laskar", "Plasma", "Korpus"  dst. Aku benar-benar tak mengingat yang lainnya..
Aku mulai kisahku dengan pengalaman saat menjadi peserta Ospek.

A.  BOM Tahun 1990

Nama kegiatan Ospek yang dikenakan pada angkatanku saat itu adalah "BOM 90". Kepanjangan dari Bina Orientasi Mahasiswa. Yang menjadi tradisi di FP-UNS, untuk panitia pelaksana (OC/organizing committe) kegiatan orientasi mahasiswa baru adalah mahasiswa satu tahun atau satu angkatan di atasnya, lalu mahasiswa yang lebih senior sebagai panitia pengarah (SC/steering committee), serta Senat sebagai pengawas. Jadi, saat aku masuk kuliah, yang menjadi panitia pelaksana kegiatan orientasi adalah mahasiswa angkatan 89, dengan didampingi dan diarahkan oleh mahasiswa dari angkatan diatasnya serta pengurus Senat.

Saat itu, selesai acara penataran P4 sekitar sebulan penuh dimana fikiran kami sedang "idealis-idealisnya", kami dikumpulkan oleh Senat di ruang 1 (ruang aula kampus). Hari itu adalah acara briefing untuk kegiatan orientasi mahasiswa baru. Sejak awal acara di pagi hari itu, dahi kami sudah berkerinyit mendengar paparan dari panitia. Tentang model pakaian yang harus kami kenakan, barang-barang "aneh" yang harus kami bawa. Saat itu kami tidak mendapatkan kesempatan untuk mengajukan keberatan, walau sekedar pertanyaan. Situasi sudah diciptakan sedemikian rupa dalam suasana tegang dan kaku. Dengan suara-suara nyaring dan bentakan-bentakan keras dari panitia. Menjelang akhir acara, kami sedikit tenang ketika seorang petinggi Senat menyampaikan pesan ," kalau ada yang ingin ditanyakan, silahkan adik-adik datang ke kantor Senat untuk berdiskusi".

Selesai acara, beberapa orang diantara kami menuju kantor Senat. Kami ingin diskusi. Kami ingin meminta penjelasan tentang beberapa detail ketentuan acara yang kami rasa aneh dan janggal.

Tapi apa yang kami dapat..?
Sesampai di depan ruang Senat, pengurus senior Senat tadi menyambut kami dengan ketus. Sambil duduk di atas jok motor yang terparkir di depan ruang Senat dia menghardik kami.
"Kalau merasa tidak puas, silahkan melapor ke rektorat"
Kami mahasiswa baru, baru saja selesai menjalani penataran P4 yang dipenuhi dengan debat - debat panas dan idealis, dihadapkan dengan perlakuan seperti itu tentu seperti layaknya "ditantang". Dan kami pantang mundur saat menerima tantangan.
Maka kamipun memenuhi tantangannya. Kami bergegas menuju kantor rektorat. Seingatku ada Arif Wibowo, Choentrianto, Gunawan cepek, Griyo. Aku tak ingat lagi siapa. Kemungkinan besar Bambang S Widodo. Untuk situasi-situasi yang membutuhkan kelihaian argumentasi seperti ini selalu kami pasrahkan ke Arif Wibowo untuk tampil di depan. Dia mempunyai keunggulan dalam menyampaikan narasi-narasi yang runtut dan logis. Aku cukup berperan di belakang layar saja. Mendesain strategi dan mengamati potensi gangguan yang mungkin muncul. Kami menghadap ke bagian rektorat bidang 3, atau bidang kemahasiswaan. Dan kami langsung diterima oleh bapak Pembantu Rektor 3 di ruangannya pada lantai 2 gedung rektorat. Kepada beliau kami sampaikan ganjalan kami. Tentang beberapa aturan kegiatan Ospek yang kami rasa aneh, serta kewajiban membawa barang-barang yang kami pikir juga tak lazim.
Bapak PR 3 mendengarkan semua keluhan kami dengan serius dan penuh perhatian. Kami lalu pamit setelah beliau berjanji akan menindak lanjuti semua laporan kami. Kami keluar dari ruangan beliau, lalu turun menuju tempat parkir motor di halaman lantai bawah. Setelah sempat berembug sejenak, kami berpisah dan sepakat untuk bersama-sama memantau perkembangan esok hari. Saat hendak pulang itu kami melihat ada pejabat rektorat yang mendatangi kampus pertanian, kampusku.

Pagi hari esoknya, aku berangkat menuju kampus. Dengan membawa semua barang dan peralatan yang sudah ditetapkan panitia semampuku.
Keanehan sebenarnya sudah mulai terlihat pada pagi hari itu. Sejak kami mulai masuk ke area kampus, sama sekali tak terdengar bentakan atau teriakan apapun dari panitia. Mereka hanya berdiri bergerombol mengawasi kami datang. Dengan muka masam dan raut tak bersahabat..

Situasi seperti itu terus berjalan selama dua hari pertama pelaksanaan Ospek. Kami dikumpulkan di ruang 1, menerima segala materi dari pembicara yang sudah disiapkan panitia. Dan selama dua hari itu juga kami melihat wajah-wajah masam panitia, yang didominasi oleh mahasiswa angkatan 89. Bagiku, dua hari pertama pelaksanaan Ospek tahun 1990 itu terasa hambar dan monoton.

Sungguh, acara Ospek yang kami terima saat awal masuk kuliah itu tidak terasa berkesan bagiku. Pada hari terakhir, hari ketiga, barulah para panitia itu menerapkan tekanan mental ke peserta. Dengan bentakan-bentakan keras dan teriakan-teriakan lantang. Bagiku sebenarnya tidak ada masalah harus menerima hal semacam itu. Apalagi sebelum mengikuti acara Ospek itu aku terlebih dahulu sudah menjalani kegiatan pemusatan atau karantina untuk menjadi anggota Paskibra kampus. Selama sepuluh hari, kami yang berasal dari berbagai fakultas dikarantina dan menjalani pelatihan siang dan malam. Model kegiatannya semi militer, dengan instruktur kegiatan dari anggota paskibra senior serta para mahasiswa yang sudah tercatat sebagai perwira pertama TNI-POLRI dengan pangkat Letnan Dua. Mereka para prajurit yang berasal dari program pendidikan militer suka rela. Mayoritas dari fakultas kedokteran. Selama pemusatan itu setiap hari kami menerima tekanan-tekanan dari instruktur. Bahkan termasuk pukulan-pukulan di perut dan tepukan keras di dada dan punggung kami. Maka sebenarnya model stressing dari panitia Ospek di kampusku saat itu tidaklah menggangguku.



Suasana Pemusatan dan Pelatihan Paskibra UNS
Aku juga tak terlalu ingat bagaimana suasana acara penutupan kegiatan Ospek mahasiswa tahun 1990. Pada saat itu memang di media massa sedang panas membicarakan kasus-kasus kekerasan pada Ospek di beberapa perguruan tinggi. Tapi seperti biasa, hanya panas sekejap lalu dingin dan hambar lagi.  Hingga kini di tahun 2018, aku sudah tak memonitor lagi bagaimana bentuk kegiatan Ospek atau penerimaan mahasiswa baru yang terjadi.

Jadi kalau bisa aku simpulkan, acara Ospek tahun 1990 dulu itu akhirnya menjadi lintasan kejadian yang tidak terlalu berkesan. Dan poin kritisnya terjadi saat kami datang ke sekretariat Senat dan tidak diterima dengan baik. Seandainya saja waktu itu kami diterima dan diajak diskusi dengan baik, tentulah kami tak perlu lagi mendatangi dan menghadap ke kantor Rektorat.


B. Ospek 1991

Sejak awal, aku sudah mendapat isyarat dari Senat akan ditunjuk menjadi ketua panitia Ospek. Aku menerima dengan senang hati. Setiap peluang kesempatan yang ada selalu aku coba manfaatkan sebaik mungkin. Ganjalan yang ada mungkin masalah rambutku saja. Saat pertengahan tahun 1991 itu rambutku sudah lumayan panjang menutupi kedua telingaku. Ini hadiah dari bapak, bahwa aku diijinkan untuk tidak potong rambut selama dua tahun, jika aku berhasil masuk ke perguruan tinggi negeri melalui jalur Sipenmaru.

Untuk mengamankan rambut gondrongku itu, dari jatah empat mahasiswa 89 yang akan menjadi panitia pengarah (SC), salah satunya aku memilih Firman. Mahasiswa gondrong yang cukup akrab denganku dan angkatanku. Pertimbanganku saat itu, kalau rambut gondrongku dipermasalahkan dalam kaitan dengan tugas sebagai ketua panitia OC, maka hal itu juga akan menyasar ke Firman gondrong sebagai SC. Syukurlah, sampai acara selesai tidak ada yang mempermasalahkan rambut gondrong kami. Seingatku, selain firman, ada mbak Nunik serta Ganang dan Yuwono sebagai panitia SC lainnya. Atau Baskoro. Aku tak ingat persis.



Ospek 91 kami laksanakan selama tiga hari di dalam kampus. Dalam penyusunan acaranya aku serahkan ke sahabatku, Arif Wibowo, sebagai komandannya. Aku hanya meminta agar tidak perlu banyak membuat aturan yang arahnya bertujuan membuat malu peserta. Untuk membangun dan mendidik ketangguhan mental seseorang bukanlah dengan menciptakan kondisi-kondisi mereka berada di dalam situasi dipermalukan. Arif ini juga sengaja aku kondisikan sebagai tameng jika ada protes atau pertanyaan dari peserta jilbaber. Pada awal tahun 90-an dulu, mahasiswi yang berjilbab belum terlalu banyak. Dan aku pasti bakal mati kutu jika ada mahasiswi jilbaber yang mengajukan protes ke diriku. Seingatku, baru sejak awal kuliah dulu itulah aku sering bertemu dengan wanita berjilbab. Itupun belum begitu banyak seperti saat ini. Dari 200-an jumlah mahasiswa angkatanku, lebih dari separonya adalah perempuan. Dan baru sekitar sepuluhan orang mahasiswi yang mengenakan jilbab. Baru dekat dengan mereka saja mentalku sudah ngedrop, apalagi jika ada diantara mereka yang memprotesku. Melihat sosok mereka, saat itu serasa berdiri di depan cermin dan terbuka semua kejahiliyahan diriku 😅.

Acara kami susun dan tata serapih mungkin. Kami juga membuat momen-momen acara yang kami bangun dalam suasana tegang dan mencekam. Dengan bentakan-bentakan lantang dan suara keras kami. Tapi kami sangat menghindari ucapan-ucapan dan tindakan yang kasar. Keras, tidaklah selalu harus dibangun dengan sesuatu yang bersifat kasar. Kami semua juga sepakat tidak boleh keluar kata-kata umpatan dari panitia.


Bentuk-Bentuk Tindakan ke Peserta Ospek

Sebetulnya kami rada sungkan juga mengelola acara ini. Mengingat setahun sebelumnya kami telah mengacaukan skenario acara yang telah dibangun panitia pada waktu itu. Tapi aku bersyukur melihat senior-senior dari angkatan 89 yang sedikitpun tidak menyimpan ganjalan perasaan atas kejadian setahun sebelumnya. Mereka dengan ringan tangan bersedia membantu pelaksanaan acara Ospek tahun 91 itu.

Dan kiranya tak berlebihan jika aku menyebut kegiatan Ospek Mahasiswa Baru tahun 91 itu berlangsung lancar dan sukses. Meskipun tetap dihiasi dengan suara bentakan-bentakan dan hardikan keras, tapi tak ada ucapan-ucapan kasar yang terlontar.

Peserta tidak kami wajibkan mengenakan atribut-atribut pakaian yang aneh-aneh. Hanya papan nama dari kertas karton yang harus selalu mereka kenakan di dada. Sesuai nama kegiatan, Ospek atau Orientasi Pengenalan Kampus, acara yang kami susun didominasi materi-materi pengenalan kampus kami. Tentang organisasi kemahasiswaan yang ada, tata letak laboratorium di dalam kampus, serta segala hal yang berkenaan dengan kampus kami perkenalkan ke mahasiswa baru.



Pengenalan kampus kepada mahasiswa baru

Acara final stressing kami bangun pada jam acara terakhir. Awalnya peserta kami kumpulkan di halaman gedung laboratorium. Di sana mereka kami tekan mentalnya habis-habisan. Bahkan seluruh peserta kami perintahkan untuk mencium bumi. Sedikitpun tak ada celah kami biarkan mereka mampu menarik napas lega. Semua panitia turun ke laga. Mengepung peserta yang sedang tersungkur mencium bumi, dan menghujaninya dengan bentakan-bentakan dan teriakan lantang. Suasana benar-benar terasa mencekam bagi peserta.

Wajah Tersungkur Mencium Bumi
Lalu masih dengan posisi wajah menghadap ke bawah, semua peserta kami giring ke depan gedung kampus satu. Disana mereka kembali kami kumpulkan, dan kami satukan dalam posisi duduk jongkok dan posisi wajah tetap tertunduk. Nah, barulah suasana stressing kami kurangi. Suara-suara bentakan perlahan menghilang. Berganti dengan suara renungan panitia senior dari lantai tiga. Sudah siap dengan didampingi panitia yang siaga dengan selang air hydrant yang besar. Saat kami pastikan emosi peserta sudah berangsur normal kembali, maka guyuran airpun mulai menghujani peserta yang duduk bersimpuh dikelilingi panitia. Semua orang yang ada di situ, baik peserta maupun panitia, semua basah kuyup perkena guyuran air. Dan ketika peserta mulai mengangkat wajah dan melihat ke kondisi sekitarnya, yang mereka lihat adalah wajah-wajah seniornya yang menyambut tatapan mata mereka dengan senyum mengembang dan tangan terbuka menyambut pelukan dari adik-adik barunya. Suasana lantas menjadi cair. Larut dalam kebahagiaan dan rasa haru ikatan persaudaraan.

Selamat datang, adik-adikku...
Suasana riang terasa sekali saat itu. Ada beberapa panitia dan peserta yang saling bertukar kaos. Rasa dendam dan sebel yang terbentuk selama tiga hari karena selalu dibentak dan disalahkan seketika menjadi pupus.

Sebelum diijinkan pulang dan diminta datang lagi malamnya untuk acara penutupan, para peserta diberi tugas membuat surat untuk panitia. Peserta wanita mengirim surat ke panitia pria, dan peserta pria mengirim surat ke panitia wanita. Jumlah surat yang diterima dari peserta ini akan dipakai untuk menentukan siapa panitia yang berhak dinobatkan menjadi panitia favorit.

Ahh.. Ada yang sedikit terlupa dari kisahku saat menjadi ketua panitia Ospek tahun 1991 ini. Pada hari kedua malam hari, atau sabtu malam minggu, di Stadion Sriwedari Solo berlangsung pagelaran konser Kantata Takwa. Saat itu aku sedang takzim-takzimnya menjadi pengikut Iwan Fals. Maka konser ini tak akan mungkin aku lewatkan. Sabtu sore setelah materi acara terakhir, kami mengadakan briefing panitia. Sengaja acara briefing ini aku kondisikan berjalan secepat dan seringkas mungkin. Dan begitu selesai, akupun bergegas ganti pakaian lalu langsung menuju lapangan Sriwedari. Sendiri.

Benar-benar megah suasana pagelaran musik pada malam itu. Dengan sound system yang menggelegar dan kilatan-kilatan sinar laser yang bertaburan. Aku terduduk di bangku penonton. Staminaku tak cukup lagi jika harus ikut berjingkrakan di depan panggung.

Akupun jadi teringat pengalaman seru di tempat yang sama, setahun sebelumnya.

Begini ceritanya..
Saat itu aku sudah lulus SMA dan bersiap untuk menempuh tes penerimaan menjadi mahasiswa baru. Aku sudah tinggal di rumah Solo. Ketika itu bertepatan dengan berlangsungnya konser musisi internasional. Gitaris Hard Rock dunia, Yngwie J Malmsteen. Bersama teman-teman SMA dari Purwokerto, aku sudah menyusun rencana untuk menonton konser ini. Dengan menaiki kereta api, teman-temanku datang dari Purwokerto. Aku jemput di Stasiun Purwosari, lalu aku ajak mereka ke rumahku dulu. Setelah mandi dan makan malam kami menuju ke lokasi konser. Penampilan kami saat itu belum bertampang metal. Tak ada satupun diantara kami yang berambut panjang. Karena kami memang baru saja mendapat kelulusan dari SMA.
Kami agak sedikit grogi melihat rata-rata tampang penonton yang datang. Dengan rambut gondrong, pakaian hitam atau gelap dengan aksesoris metal. Akhirnya kami memutuskan akan menonton dari arah depan panggung. Di bawah panggung kecil yang biasa dipakai sebagai posko panitia. Untuk memandu sound system ataupun lightning panggung. Di sekitar situ banyak berkumpul polisi. Jadi aku pikir, kami pasti aman di situ. Pagelaran pun dimulai. Lengkingan gitar Yngwie langsung bak cadas menyayat udara malam Sriwedari. Kami mengikuti alunan musik metal itu dengan semangat. Aku masih mampu menghapal beberapa lirik lagu Yngwie. Jadi mulutku ikut menyenandungkan lagu-lagu yang diteriakkan pada malam itu. Badan kami ikut bergoyang mengikuti dentuman cadas dan hentakan metal dari atas panggung.
Lalu aku ingat kejadian pada malam itu..

Ketika secara tiba-tiba semua lampu stadion menyala terang. Pemandangan situasi di stadionpun terlihat jelas.

Aku masih melihat jelas ketika para petugas keamanan dengan seragam coklat yang ada di sekitar kami mendadak lari berhamburan meninggalkan pos menara bantu itu. Mereka berlarian menjauhi lokasi menara pantau itu. Kami semua kaget, terperanjat, lalu menengok ke arah belakang, arah pintu masuk. Di bawah benderang lampu stadion kami melihat puluhan, atau mungkin ratusan, petugas keamanan dengan seragam yang lain berlarian menuju tengah lapangan. Mereka tidak membawa senjata.  Hanya mengayun-ayunkan sabuk ikat pinggangnya. Mengejar aparat lain yang berlarian diantara penonton.

Kami terdiam kaku. Otak kami kaget melihat pemandangan yang tidak kami sangka-sangka ini. Sementara dentuman musik dan cabikan gitar Yngwie tetap meraung-raung di atas udara Sriwedari.

Begitulah..
Itu tadi sekilas cerita lain yang aku alami saat tinggal di Solo waktu itu..

Sekarang kita kembali ke cerita Ospek lagi..

Acara penutupan Ospek 91 berjalan lancar. Sekaligus menandai berakhirnya kegiatan Ospek mahasiswa baru angkatan 91. Arif Wibowo dan Kuky terpilih menjadi panitia favorit, karena mendapat surat paling banyak dari peserta. 

atas : Kuky dan Arif Wibowo






















Aku mendapat sekitar belasan surat. Geli ketika membaca surat-surat mereka itu. Mayoritas mengomentari rambutku yang panjang. Ada yang bilang katanya suka ngeliat rambutku yang gondrong. Kruwel-kruwel kayak indomie.. Begitu mereka bilang.. 😁

Alhamdulillah.. Acara Ospek Mahasiswa Baru 1991 dimana aku mendapat kepercayaan menjadi nakhodanya berjalan lancar dan sukses...



C. Ospek 1992

Aku agak lupa siapa ketua Senat saat Ospek tahun 1992 ini. Agak susah mengingatnya. Ini untuk pertama kalinya kegiatan Ospek Fp-UNS akan kami selenggarakan di luar kampus. Sebagai mantan ketua panitia pelaksana sebelumnya, seperti biasa aku ditunjuk Senat untuk menjadi Panitia Pengarah (SC). Dan kami juga sepakat menunjuk Nur Rachim, atau Aim dari angkatan 91, menjadi ketua panitia pelaksananya. Aku membantu Aim menyusun panitia pelaksananya. Ada Febri, Baroto, Agus Tudiharto, Mujib, Evi, Ehrlien, Dewi Masita, dan banyak lagi pentolan-pentolan mahasiswa dari angkatan 91. Termasuk beberapa mahasiswa pinggiran, atau mahasiswa badung, yang aku minta untuk dimasukkan dalam kepanitiaan. Danang diantaranya. Aku ingin formasi panitia ini beragam. Campuran dari semua karakter dan kelompok yang ada di kalangan kampus. Sebagai panitia pengarah, seingatku aku didampingi Sunarto dan Riri. Termasuk beberapa mahasiswa lain dari angkatanku yang masuk membantu dalam panitia pelaksana. Aji, salah satunya. Pentolan klub sepak bola yang sekarang menjadi pejabat di Kementerian Hukum dan Ham.

Mengingat ini adalah pelaksanaan Ospek outdoor pertama yang hendak kami lakukan maka dipandang perlu untuk mempersiapkan segala sumber daya serapih mungkin. Termasuk sumbar daya manusia kepanitiaan, dalam hal ini mahasiswa angkatan 91. Maka kami siapkanlah semacam acara training untuk kepenitiaan. Kalau dalam istilah kekinian mungkin saat ini kita kenal dengan acara TOT, atau Training Of Trainers. Sejak sabtu siang para panitia pelaksana diberi pembekalan tentang trik trik menghadapi peserta Ospek. Dalam bentuk diskusi di ruang rapat, maupun praktek langsung di halaman Laborat. Acara ini kami teruskan hingga siang keesokan harinya. Malam hari panitia OC kami inapkan di kampus. Kelak saat pelaksanaan Ospek, para panitia OC sudah menyusun acara Jalan Malam. Para peserta secara berkelompok kecil diminta menyusuri daerah pada rute perjalanan yang telah ditentukan. Di dalam rute tadi telah dipersiapkan pos-pos monitoring, dan peserta diberikan materi-materi yang unik. Diantaranya materi horror, ketika peserta diarahkan melewati rute yang rada seram. Nah.. kami ingin panitia pelaksana juga merasakan hal yang serupa dahulu sebelum mereka menerapkan perlakuan tadi ke peserta. Saat training tadi, ketika tengah malam, panitia pelaksana secara bergiliran kami minta menyusuri rute perjalanan yang sudah kami tentukan. Kebanyakan tentunya rute-rute antar lab yang ada di gedung itu. Yang paling seram adalah Lab Tanah di lantai tiga gedung Laboratorium. Banyak kisah seram di situ. Tentang seorang mahasiswa yang konon pernah bertemu seorang wujud manusia yang menembus tembok dan lain sebagainya. Kami hadirkan juga anak remaja kampung sebelah kampus yang bernama si Mul. Dia remaja usia belasan tahun yang mengalami keterbelakangan. Sering bergabung dengan kelompok kami saat nongkrong kampung sebelah, atau di tempat kost mahasiswa rekan kami. Bertemu sosok si Mul saat siang hari tentunya hal biasa bagi kami. Dengan gaya berjalannya yang sedikit terpincang-pincang serta roman muka yang jarang lepas dari senyum dan tertawa-tawanya. Tapi bayangkanlah jika seorang panitia, apalagi mahasiswi, saat tengah malam bertemu sosok si Mul yang cengar cengir di depan ruang Lab pada lantai tiga. Sebagian langsung lari terbirit-birit sambil menjerit kencang. Tapi ada juga yang pemberani, cuek saja walaupun ada sosok si Mul yang cengar cengir menatapnya di lantai tiga gedung Lab. 

Aku juga ingat bercandaan konyolku saat itu. Tengah malam aku menaiki bukit Argo Budoyo di samping kantin. Ada mitos "Nyah Rewel" dan Kereta Kencana siluman di bukit itu. Saat kami berdua sudah hampir sampai ke atas bukit, aku bercandain temanku tadi. Aku agak lupa siapa waktu itu yang bersamaku di atas bukit. Kalau nggak salah si Febri anak angkatan 91.

Aku tanya ke dia. Dalam bahasa jawa. Tapi akan aku ceritakan di sini dalam bahasa Nasional
"Kamu lagi sama siapa..? tanyaku. 
Dia diam saja. Cengengesan.
"Aku tanya.. kamu lagi sama siapa..."
Dia masih senyam senyum. 
"Ahh.. jangan bercanda ah..." ucapnya.
Aku teruskan...
"Kamu pikir kamu lagi sama Dahono yaaa....
Aku bukan Dahono...
Kamu lihat itu Dahono lagi ada di Kantin...
Aku bukan Dahono.."
Ujarku sambil mataku menatap tajam ke wajahnya. Wajahku kubuat sedingin mungkin.
Tiba-tiba dia langsung berlari kencang menuruni bukit. Menuju ruang kantin posko kegiatan yang ramai dengan mahasiswa.
Meninggalkanku yang cekikikan sendiri. Merasa geli dan puas melihat teman yag terbirit-birit.
Baru kemudian kusadari, tenyata aku sendirian di bukit Argo Budoyo tadi.
Bulu kudukku meremang.
Akupun lantas bergegas menuruni bukit. Sedikit berlari.
Dan menarik lapas lega saat sudah bergabung di keramaian.

Angkatan 91 ini cukup kompak dan kreatif dalam menyusun program acara kegiatan. Sebagai komandan acara, mereka menyerahkannya ke Mujib Darmawan. Lokasi kegiatan sudah mereka sepakati. Yaitu bumi perkemahan Manisrenggo, di daerah Klaten. Mereka cenderung santai dalam bekerja. Tapi rapi dan detail. Terkadang malah terkesan terlalu kreatif. Aku ingat harus beberapa kali menegur mereka untuk merubah beberapa detail rencana kegiatan. Yang aku ingat, saat ada rencana membuat permainan dengan memberikan pisang untuk dimakan peserta, tetapi setelah pisang tadi direndam terlebih dahulu dalam jamban. Walaupun jamban yang akan dipakai adalah jamban baru yang baru dibeli dari toko, sesuai kewenanganku sebagai panitia pengarah, detail rencana tadi tetap aku coret. Aku tak melihat poin pembelajaran positif dari materi acara seperti itu.

Aku Mengawasi Peserta yang Sedang Mendirikan Tenda Perkemahan
 
Acara berlangsung lancar, rapih dan meriah. Dari pengalaman pertama kegiatan Ospek outdoor ini banyak muncul hal-hal tak diduga yang memunculkan ilham baru untuk kegiatan pada tahun depannya. Saat Ospek tahun 92 itu belum diagendakan acara renungan. Tapi ada hal menarik yang terjadi. Saat secara spontanitas terbangun sebuah adegan ketika para panitia senior dan Senat seolah menghukum dan menindak panitia pelaksana. Aku ingat, salah seorang peserta cewek, Marina Ratih, dengan wajah merah dan sesenggukan meminta agar para panitia senior mengampuni panitia pelaksana. Acara itu muncul secara tiba-tiba, spontanitas dari kreativitas. Tapi muncul reaksi yang diluar dugaan kami. Pada saat itu aku berfikir, seharusnya saat itulah momen yang tepat untuk memberikan materi renungan ke peserta. Hal ini menjadi poin fokus yang tertanam dalam memoriku. Dan akan aku wujudkan dan bangun secara lebih rapih pada pelaksanaan Ospek tahun berikutnya.

Suasana di Dalam Aula Perkemahan
Peserta juga kami ajak jalan malam. Secara bergilir dan berkelompok mereka diarahkan untuk melaksanakan perjalanan menyusuri rute yang ditentukan. Di sepanjang rute telah ditempatkan pos-pos yang dijaga panitia dengan beragam fungsi dan spesifikasi acara. Yang paling seru tentunya pada pos ketika peserta ditempatkan dalam situasi mencekam yang rada horor. Beberapa peserta menjadi pucat dan tegang. Tapi mayoritas pos dan skenario yang ditetapkan berada dalam suasana santai dan diwarnai canda.

Sebagai panitia pengarah, aku tidak selalu intensif dalam mengawal jalannya acara. Hanya ketika terjadi situasi panitia terlihat kewalahan, di situlah kami langsung turun tangan. Seperti dalam Ospek 92 ini, ada seorang peserta yang tingkahnya rada merepotkan panitia. Dia berasal dari daerah luar Jawa. Tidak banyak protes atau membantah, tapi sering memberikan perlawanan dengan diam, tak mematuhi panitia. Untuk peserta seperti inilah kami biasanya yang mengambil alih. Dia aku panggil, aku suruh berdiri tegap. Lalu langsung dari depan wajahnya dia aku interogasi. Ini sebenarnya hanya tes mental saja. Aku tatap matanya, langsung dari bola mata ke bola mata. Hitam mataku langsung aku tatapkan ke hitam matanya dalam jarak beberapa senti. Kami beradu nyali. Saat hitam bola matanya menunduk, maka saat itulah dia sudah berada dalam kendaliku.

Aku juga suka memberi hukuman yang yang bernuansa santai. Toh tanpa dibentak atau dimarahin pun para peserta sudah takut ke panitia. Ada seorang peserta yang melakukan kesalahan dan saatnya menerima hukuman. Peserta tadi aku panggil ke hadapanku. Aku beri dia alternatif hukuman yang bisa dia pilih sendiri. Pilihannya adalah lari keliling lapangan sepak bola 5 kali, atau push-up 5 kali. Tentu saja peserta tadi memilih push-up 5 kali. Lalu aku suruh dia mengambil posisi push-up dan mematuhi komando dariku.
Aku pun beraksi..
*turun... Teriakku.
Dia menurunkan badannya hampir menyentuh tanah.
*naik...
Dia menaikkan badannya ke posisi semula.
*satu.. Ucapku menghitung
*Turun..
Dia turunkan badannya.
*naik setengah... Teriakku lagi
Dia menaikkan badannya setengah posisi.
Lalu aku tinggal pergi, tak jauh darinya.
Aku pura-pura ngobrol dengan rekanku. Aku awasi dia dengan sudut mataku. Perlahan lengan tangannya mulai bergetar. Mukanya terlihat memerah.
Aku dekati dia lagi.
*Naik...
Dia menaikkan badannya.
*Dua.. Hitungku
*sekarang turun lagi setengah...
Diapun menurunkan badannya setengah. Tapi terlihat gemetarnya lebih keras.
Lalu tiba-tiba dia ambruk ke tanah. Lengannya sudah tak tahan menahan beban tubuhnya.
Nah.. Saat itulah berondongan intimidasiku menghujaninya. Wajahnya semakin pucat. Entah karena capai akibat menahan beban di lengannya, atau mentalnya ambrol menerima hujatanku......

Atau ada juga model hukuman yang lain. Peserta disuruh menyanyikan lagu "Balonku ada Lima", dan harus terus diulang-ulang sampai balonnya habis. pada awalnya semua peserta pastilah bisa menyanyikannya dengan lancar.
"Balonku ada lima..
rupa-rupa warnanya..
hijau kuning kelabu..
merah muda dan biru..
meletus balon hijau..
dorr..
dst.."
Nah.. saat pengulangan lagu itulah peserta mulai kewalahan menyanyikannya.
"Balonku ada empat..
dst hingga Balonku tinggal satu.."
Daya ingat peserta harus kuat. Karena warna balon yang sudah meletus pada bait lagu sebelumnya tidak boleh disebutkan lagi. Seingatku, tak ada peserta yang berhasil lancar menyanyikan lagu ini sampai selesai. Dan itu memberi dasar alasan yang kuat bagi panitia untuk memberikan hukuman ke peserta.


Ospek outdoor pertama ini berjalan dengan sukses. Ada banyak catatan-catatan baru yang akan menjadi fokus perbaikan pada pelaksanaan Ospek tahun depan. Diantaranya agenda pelaksaan renungan malam. Kayaknya kami sudah semakin siap untuk membentuk materi kegiatan renungan.

Ehmm.. Pada kegiatan Ospek tahun 92 ini seraut wajah mahasiswi baru peserta Ospek mulai menghantui benak pikiranku. Sempat aku obrolkan dengan Aji, dan dia langsung menyambutnya dengan antusias. Entahlah, mungkin rada aneh dalam benaknya, mahasiswa slenge'an kayak aku tertarik pada cewek. Aji mengambil foto yang aku simpan di dompetku. Itu fotoku setahun sebelumnya, saat berambut panjang sebahu. Awal tahun 1992 rambut gondrongku sudah kupangkas. Aku tergoda tawaran dari bapak saat aku pulang berkunjung ke tempat tugas Beliau saat itu di daerah Banjar Baru, Kalimantan Selatan. Bapak menyangggupi untuk membelikanku sepeda motor Binter Kawasaki AR 125 jika aku bersedia potong rambut. Dan aku menyetujuinya.
 
Gadis itu dipanggil oleh Aji, lalu diberi foto itu dan diberi tugas untuk mengembalikan ke orang yang punya. Dia menerima sambil tersipu. Memandang dari kejauhan, hatiku dag dig dug tak karuan. Aku tak terbiasa dengan situasi seperti itu. Kehidupanku sebelumnya tak pernah bersentuhan dengan hal-hal roman. Dan syukurlah, Allah meridhai perasaanku. Mahasiswi baru itu beberapa tahun kemudian aku sunting menjadi istriku. Berdua kami bersama mengarungi kehidupan. Dan Allahpun berkenan menganugerahi kami tiga putra putri yang menyenangkan mata, dan menentramkan hati. Cerita diriku dengan dirinya begitu panjang dan berwarna. Entahlah, kelak mungkin ada kesempatanku untuk menulis kisah kami dalam cerita tersendiri.

Ospek tahun 1992 berjalan lancar dan sukses. Dan angkatan 1991 dibawah kepemimpinan Aim mencatat prestasi tersendiri.


D. Ospek 1993

Ini Ospek paling dramatis dalam kisah perjalananku mengelola kegiatan Ospek di kampus. Tentunya akan ada detail-detail kejadian yang tak akan aku ceritakan. Tapi aku yakin yang terlibat langsung saat pelaksanaan Ospek tahun 1993 lalu pasti masih mengingatnya.

Ketidak-nyamanan sebenarnya sudah aku rasakan sejak awal saat penyusunan rencana program kegiatan Ospek oleh Senat. Saat itu Senat mahasiswa Fp Uns dipimpin oleh mas Asnanto. Mahasiswa angkatan 88. Ada beberapa petinggi Senat saat itu yang sudah memberikan opsi opini yang menurutku kurang tepat. Mereka menghendaki agar kendali operasional Ospek mahasiswa baru angkatan 1993 ini diserahkan kembali kepada mahasiswa angkatan 1991. Bukan angkatan satu tingkat di atasnya, atau angkatan tahun 1992, seperti kelaziman sebelumnya. Aku kurang bisa menerima argumen petinggi Senat tadi. Aku merasa mengenal betul karakter angkatan 91, dan karakter angkatan 92. Sikapku konsisten dan aku tunjukkan dengan tegas, bahwa untuk Ospek tahun 1993 ini agar tetap dibawah kendali lapangan dari mahasiswa angkatan 92. Pengurus Senat akhirnya melunak, dan tetap menyerahkan kendali penyusunan panitia padaku. Hal yang jarang aku ceritakan ke siapapun, bahwa sebenarnya aku menjamin ke Senat jika angkatan 92 pasti mempu menakhodai kegiatan Ospek.

Mulailah metode identifikasi aku jalankan. Dari sekian kandidat tokoh angkatan 1992 yang potensial menjadi ketua panitia Ospek, pilihanku jatuh ke sosok Hernowo.  Dia mempunyai cukup kewibawaan untuk memimpin teman-temannya. Tapi ternyata tidak semulus seperti yang kurencanakan. Dia menolak saat pertama kali aku sodorkan pilihan menjadi ketua OC Ospek. Aku harus telaten memberinya motivasi dan kepercayaan diri, bahwa dia memang mampu mengemban tugas itu. Dan akhirnya dia menerima, bersedia menjadi ketua panitia Ospek 1993. Aku biarkan dia bersama tim kecilnya menyusun kepanitiaan.

Untuk yang kedua kalinya, Ospek mahasiswa baru kami selenggarakan di bumi perkemahan Manisrenggo Klaten. Dalam pengamatan awalku, pada formasi mahasiswa baru angkatan 1993 ada beberapa mahasiswa yang aku tengarai merupakan anak pribumi asli kota solo. Entahlah, dalam memetakan potensi personal, posisi anak pribumi asli selalu aku posisikan tersendiri.

Dan acara Ospek 1993 ini kami mulai. Berbekal pengalaman kegiatan tahun 1992 lalu, di benakku sudah tertanam rencana-rencana teknis kegiatan yang akan kami realisasikan pada tahun itu.

Sampai hari kedua, acara pelaksanaan berjalan lancar. Panitia pelaksana dari angkatan 1992 mampu membangun kegiatan dengan baik dan sukses. Acara-acara pengenalan keorganisasian mahasiswa kemudian game-game outdoor berjalan lancar dan meriah.
Dan tibalah pada kejadian awal yang kemudian memicu kerusuhan pada hari berikutnya. Kejadian-kejadian ini tentunya terjadi menurut peneropongan dari kaca mata versiku. Bisa jadi orang lain melihat dengan kaca mata versinya yang mungkin berbeda.

Sebagai panitia pengarah (SC) aku sudah menyusun skenario acara yang akan memuncak menjadi acara renungan pada malam terakhir di lokasi perkemahan.

Pada awalnya, saat sebagian panitia pelaksana memimpin acara di aula acara, ada suara-suara teriakan bentakan keras dari lapangan samping aula. Itu adalah suara panitia pengarah yang dimaksudkan memberi kesan pada peserta bahwa panitia pelaksana sedang ditindak panitia pengarah. Bahwa OC sedang dimarahi oleh SC. Semua panitia OC kami suruh berkumpul di samping Aula. Kami sengaja mengkondisikan demikan agar suara-suara bentakan keras itu terdengar oleh peserta. Dan seperti yang kami harapkan, terlihat para peserta mulai kebingungan melihat situasi tadi. Ketika tiba-tiba panitia pelaksana dikumpulkan dan dimarahin habis-habisan oleh panitia pengarah. Wajah-wajah mereka tegang dengan kondisi yang memang sengaja kami ciptakan mencekam.
Nah, pada saat seperti itu, ketika kondisi mental peserta menurun menuju titik terendah, aku akan masuk ke dalam ruangan dan menetralkan situasi dengan memberi mereka materi-materi renungan.

Tapi apa yang terjadi...?

Ketika aku masuk ke ruangan, ternyata di depan peserta sudah berdiri ketua Senat memegang kendali acara. Aku mati langkah. Skenario yang sudah kami susun adalah aku masuk ke ruangan yang sudah terkondisikan menjadi status quo. Kondisi yang seolah tanpa kendali dan tanpa kontrol. Fikiran peserta dalam suasana seperti itu akan kosong. Karena mereka belum mengerti dan memahami perubahan situasi yang terjadi mendadak dan seolah tanpa kendali. Pada saat seperti itulah aku masuk, mengambil alih kendali acara, lalu secara perlahan memberikan materi renungan.
Tapi aku betul-betul mati langkah saat itu. Situasi yang seharusnya status quo tadi tiba-tiba sudah ada ketua Senat yang mengendalikan acara.

Di kemudian hari aku baru mengerti, bahwa ketua Senat tidak mengerti skenario acara dari kami, panitia Ospek. Melihat situasi yang "kosong" seperti itu, dia berinisiatif mengambil komando acara. Dia berniat "membela" peserta dengan menegur kami. Terutama panitia pengarah. Dengan bentakan keras dia menghardikku, dan berteriak hendak memberiku tindakan di hadapan peserta. Dia menyuruhku push-up. Aku tertegun sejenak. Dalam fikiranku, jika aku sudah dimarahi di depan peserta seperti itu lalu siapa nanti yang akan memberi materi renungan kepada peserta. Skenario sebenarnya sudah kami siapkan matang. Panitia pelaksana dimarahi di depan peserta agar timbul rasa simpati peserta kepada mereka. Dan panitia pengarah bertindak keras kepada panitia pelaksana agar tercipta kewibawaan sehingga aku akan lebih mudah memberi peserta materi renungan.

Dan skenario itu buyar, rusak berantakan.

Aku hilang akal di depan peserta, di dalam ruangan itu. Fikiranku mati kutu. Sekejap hilang akal kendali. Tapi aku paksakan diriku agar tidak mengucapkan perkataan apapun. Aku khawatir kata umpatan kasar yang keluar. Dengan darah yang masih mendidih, aku melangkah keluar. Di depan pintu keluar tergeletak sebuah galon air mineral kosong. Galon itu aku tendang keras. Aku hanya berfikir harus secepat mungkin meninggalkan ruangan itu. Sebelum keluar kata-kata kasar atau tindakan tak pantas dariku. Aku terus melangkah keluar, menuju tempat kosong di belakang lokasi perkemahan. Di situ aku duduk, mencoba menenangkan hatiku....
Beberapa kawan datang dan menemaniku di situ. Tapi tak banyak percakapan yang terucap. Mereka memaklumi aku sedang dikuasai perasaan amarah yang tinggi.
Aku hanya perlu waktu untuk menenangkan diri. Dari kejauhan terlihat suasana acara Ospek masih terkendali. Para peserta tidak menyadari apa yang sebenarnya terjadi.

Setelah acara ditutup, entah dengan cara seperti apa, aku kembali ke ruangan aula perkemahan. Beberapa panitia pelaksana memandangku dengan sorot mata penuh tanda tanya. Yaa, mereka pasti merasa kebingungan dengan peristiwa yang barusan terjadi. Karena dalam skenario yang telah kami rencanakan, setelah panita pelaksana seolah-olah kami "tindak" di luar aula, kami dari panitia pengarah akan masuk ke dalam aula mengambil alih kendali. Panitia pengarah akan memberikan materi renungan kepada peserta yang sudah kami kondisikan pada posisi emosional yang rendah atau bahkan kosong. Pada saat manusia sudah berada pada situasi seperti itu, mereka akan lebih mudah manerima materi-materi yang mengajak untuk merenung dan berfikir.

Sayang... skenario itu gagal berantakan.

Aku sempat berpapasan dengan ketua Senat. Dia memandangku, tak mengucapkan perkataan apapun. Akupun sedang tidak dalam hasrat untuk berkomunikasi dengannya.

Pagi harinya, suasana sudah kembali berjalan normal. Acara pada hari terakhir memang kami kondisikan lebih santai. Peserta diberi tugas untuk meminta tanda tangan kepada panitia pelaksana. Ini salah satu acara favorit bagi panitia. Terutama panitia cowok. Mereka mendapatkan arena untuk "berkreatifitas" dalam memberi tanda tangan untuk peserta cewek.

Kamipun lantas kembali ke kampus.
Kami sudah menemukan skenario alternatif untuk menggantikan materi renungan yang gagal di bumi perkemahan.
Panitia pelaksana dan panitia pengarah briefing di ruang kantin. Masih ada satu acara yang bisa kami modifikasi menjadi menjadi acara materi renungan. Yaitu acara guyuran.
Skenario kami, peserta kami kumpulkan di halaman laboratorium. Mereka akan kami bombardir lagi dengan stressing yang keras. Semua peserta harus dalam posisi menunduk menatap tanah, sementara di sekeliling mereka semua panitia memberikan intimidasi. Masih dalam posisi tertunduk, peserta kami giring untuk berpindah ke halaman gedung satu. Akan kami kondisikan mereka berkumpul dengan posisi berjongkok dan wajah tertunduk.
Nah... Pada saat itu lah aku akan mengambil alih kendali acara. Megaphone akan berada di tanganku. Akan aku pulihkan kondisi emosional peserta kembali pada situasi normal. Saat kondisi peserta sudah normal seperti itulah, akan ada guyuran air hydran dari lantai tiga. Air yang tercurah akan mengguyur kami tanpa kecuali. Peserta dan panitia. Pada saat itulah peserta kami persilahkan untuk menengadahkan wajahnya. Meraka akan mendapati di sekeliling mereka ada kami, kakak-kakak mereka, yang dengan wajah cerah menyambut tatapan mereka. Kami akan hamparkan tangan kami menyambut mereka. Suasanapun akan menjadi hangat dan cair.
Seperti itulah yang terbangun saat kami dari angkatan 90 membangun acara Ospek untuk angkatan 91 dua tahun sebelumnya.

Tapi inilah yang terjadi saat Ospek tahun 93....
Pada awalnya, acara berjalan sesuai skenario. Peserta sudah habis-habisan diturunkan mentalnya sejak dari halaman lab.
Begitu mereka sampai di halaman depan gedung satu, sesuai skenario kami, maka aku harus mengambil alih megaphone dan mengendalikan acara.
Tapi ternyata tidak seperti itu yang terjadi.
Saat megaphone yang berada di tangan panitia pelaksana aku minta, entah kenapa dia menolak memberikannya kepadaku.
Usiaku masih relatif muda pada saat itu. Kestabilan jiwaku belum matang. Perasaanku masih mudah terkuasai amarah.
Dalam sekejap, emosiku kembali membumbung tinggi. Benar-benar akal sehatku hampir sepenuhnya hilang saat itu. Tapi masih ada terbersit kesadaran dalam benakku, bahwa jangan membuat keonaran di depan peserta.

Aku bergegas memasuki teras gedung satu. Ada satu krat minuman yang berisi botol-botol kosong di dalamya. Krat itu aku banting, terdengar suara botol-botol yang pecah. Beberapa kawan senior bergegas menghampiri dan hendak menenangkanku. Ada secuil kesadaran dalam benakku bahwa lokasi aku meluapkan amarah itu masih terhitung dekat dengan lokasi peserta yang sedang bersiap menerima guyuran air dari lantai atas. Aku bergegas menyingkir dari halaman depan. Aku berjalan melingkar, memutar gedung, lalu duduk di halaman parkir sepeda motor. Beberapa kawan menemaniku di situ. Salah satunya Iwan Kharismeinosa, salah satu panitia pelaksana sahabatku, dari angkatan 92.

Kita tinggalkan sejenak cerita tentangku. Mari kita lihat suasana kacau di depan gedung. Cerita ini aku dapat beberapa tempo waktu setelahnya.

Seperti yang aku cemaskan, ketika semua peserta sudah dalam posisi tertunduk di halaman gedung, maka munculah teriakan komando dari bawah agar petugas yang bersiap di lantai 3 menyiramkan air dari hydran.
Airpun meluncur deras mengguyur peserta. Sedangkan saat itu mahasiswa angkatan 1993 masih dalam kondisi emosional yang sangat tinggi dan  rentan akibat pengkondisian panitia sebelumnya...
Kemudian disusul teriakan agar peserta berdiri dan membuka mata.

Pada saat itulah kekisruhan lantas terjadi.
Peserta menjadi brutal. Mereka berbalik lalu berganti "menyerang" panitia. Aku memakai tanda kutip, karena kata menyerang yang aku maksud di sini bukan menyerang dalam arti berkelahi atau beradu fisik.
Sedangkan beberapa mahasiswa senior yang ada, saat itu berada di  lokasi belakang gedung menemaniku.

Suasana benar-benar kacau balau saat itu. Lokasi kisruh bahkan sampai menyebar ke halaman atas menuju gedung laboratorium. Salah seorang peserta sampai mengalami semacam "kesurupan" di depan pos satpam. Ketika tiba-tiba dia menggeram dan menirukan gerak seperti harimau yang merangkak. Peserta dan panitia laki-laki saling kejar di sekitar halaman kampus. Dipenuhi teriakan-terikan amarah dan tangis histeris dari peserta maupun panitia cewek.
Semua panitia seperti hilang akal sehat, bahkan termasuk pengurus Senat yang mengawasi kegiatan. Mereka tidak sanggup merespon perkembangan suasana yang mendadak mejadi liar pada saat itu. Beruntunglah pada saat itu ada beberapa kelompok mahasiswa senior yang sedang melakukan aktifitas di kampus. Yaitu dari mahasiswa pecinta alam "Kompos", dan kelompok teater kampus "Thukul". Mereka mahasiwa senior yang sudah matang. Melihat kekacauan terjadi di kampus, mereka terjun langsung ke lokasi kekisruhan membantu menenangkan suasana.

Aku masih duduk termenung di lantai halaman parkir. Suara teriakan-teriakan dan jerit histeris terdengar, tapi fikiranku sudah kosong. Tak sanggup lagi merespon. Iwan Kharismeinosa (sekarang sudah wafat) yang duduk di sampingku mendadak histeris tanpa sebab yang aku pahami. Beberapa kawan menenangkannya.

Aku akhirnya meninggalkan kampus melalui pintu belakang atau jalur rumah kaca. Di tempat kost Arif Wibowo aku menenangkan diri lagi. Sampai malam. Aku sengaja tak hadir dalam acara pentas seni penutupan Ospek. Beberapa kabar perkembangan situasi mulai masuk ke telingaku. Tentang kekisruhan antara peserta dan panitia. Termasuk ada juga kabar bahwa konon ada beberapa panitia pelaksana yang marah dan mencariku. Ahhh... Kenapa sampai susah mencariku. Toh aku ada di tempat terbuka. Semua pandangan mata mudah mencariku. Tapi yang membuat aku berpikir, bahwa kabar tentang beberapa mahasiswa yang "mencariku" ini sampai ke telinga beberapa mahasiswa angkatanku yang asli Solo. Mereka mengutus teman untuk meneliti kabar ini. Apakah benar aku sedang dalam posisi berseteru. Aku berpikir hal seperti ini menjadi potensial berubah menjadi masalah yang besar. Maka bergegaslah aku ke kampus. Sementara aku tidak memunculkan diri. Kepada mas Agus Subekti, atau Agus Gajah pentolan angkatan 88 aku sampaikan perkembangan situasi ini. Agar potensi masalah seperti ini segera kita redam. Mas Agus sepakat, perselisihan antara aku dan beberapa panitia pelaksana akan dijernihkan dulu. Baru kemudian meredakan potensi konflik yang lain. Sementara di Ruang 1 berlangsung acara penutupan Ospek, aku menunggu di ruang yang biasa dipakai mahasiswa untuk Shalat. Beberapa kawan bergantian menemaniku di situ, sambil mengabarkan perkembangan situasi yang terjadi.

Selesai acara penutupan, ketika semua peserta mahasiswa baru dan para dosen fakultas sudah meninggalkan ruangan, aku memasuki ruang aula utama. Aku langsung menuju deretan kursi pembicara di depan. Sepintas aku pandangi wajah-wajah panitia yang ada di depanku. Mayoritas dari mereka tak menunjukkan amarah atau permusuhan terhadapku. Hanya beberapa dari mereka yang tak bisa aku tebak isi perasaannya. Tapi aku sudah memperhitungkan hal ini. 

Pengeras suara aku ambil. Dengan kata-kata yang jelas, meski rada tersendat, aku sampaikan permintaan maaf kepada panitia pelaksana. Aku tak perlu mencari kambing hitam atau mencari siapa-siapa yang bersalah. Semua beban tanggung jawab kesalahan aku tanggung. Terlepas dari segala hal yang mendasari situasi kekacauan, pemicu kerusuhan pada hari itu adalah pada saat acara guyuran. Ketika aku kalap, meninggalkan lokasi acara tanpa ada yang mengendalikan. Kuakui kesalahanku, dan aku minta maaf. Immawan tiba-tiba berteriak keras lalu meninggalkan ruangan. Saat itu ada dua orang panitia dari pribumi asli solo yang sejak awal bersamaku mengawal kepanitiaan. Immawan dan Iwan Kharismeinosa. Aku maklum, bisa memahami perasaan Immawan. Salah seorang panitia pelaksana, Benyamin Yuli, berlari ke depan menuju ke arahku. Dia memelukku. Air matanya tumpah. Senat dan para senior lain akhirnya turun tangan. Situasi mereka netralkan sebaik mungkin. Acara klarifikasi pada malam itu berjalan lancar. Paling tidak, issue perselisihan antara aku dari angkatan 90 dengan panitia pelaksana dari angkatan 92 teredam dengan baik. Aku peluk Hernowo, ketua panitia pelaksana, kusampaikan permintaan maafku. Memang kuakui, selama sekitar sebulan persiapan acara Ospek itu dia begitu aku tekan untuk dapat mengendalikan panitia dan kegiatan dengan sempurna. Mungkin aku terlalu keras menekannya. Sedangkan dia sejak awal sebenarnya tidak berambisi menjadi ketua panitia. Tapi aku yang setengah memaksanya agar bersedia menjadi ketua panitia. Sejak awal aku sudah yakin kalau Hernowo mempunyai kapasitas yang cukup untuk menakhodai kepanitiaan. Dia hanya perlu meningkatkan rasa percaya dirinya saja.

Acara klarifikasi malam itu di kampus berjalan dengan baik. Tapi tak ada orang lain yang tahu, bahwa sebenarnya ada bara yang masih menyala di dadaku. Entah kapan setelahnya, bara itu pasti akan meledak.

Aku ingat kejadian beberapa tahun sebelumnya. Saat kami masih semester 2. Angkatan 90 berniat membuat acara kemah bakti sosial di Tawang Mangu. Beberapa diantara kami survey ke sana. Aku belum akan menceritakan detail kejadian yang aku alami pada saat itu. Saat itu ada Arif, Cahyadi, Dhady dan beberapa teman lain yang menyaksikan kejadian yang aku alami. Yang jelas, sejak saat itu aku berusaha menghindar jika berada pada situasi yang rentan membuatku kalap. Aku tahu di dadaku masih ada bara yang bersiap kapanpun untuk meledak. Jadi lebih baik aku menyingkir. Setelah kegiatan malam itu ditutup, aku ikut dengan Bustanul Arifin ke kediamannya di daerah Palur. Dan seperti yang aku khawatirkan, pada suatu waktu di tengah malam itu, bara di dadaku itu meledak. Tapi toh tak ada orang lain di situ. Hanya kami berdua. Aku dan Bustanul Arifin.

Paginya aku pulang ke Semarang. Saat itu aku memang seharusnya menjalani perawatan di Rumah Sakit. Tapi aku tunda karena harus mengawal pelaksanaan Ospek di kampus dulu. Ada polip di hidungku yang harus dioperasi. Sambil menenangkan diri, aku menjalani operasi polip di RS Elizabeth Semarang. Bahkan aku tak berfikir panjang ketika Dokter menawarkan agar sekalian dilakukan operasi amandel. Aku iyakan saja. Yang setelah itu sebenarnya sempat aku sesali. Karena dengan adanya operasi polip itu, maka praktis organ hidungku tak befungsi beberapa waktu. Kedua lubang hidungku ditutup dengan perban yang panjang. Sehingga untuk bernapaspun harus melalui rongga mulut. Sedangkan rongga mulutkupun tidak dalam kondisi normal akibat luka operasi amandel di tenggorokanku. Jadi selama beberapa hari itu aku berada dalam kondisi yang begitu menderita. Boro-boro meneguk air, sedang saat menelan ludahpun rasanya seperti menelan segenggam jarum yang menusuk melewati tenggorokanku.
Sementara aku beristirahat di rumah kakakku. Sesekali aku menelpon temanku di Solo menanyakan perkembangan situasi. Saat itu kami belum mengenal piranti komunikasi seluler. Beberapa teman dari adik angkatan juga mengirimiku surat melalui kantor pos, memberiku informasi terbaru.

Suasana di kampus ternyata belum kembali pulih. Potensi konflik antara mahasiswa senior memang sudah teredam. Tapi ada potensi konflik lain dari mahasiswa baru angkatan 93. Mereka yang sebelumnya hanya pasrah menerima tekanan dari seniornya, saat itu mulai muncul gejala-gejala tanda perlawanan dari mereka. Aku mengenal beberapa pentolan angkatan 93. Sebelumnya sudah sempat aku petakan. Dari kelompok mahasiswa asli pribumi Solo ada Hoho, Agus Endot dan Gempil. Lalu ada beberapa mahasiswa lain yang meskipun bukan warga asli Solo tapi punya pengaruh kuat di angkatannya. Ada Putut, Lasdar dan Ulin. Nama terakhir ini sekarang berada di lingkar pusat kekuasaan negeri ini. Pada saat terjadi kisruh Ospek tahun 93 lalu itu, nama Ulin menjadi salah satu nama yang paling dicari mahasiswa senior.

Akupun segera kembali ke Solo dan bergabung lagi di kehidupan kampus. Aku rasakan sudah tidak ada potensi konflik diantara mahasiswa senior. Tapi memang terlihat masih ada ganjalan di lingkungan mahasiswa baru angkatan 93. Mereka masih merasa dipojokkan. Dampak kisruh guyuran Ospek belum sepenuhnya hilang. Dengan keterlibatan mahasiswa-mahasiswa angkatan senior, potensi kerawanan itu akhirnya bisa diredam. Semua angkatan di kampus pertanian kembali bisa bergandeng bersama mengisi dinamika kehidupan kampus.

Kekisruhan saat Ospek tahun 93 menjadikan kami lebih matang dan dewasa. Aku tak perlu mencari-cari atau menunjuk siapa sebenarnya figur yang harus paling bertanggung jawab dalam kekacauan itu. Semua pihak mempunyai andil kesalahan sehingga kekisruhan itu terjadi. Terutama diriku. Seandainya aku mampu menahan diri saat muncul percikan konflik ketika di tempat perkemahan serta mampu menahan diri saat tragedi guyuran di depan kampus tentu kerusuhan seperti itu tak akan terjadi. Tapi sudahlah, aku bersyukur keributan itu bisa kami akhiri dengan baik dan damai serta tak berkembang menjadi kekisruhan yang lebih besar dan luas.

Hampir semua obat rasanya memang  pahit. Tapi itu menjadikan kita lebih siap dan tangguh menghadapi tantangan masa depan.

Dan yang aku ceritakan ini adalah kejadian yang terjadi menurut sudut pandangku. Bisa jadi orang lain yang melihat dan mengalami kejadian itu memaknainya lain. Makna yang tertangkap menurut sudut pandangnya masing-masing.


E. Ospek 1994

Aku sebenarnya sudah tidak begitu antusias mengurusi Ospek lagi. Sejak semester lima terlewat, sudah aku sadari begitu banyak ketertinggalanku dalam pencapaian nilai akademis. Sehingga aku harus mulai mengurangi aktivitas non akademis dan lebih serius lagi menjalani perkuliahan dan ujian untuk memperbaiki pencapaian nilai Indeks Prestasiku. Tapi akupun tak mungkin membiarkan ketua Senat saat itu, sahabatku Sony, mengelola Ospek tanpa support dariku. Apalagi aku termasuk salah satu mahasiswa yang penuh mendorong Sony, mahasiswa seangkatan denganku agar bersedia menerima amanah tanggung jawab sebagai ketua Senat mahasiswa. Sebutan Senat mahasiswa, saat ini lebih dikenal dengan sebutan BEM. Badan Eksekutif Mahasiswa. Aku berbagi peran dengan Sony. Dia menjadi ketua Senat mahasiswa Fp-Uns, dan aku menjadi Ketua Badan Pelaksana ISMPI (Ikatan Senat Mahasiswa Pertanian Indonesia) Wilayah Jateng dan DIY.

Agar terjadi penyegaran, pelaksanaan Ospek 1994 ini kami selenggarakan di Bumi Perkemahan Pantaran, Boyolali. Bukan di Klaten lagi. Ketua panitia pelaksananya tak begitu aku ingat pasti. Apakah Putut, atau Lasdar. Dari mahasiswa angkatan 93. Aku tak begitu banyak berperan lagi dalam tahapan-tahapan perencanaan dan persiapan. Akupun tak lagi berada dalam jajaran panitia pengarah (SC) lagi. Posisiku di Ospek saat itu jelas. Sebagai senior. Bersama beberapa teman mahasiswa senior, kami membentuk tugas dan peran sendiri. Kebetulan salah seorang temanku dari angkatan 90 mempunyai Handy Cam. Barang yang pada masa itu masih sangat langka. Kami namai sendiri kelompok itu dengan sebutan KTVC, Kentingan TeleVisi Club. Tugas kelompok ini mengabadikan momen-momen menarik saat Ospek dan kelak akan diputar saat acara penutupan atau pembubaran panitia. Dan khusus untukku, Sony memberiku tugas mengawal acara renungan dan mengawasi jalannya acara jalan malam.

KTVC bersama Sony (duduk) dan Sunarto (duduk)
Acara berjalan sangat lancar sejak awal pembukaan di kampus dan berlanjut ke bumi perkemahan Pantaran. Mahasiswa angkatan 94 termasuk mahasiswa yang sangat kooperatif dalam menjalani kegiatan Ospek. Tahapan-tahapan acara seperti jalan malam, game-game lintas medan, dan seterusnya berjalan lancar.
 
Suasana Game-Game di Lokasi Perkemahan
Nah, sampailah pada malam terakhir saat tiba waktunya materi acara renungan. Aku sudah siapkan sematang mungkin skenario acara renungan. Tapi sungguh, saat itu aku  merasa sungkan kepada Senat jika harus memegang komando saat renungan malam. Ada trio pejabat Senat yang ketiganya merupakan sahabat-sahabatku. Ada Sony, Sunarto dan Riri. Akhirnya,  dalam setinganku, penanggung jawab materi renungan tetap berada di tangan mereka bertiga. Aku hanya bertugas menyiapkan suasana atau mengkondisikan peserta agar siap menerima pemberian materi renungan.

Trik yang kami bangun saat menjelang materi renungan malam berjalan lancar. Begitu semua peserta sudah kami kondisikan siap untuk menerima materi renungan, komando acara aku serahkan ke trio pengurus Senat tadi. Ketiganya langsung mengambil posisi di depan peserta dan memberi materi renungan. Aku menyingkir dan mengawasi dari tempat tertutup di belakang peserta.

Banyak materi-materi perenungan yang lancar diluncurkan oleh ketiga pengurus Senat tadi ke peserta. Semua mahasiswa barupun nampak serius menerima materi tadi.
Acara renungan pada malam itu berjalan sukses dan lancar. Meskipun belum terjadi situasi klimaks seperti yang aku harapkan. Ibarat permainan sepak bola, penampilan trio petinggi Senat tadi lumayan memikat. Tapi sayangnya, sampai peluit terakhir terdengar tetap belum tercipta Goal ke gawang lawan.

Bagiku, pelaksanaan Ospek tahun 94 itu telah mampu memulihkan "luka" yang sempat tertoreh pada saat pelaksanaan Ospek tahun 93 sebelumnya.

(bawah) Gambaran Prosesi Guyuran



F. Ospek 1995

Situasi seperti tahun 94 sebelumnya kembali terulang pada tahun ini. Ketua Senat saat itu dari mahasiswa  angkatan 91 di bawahku, Baroto Eko Pujanto. Hubungan kami sangat dekat. Sudah akrab sejak awal dia masuk perkuliahan. Jadi aku rasa tak mungkin dan tak elok jika aku membiarkannya membangun kegiatan Ospek mahasiswa baru tanpa dukunganku. Kembali aku terlibat dalam kegiatan Ospek. Meskipun tanpa penetapan status yang jelas. Hanya sebagai senior. Dan kembali bergabung dalam riuhnya Ospek 95 di bumi pantaran dengan group kebanggaanku, KTVC.

Akupun tak terlibat dalam segala macam pernik kegiatan persiapan kepanitiaan. Saat itu aku sudah menjalani tahap penyusunan skripsi. Tim lengkap KTVC kembali beraksi. Kelompok yang didominasi mahasiswa angkatan 90, angkatanku, serta beberapa mahasiswa dari angkatan 91. Bahkan ada mas Puji, kami memanggilnya simbah, dari angkatan 87 yang saat itu sudah lulus tapi turut bergabung dengan kami.

Sayang aku tak bisa mendapatkan salinan rekaman handycam KTVC waktu itu. Pada masa itu kami belum familiar dengan Mini CD, apalagi Flashdisk. Untuk merekam hasil shooting digunakan kaset Beta kecil yang bisa dipakai untuk menyimpan hasil rekaman berulang-ulang.

Formasi lengkap KTVC
atas ki-ka : Mas Puji, Sugeng Tyson, Dhaddy Pelita
bawah ki-ka : Aim, Nugie, Wawan, Sentot, Baroto, Aku
Aku rada ragu siapa ketua OC pada Ospek 95 ini. Aku pikir awalnya Dhaddy Prasetyawan. Tapi setelah ngobrol dengan banyak pelaku sejarah saat kejadian dahulu itu, ternyata hasilnya sama, mereka juga kabur mengingat peristiwa hampir dua puluh tahun lalu itu. Baru kemudian misteri terpecahkan. Ketua OC pada Ospek 95 ternyata tetap dipegang mahasiswa angkatan 93, Arif Rahman. Pada saat itu ada perubahan pola kepanitiaan. Ketua OC Ospek dipegang oleh mahasiswa dua angkatan di atas mahasiswa baru. Dhaddy Prasetyawan baru menjadi ketua OC pada Ospek tahun berikutnya, 1996. Aku tak terlibat lagi di dalamnya.

Sejak awal acara di kampus, hingga di lokasi perkemahan, panitia dari angkatan 94 sukses membangun suasana kegiatan dengan baik. Aku bantu dengan usulan-usulan solusi jika mereka menemui kesulitan. Kelompok KTVC juga merekam adegan-adegan lucu dalam jepretan lensa kamera dan handycam kami. Salah satu peserta dari angkatan 95, kalau tak salah namanya Fathul, disuruh menunggang sebuah patung harimau dan bergaya seolah-olah sedang menunggang kuda layaknya cowboy. Dia sebenarnya tinggal dalam rumah kost yang sama dengan kami, Kost Mc Lampir. Dia hanya cekikikan pasrah menerima keisengan kami, senior-senior angkatannya. Dahulu aku ada menyimpan foto Fathul saat menunggang patung harimau ini. Tapi entah berada dimana, tak aku temukan saat kucari.

Baroto secara intensif dan khusus sengaja aku dampingi. Sejak awal acara sebelum berangkat ke bumi perkemahan sudah aku rasakan keanehan pada dirinya. Saat itu, seraut wajah dari sesosok mahasiswi baru sudah mengganggu pikirannya. Yaa, aku maklum, dia sudah terbidik panah asmara mahasiswi baru gadis Cirebon, Maria Ulfa. Kejadian lama yang terulang kembali di kampusku. Ketika Ketua Senat kampus terpikat dengan adik tingkatnya. Ketua Senat sebelum Baroto, Sony, juga terpikat dengan adik tingkat dari angkatan 92, Lily. Yang ternyata juga seorang gadis Cirebon. Kedua pasangan itu kini sudah menikah dan membangun rumah tangga dengan tenang dan bahagia. Sony tinggal bersama keluarganya di Semarang, menekuni usahanya dalam bidang perdagangan sarana pertanian. Perusahaannya berkembang pesat, maju akibat ketekunan dan integritasnya. Mengunjungi berbagai pelosok negara di segenap penjuru dunia ini sudah bukan hal asing lagi baginya. Baroto hidup sebagai Pegawai Negeri di Pemda Wonogiri, kampung halamannya. Di sana dia bersama Ria dan putra putrinya tinggal. Terkadang terpantau kegiatannya saat bertugas ke propinsi-propinsi lain di luar pulau Jawa. Sesekali waktu, kami, aku dan Baroto atau Sony, berkomunikasi. Aku bersyukur mendapatkan kesempatan turut berperan dalam tersambungnya hubungan kedua pasangan itu. Semoga mereka tetap lancar dan langgeng, dikaruniai hubungan yang shakinah dan mawaddah. Senantiasa bahagia bersama keluarganya..

Kita kembali lagi ke cerita Ospek. Kondisi Baroto seperti itu membuat dia tidak bisa fokus mengawasi jalannya Ospek. Apalagi beberapa kali Ria harus masuk ruang kesehatan. Aku biarkan saja Baroto risau. Kondisi itu malah membuatku semakin leluasa mengawasi pelaksanaan Ospek. Dhady pun terlihat wellcome dengan keterlibatanku. Sedari awal, kami tidak terlalu jauh mencampuri detail-detail acara yang sudah disusun panitia. Tugas dan misi kami sudah jelas. Khusus mengawal dan membangun acara renungan agar sukses selancar mungkin.

Setelah hari pertama dan kedua di perkemahan diisi dengan materi pengenalan kampus, pengenalan dunia pertanian, serta game-game seru lainnya, akhirnya masuklah kami pada malam terakhir di perkemahan. Malam yang akan kami isi dengan materi renungan.

Semua panitia pelaksana, panitia pengarah, senior serta pengurus Senat berkumpul di sebuah ruangan di dekat aula. Di situ kami melakukan briefing. Panitia Pelaksana (OC) memberiku keleluasaan penuh untuk mengelola item acara pada malam itu. Begitupun panitia pengarah (SC) berikut pengurus Senatnya. Kendali pengaturan skenario acara berada di tanganku. Aku sadari betul pada saat itu, bahwa ini adalah kesempatan terakhirku terlibat langsung pada internal kepanitiaan. Acara renungan malam ini harus sukses. Begitu tekadku. Tak akan ada lagi kesempatan berikutnya. Bayangan tragedi kerusuhan saat Ospek tahun 93 lalu masih membayangiku.

Aku sampaikan skenario acara kepada seluruh mahasiswa yang terlibat dalam kepanitiaan. Termasuk crew KTVC yang saat itu mendapat tugas mengiringi acara renungan dengan dentingan gitar dan alunan vokal tanpa lirik dari sisi aula. Lagu-lagu yang akan disenandungkan sudah kami tentukan. Lagu "ibu" dari Iwan Fals, "Gugur Bunga", "Tuhan" dari Bimbo dan beberapa lagu lainnya.

Dan mulailah kami menetaskan telur skenario itu...

Saat panitia sedang memberikan materi di depan aula, dari belakang peserta kami sengaja membuat kegaduhan. Dengan bentakan yang keras, personel panitia yang kami lakonkan "bersalah"  kami tindak di ruang lapang belakang peserta. Antara aula dan posko panitia. Bentakan kami dari mahasiswa senior tentulah berbeda dengan bentakan panitia pelaksana yang satu tingkat di atas peserta. Sedangkan mendapat perlakuan keras dari panitia saja sudah mampu membuat hati peserta kecut, apalagi pada saat itu yang beraksi adalah mahasiswa-mahasiswa senior yang sudah matang dengan asam garam kegiatan Ospek. Saat itu kami membuat skenario ada pos penjagaan panitia yang kosong, sehingga keamanan tenda peserta tidak terjaga. 

Semua panitia pelaksana kami panggil untuk segera berkumpul. Termasuk panitia yang sedang memberi materi di depan peserta kami panggil ke belakang. Bentakan dan teriakan panitia senior terdengar keras bersahutan pada malam itu. Sekitar tiga puluhan panitia pelaksana serentak berlarian serabutan menuju tempat lapang di belakang aula, memenuhi panggilan mahasiswa senior. Suasana aula jadi kosong, status quo.

Wajah peserta terlihat kebingungan menyikapi situasi yang terjadi. Mereka menoleh ke belakang, melihat panitia yang sedang ditindak senior.

Karena ruang lapang di belakang aula itu sempit, para panitia kemudian kami giring bergeser ke lapangan sepak bola di samping lokasi perkemahan. Lapangan yang dibatasi pagar tembok setinggi dada manusia itu berjarak sekitar lima puluhan meter dari aula yang bentuknya terbuka.

Riuh, suara derap kaki panitia yang berlarian menuju lapangan. Diselingi bentakan-bentakan keras senior yang terus terdengar.
Nah.. Ketika sudah berada di lapangan, kondisi mereka sudah tak terlihat oleh peserta karena ada pagar tembok lapangan yang membatasi. Para panitia pelaksana itu sebenarnya dalam situasi santai. Tidak berdiri dengan tegang dan kaku seperti yang dibayangkan peserta. Dari tempat peserta, yang terpantau hanyalah suara-suara keras bentakan dan teriakan-teriakan dari senior.

"Ayoo.. Kumpul sini semua... Cepaaat.."
"Panitia macam apa kalian ini.."
"Kalian tidak bertanggung jawab.."
"Hanya cari enaknya saja..."
"Disuruh jaga malah tidur..."
"Harusnya kalian malu jadi panitia"
"Semua usaha kalian sia-sia.. Percuma bikin persiapan berbulan-bulan hasilnya cuman gini.."

Begitu antara lain teriakan-teriakan senior yang terdengar oleh peserta. Bunyi teriakan-teriakan itu sebenarnya juga sudah kami kondisikan. Kami meneriaki panitia, tapi sasaran sebenarnya adalah peserta. Agar timbul kesan pada diri peserta, bahwa menjadi panitia itu ternyata tak mudah.

Aku tak ikut ke lapangan. Ketika semua panitia pelaksana berlarian ke lapangan digiring senior, aku mengambil alih kendali aula.

Aku berakting pada saat itu. Entah gayaku saat itu terlihat alami atau terlihat sudah diatur, aku tak tahu. Aku berdiri di depan peserta. Tapi mataku masih fokus memandang ke arah lapangan. Bergaya seolah saat itu tindakanku adalah spontanitas. Mic pengeras suara ada di tanganku.
"Adik-adik tahu apa yang terjadi barusan..?"
Begitu tanyaku ke peserta. Tak seorangpun peserta yang berani menjawab.
"Saat peserta mengikuti materi di aula, seharusnya panitia menjaga keamanan tenda-tenda peserta. Saat kami periksa tadi, ternyata ada pos penjagaan yang kosong. Maka itulah semua panitia ditindak senior.." Ucapku.
Peserta tetap hening. Mata mereka menatapku, sesekali berusaha menengok ke arah lapangan. Mereka ingin tahu apa yang terjadi di sana. Sementara suara-suara bentakan senior masih keras terdengar.
"Jadi panitia itu berat, adik-adik.. Mereka adalah orang-orang pilihan di angkatannya..
Butuh waktu sekitar tiga bulan untuk menyiapkan acara ini.. Jadi ketika teman-teman mereka lainnya menikmati liburan semester, para panitia itu tak bisa leluasa seperti yang lainnya.. Mereka harus bekerja keras menyiapkan acara ini sebaik-baiknya.."
Suasana menjadi hening. Fikiran peserta sudah masuk dalam giringanku. Wajah mereka tertunduk.
"Jadi kami tidak bisa menerima sekecil apapun kesalahan yang mereka buat... Mereka mewakili semua mahasiswa di kampus kita dalam menerima kalian, adik-adik baru kami... Pelaksanaan Ospek ini harus berjalan sempurna.. Tak boleh ada kesalahan yang terjadi.." Lanjutku.
"Sejak hari pertama mereka kami biarkan membuat acara dalam bentuk apapun ke kalian.. Tiap hari kalian dibentak-bentak.. Disuruh-suruh ini dan itu.. Lalu dihukum sesuka mereka..  Karena mereka memang mendapat mandat dari kami semua.."

Penyampaianku mulai mempengaruhi fikiran peserta.
"Nah.. Sekarang mereka ganti merasakan gimana rasanya kalau dibentak-bentak dan dihukum.. Senang kan dek..? Melihat panitia dihukum kayak gitu...?
Sebagian peserta mulai menengadahkan wajahnya. Raut mukanya menunjukkan ada sesuatu yang ingin mereka ungkapkan.
"Mereka akan kami suruh tetap di lapangan sampai pagi.. Biar mereka merenung dan memikirkan apa saja yang telah mereka kerjakan selama di sini.."
"Agar mereka rasakan juga seperti apa rasanya saat kalian dihukum dan ditindak oleh mereka.. "
"Senang kan dek, melihat panitia sekarang dihukum seperti itu.." Kuulang pertanyaanku..

Sebagian peserta terlihat gelisah. Sayup terdengar ada suara yang menjawab "tidak"...
"Kami sengaja menghukum mereka di depan kalian agar mereka sadar diri.. Tidak bebas seenaknya saja menghukum kalian.. Sekarang saatnya pembalasan.. Kalian bisa menikmati melihat panitia dihukum dan dibentak-bentak seperti tadi.."
Semakin banyak terlihat peserta yang gelisah.
"Sekarang biar panitia itu merenung, apa saja hasil dari kerja mereka selama beberapa bulan ini.. Apakah acara Ospek ini bisa jadi manfaat, atau hanya sekedar hura-hura berkemah saja.. Biar mereka fikir dan renungkan sampai pagi di lapangan sana.."
Semakin banyak suara gelisah yang muncul dari tempat peserta.
"Mereka pikir kalian peserta Ospek ini bisa menikmati acara ini.. Mereka pikir peserta bisa mendapatkan banyak manfaat dari acara ini.. Padahal sebenarnya kalian peserta ini sudah muak dengan acara ini..
Betul begitu kan, dek...? Teriakku.

Banyak teriakan "tidak" dari arah peserta. Lantang.

"Lalu kenapa kalian diam saja..." Tukasku.

Beberapa peserta berdiri. Peserta putra dan putri. Aku berikan kesempatan ke mahasiswi baru tadi untuk bicara, karena aku lihat wajahnya sudah merah menahan tangis.
"Saya mohon panitia jangan dihukum, kak.." Ucapnya dengan sedikit tersendat.
"Kenapa..?" Tanyaku.."Bukankah kalian senang melihat panitia dihukum seperti tadi..?"
"Tidak..." Banyak terdengar jawaban dari peserta.
Beberapa peserta lain juga berdiri. Menyampaikan permintaan yang sama, agar hukuman ke panitia dihentikan.
Akhirnya dua orang peserta tadi, putra dan putri, aku suruh berlari ke lapangan, dan menyampaikan ke senior agar tindakan hukuman ke panitia dihentikan. Kedua peserta tadi bergegas berlari ke arah lapangan. Dan tak lama kembali lagi, menyampaikan kabar bahwa hukuman sudah dihentikan.

Setelah mereka berdua bergabung lagi dengan teman-temannya, kendali acara kembali aku teruskan. Aku sampaikan, bahwa menjadi panitia Ospek itu tidak mudah. Mereka adalah mahasiswa-mahasiswa pilihan yang mendapat kepercayaan dari Senat. Proses penjaringan dan penyusunan kepanitiaan sudah dimulai sejak tiga bulan sebelum pelaksanaan. Dan betul-betul efektif beroperasional setelah pelaksanaan ujian semester genap selesai mereka jalani. Sementara teman-teman mereka, mahasiswa yang lain, biasanya menikmati suasana liburan semester dengan pulang kampung atau kegiatan lainnya, para panitia pelaksana tidak bisa menikmati itu. Mereka tetap fokus dan penuh semangat bekerja menyempurnakan persiapan kegiatan ini. Survey ke lokasi kegiatan, menyiapkan konsumsi dan akomodasi, menyusun acara kegiatan dan sebagainya.
Mahasiswa baru peserta Ospek terlihat penuh perhatian mendengar paparanku. Terlihat dari raut mukanya, mereka semakin tersentuh dengan pengkondisian suasana yang kami bangun.

Untuk lebih memantapkan lagi, aku coba tanyakan ke peserta apa yang akan mereka sampaikan jika panitia kami hadirkan di depan mereka. Beberapa peserta saling berpandangan diantara mereka.  Ada beberapa suara yang sempat aku dengar, bahwa mereka ingin minta maaf kepada panitia. Akupun meminta agar semua panitia dihadirkan di depan peserta. Secara tertib dan teratur satu persatu berjalan masuk ke ruang aula. Berdiri berjajar di depan peserta.

"Nah.. Adik-adik.. Ini semua panitia sudah dihadirkan di depan kalian..," tukasku.
"Lihatlah wajah-wajah mereka.. Apakah kalian lihat raut amarah dan kebencian pada mereka..?
Ini adalah kakak-kakak kalian.. Yang telah merelakan waktu dan tenaga mereka untuk menyiapkan acara ini.. Agar kalian lebih mengenal tentang kampus dan dunia pertanian..."
"Lihatlah wajah mereka.. Apakah kalian lihat raut kebencian pada diri mereka...?
Aku ulang pertanyaanku.
Ada jawaban pelan, tapi berasal dari banyak sudut dari arah peserta..
" tidaak..."
Saat itu aku berfikir bahwa situasi sebenarnya sudah bisa untuk dinaikkan menjadi puncak klimaks perenungan. Tapi aku tetap berpegang pada skenario awal, bahwa masih ada beberapa materi renungan yang harus disampaikan. Maka alur peningkatan derajad emosional peserta kembali aku tahan dulu..
"Nah.. Silahkan untuk adik-adik yang ingin minta maaf ke panitia agar maju ke depan.. Jabat tangan kakak-kakak kalian ini.."
Beberapa peserta maju ke depan. Posisi panitia sudah kami kondisikan sedemikian rupa, sehingga panitia perempuan berada di depan peserta perempuan. Demikian juga yang laki-laki.
"Jabat tangan kakak kalian.. Dan rasakan adakah rasa permusuhan dari mereka.." Demikian instruksiku ke peserta. Beberapa dari peserta sudah maju ke depan dan menyalami panitia.
"Jabat tangannya... Dan peluklah mereka.. Akan kalian rasakan kehangatan seorang kakak dari mereka.."
Peserta-peserta itu menjabat tangan panitia dan memeluknya sambil menyampaikan permintaan maaf. Panitia menyambut dan membalasanya dengan pelukan hangat dan tepukan di punggung. Beberapa peserta perempuan memeluk panitia putri dengan isak tertahan.
Semakin banyak peserta yang hendak bangkit dan bergabung ke depan. Aku harus menahannya, agar kondisi emosional ini tidak mencapai puncak terlebih dahulu. Setelah sekitar seperempat peserta menyalami dan memeluk panitia, aku menghentikannya. Peserta yang belum beranjak ke depan aku minta untuk tetap berada di tempatnya.
Aku sampaikan arahan sebentar kepada panitia pelaksana yang masih berjajar di depan. Aku minta mereka meninggalkan tempat renungan dan kembali ke posnya masing-masing. Merekapun meninggalkan ruang.

Kini tinggal aku, tunggal, yang memegang kendali acara. Ada satu dua panitia senior yang mendampingiku dari sisi-sisi aula. Entahlah, apakah aku egois, over percaya diri atau takabur pada saat itu. Yang jelas, ketika itu aku betul-betul berniat agar malam ini acara renungan benar-benar berjalan sesuai harapan kami jauh hari sebelumnya. Setelah pelaksanaan renungan yang seharusnya berjalan seperti ini gagal dan berantakan dua tahun sebelumnya (saat Ospek tahun 1993), maka aku harus memastikan tak ada lagi potensi kendala yang berpeluang mengacaukan acara pada malam itu.

Aku berdiri dengan mic di tangan dan keseluruhan peserta dari mahasiswa baru angkatan tahun 1995 yang duduk berjajar rapi di hadapanku.
Panitia lain berdiri melingkari bangsal. Terbanyak mereka berdiri berjajar di deretan belakang.
Mahasiswa senior yang bertugas mengisi ilustrasi musikal juga sudah bersiap di tempatnya.
Aku ringkas saja materi-materi yang aku sampaikan pada saat itu..

Seperti ini...

"Adik-adik... Kami ingin adik-adik memahami kenapa kalian kami bawa ke tempat ini.. Malam hari kalian tidur di tenda, terkena angin malam daerah sini.. Siang hari kalian kami ajak berjalan-jalan berkeliling lingkungan sini.. Menyusuri persawahan.. Melihat dan bertemu para petani yang tekun menggarap sawahnya.. Agar kalian bisa merasakan bagaimana denyut napas seorang petani.. Karena untuk merekalah kita menuntut ilmu di kampus pertanian ini.... Dari hari ke hari, tantangan mereka semakin berat, dik.. Tanah di nusantara yang subur ini semakin lama semakin berkurang untuk lahan pertanian.. Masih banyak para petani yang tetap setia mengayun cangkul menggarap lahan, tapi sudah bukan di tanah milik mereka sendiri.. Kalian harusnya membuka mata dan mendengar berita, ketika banyak petani di daerah (aku menyebutkan nama tempat yang saat itu sedang menjadi topik utama pemberitaan media massa dalam kasus penggusuran) yang harus kehilangan lahan garapannya dan hanya diganti dengan uang yang cuman cukup untuk membeli semangkuk mie ayam..." Tuturku...
Demikian aku terus membombardir peserta dengan kasus-kasus penggusuran lahan persawahan petani.

Suara isak peserta kembali terdengar lagi.
Dan perlahan aku bergeser ke materi renungan berikutnya. Tentang cinta tanah air...

Aku ceritakan kepada peserta tentang taman makam pahlawan yang ada di depan kampus kami. Banyak tertulis di pusaranya,  usia para pahlawan itu ketika gugur. Sebagian masih berusia belasan tahun. Seusia mahasiswa yang duduk berjejer di hadapanku itu.
Aku bilang ke mahasiswa-mahasiswa baru itu, kalau mereka masuk ke dalam taman makam pahlawan, akan mereka temui sebuah nisan yang bertuliskan nama Slamet Riyadi. Seorang pahlawan nasional yang berasal dari kota Solo. Tapi jangan harap akan mereka temui bekas jasad atau sisa kerangka di dalam makam itu. Karena sejatinya yang dikubur dalam makam itu hanyalah serpihan tanah yang berasal dari sisa jasad pahlawan Slamet Riyadi yang gugur saat memadamkan pemberontakan di daerah Ambon. Dia gugur saat berusia 23 tahun (cerita ini aku dapat saat mengikuti pelatihan Paskibra UNS tahun 1990 sebelumya. Saat itu kami sempat ziarah ke taman makam pahlawan itu).

Dentingan gitar masih terdengar syahdu mengiringi.
Satu dua peserta mulai histeris. Ada yang tiba-tiba tergeletak di lantai aula. Pingsan. Dan inilah yang ditunggu-tunggu para panitia cowok badung di sekitar aula. Meskipun sudah ditentukan pembagian tugasnya, bahwa peserta cewek yang pingsan akan diurus oleh panitia putri, tetap saja panitia cewek akan kewalahan karena mayoritas peserta yang pingsan adalah peserta putri.

Kembali aku ajak peserta untuk mengembangkan imajinasinya. Aku minta mereka membayangkan sosok bapak dan ibu mereka. Kira-kira apa yang orang tua mereka lakukan saat ini. Bahwa mungkin ada banyak orang tua mereka yang pada saat tengah malam seperti ini mendirikan ibadah dan bermunajat ke Sang Pencipta. Memohonkan kebaikan untuk kita, anak-anaknya. Aku minta peserta membayangkan kerut dan gores keletihan yang semakin banyak menghiasi wajah orang tuanya. Mungkin ada diantara mereka yang sudah tidak utuh lagi orang tuanya. Bapaknya sudah berpulang, atau ibunya yang sudah mendahului. Bahkan mungkin ada diantara mereka yang sudah tak ada lagi bapak dan ibunya. Apapun itu, suatu saat kita pasti akan berpisah dengan kedua orang tua kita. 
(aku terbayang raut wajah alamarhum bapak saat menyampaikan ini).

Terus aku sampaikan materi-materi yang berkaitan dengan cinta dan hormat kepada orang tua. Para panitia mengevakuasi peserta yang pingsan ke ruang kesehatan, diiringi sedu sedan peserta lainnya.

Dan sampailah aku ke puncak materi perenungan malam itu.
Para peserta aku ajak untuk merenungkan arti keberadaan kita di dunia ini. Bahwa kelak pasti akan datang masanya, ketika semua manusia, seluruhnya, harus berdiri berjajar memanjang, di sebuah padang yang teramat luas tak bertepi, mempertanggung-jawabkan segala perbuatan kita di dunia ke hadapan Sang Pencipta. Segala pernik perbuatan, bahkan sekedar lintasan pikiran maupun desir perasaan kitapun akan terpapar dengan terang di hadapanNya.

Yang Haq, maupun yang bathil..

Aku minta mereka membayangkan suasana kelak setelah akhir jaman itu..

Apakah kita sudah yakin akan selamat..??

Isak tangis sudah menggemuruh di aula itu. Para peserta yang lunglai bertambah lagi.
Aku akhiri perenungan malam itu dengan mengajak mereka untuk terus melakukan perenungan tentang arti keberadaan manusia di dunia....

Renungan malam selesai. Aku tak ingat ada berapa peserta yang pingsan...
Lampu di aula itu kembali dinyalakan. Nampak wajah-wajah peserta yang kuyu.

Alhamdulillah, materi perenungan yang aku sampaikan Insya Allah masuk ke dalam hati sanubari mereka. 
Semoga……

Panitia mengedarkan air minum kepada peserta. Aku pamit meninggalkan aula. Peserta diijinkan untuk sejenak beristirahat di aula, untuk kemudian dipersilahkan kembali ke tenda mereka.

Sejujurnya, saat itu aku mencari tempat yang rada sepi dan tersembunyi, lalu aku merebahkan badan di situ. Beralaskan tanah dan serpihan daun, serta beratap langit malam.

Aku renungi sendiri segala perkataanku. Bahwa yang aku ucapkan untuk peserta Ospek sejatinya adalah kegundahan diriku sendiri. Saat ini aku berada di sini. Di bumi perkemahan Pantaran Boyolali. Tapi entah besok atau lusa hari. Terbayang segala kemelut kehidupan yang kualami hingga usiaku menginjak dua puluhan tahun pada saat itu. Aku berharap sisa usia kehidupanku kelak lebih banyak diwarnai kedamaian dan ketenangan.
Sungguh aku sangat berharap...

Aku pandang langit dan bintang di atas sana..

Yaa... Di bumi Pantaran aku layangkan ucap syukurku, beban pelaksanaan Ospek di kampus telah aku tunaikan dengan baik pada malam itu..

Semoga manfaat..

Semoga berkah...




*********


Kisah ini yang terbaca dari sudut pandangku..
Meski ada beberapa detail kejadian yang sengaja tidak aku paparkan
tetapi tidaklah merubah inti cerita kejadian yang berlangsung..
Bisa jadi kawan-kawanku yang lain melihat kisah yang terjadi ini berbeda dengan kisah kejadian yang aku tangkap...
Wallahu 'alam..
Anggaplah hanya sekedar cerita ringan pelepas lelah ketika penat..

Ada tiga nama pada cerita di atas yang saat ini tak lagi berada di alam yang sama dengan kita.
Iwan Kharismeinosa 92 wafat pada akhir tahun 2012 dahulu.
Febriana Hari Sulistyo 91 wafat pada akhir tahun 2018 kemarin. Beberapa bulan setelah aku sempat menghubunginya via Messenger Facebook, setelah lebih 20 tahun kami tidak berkomunikasi.
Firman Gondes 89 wafat pada awal tahun 2019 ini, saat cerita ini aku susun sedikit demi sedikit.
Mereka bertiga pulang setelah mengalami masa sakit terlebih dahulu.
Semoga kalian bertiga tenang di alam sana..

Aamiin Ya Robbal Aalaamiin..

Argo Kumoro Anak Kebon.. Lahir.. Besar.. Dan menua di Perkebunan

0 Response to "Sekilas Cerita tentang Ospek Mahasiswa Baru Awal Tahun 90-an.."

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel