Story of Nogoro (Bagian 3)
SMP
Negeri 2 Pemalang.
Ini juga sekolah tempat bapak
dahulu menempuh pendidikan menengahnya. Kakak ketigaku juga alumni dari sekolah
ini. Saat itu aku masuk ke sekolah ini melalui jalur test. Belum berlaku sistem
NEM (Nilai Ebtanas Murni). Pada tahun berikutnya setelah aku masuk SMP barulah
diberlakukan sistem NEM ini.
![]() |
Gerbang SMPN 2 Pemalang kondisi sekarang |
Saat kelas 1, aku masih menetap
di rumah kontrakan Jalan Serayu. Menjelang kelas 2 aku pindah ke rumah kost di
Jalan Banowati, Mulyoharjo. Aku kost di tempat ini hingga selesai menyelesaikan
pendidikan SMP-ku. Pertengahan kelas 1, bapak pindah rumah dinas ke afdeling
Semugih di dekat kota kecil Randudongkal. Aku biasa pulang sabtu siang, dan
senin pagi balik ke Pemalang lagi. Menaiki kendaraan umum L-300. Naik dari
depan rumah di Semugih, turun di Terminal Sirandu, lalu jalan kaki ke rumah
kost-ku.
Saat kelas 1, aku berteman akrab
dengan Rahman. Kami suka memanggilnya dengan sebutan Armed. Karena kegemarannya
memakai pakaian-pakaian bermotif militer. Dia lumayan aktif di kegiatan karate.
Lalu akupun sempat bergabung sebentar dalam perkumpulan karate ini. Dojo
Gojukai, dengan tempat latihan di Aula SMAN 1 Pemalang. Saat itu, di lingkungan
remaja Pemalang sangat dikenal seorang jagoan yang bernama Rais. Dia pemegang
sabuk hitam di perkumpulan karate kami itu. Pernah suatu ketika, saat kami
latihan karate di aula SMA, salah seorang teman sekolah kakak keduaku berniat
bercanda di depan kami. Dia anggota salah satu perguruan pencak silat di
Pemalang. Saat kami istirahat, dia memainkan kembang-kembang jurus pencak
silat. Kami hanya terdiam mengawasi dari sisi-sisi aula. Rais rupanya emosi
melihat kejadian itu. Dia merasa tertantang ada seseorang mempertunjukkan
keahlian bela diri lain di depannya. Dia bergegas menghampiri orang itu. Dari
arah belakang di kunci lehernya lalu dia banting dengan keras. Wajah pesilat
tadi seketika pucat seolah tak berdarah. Dia berusaha menjelaskan bahwa dia
hanya bermaksud bercanda. Tapi Rais tak bergeming. Hampir saja pukulan
karatenya melayang ke arah wajah pesilat tadi. Pelatih-pelatih karate yang lain
bergegas menghampiri dan memisahkan mereka berdua. Malam harinya aku lihat
pesilat tadi datang ke rumah kontrakan kami. Dia ditenangkan oleh kakak
keduaku. Masalah memang akhirnya bisa diredam. Tidak berkembang menjadi masalah
yang lebih besar.
Saat itu aku begitu terobsesi
dengan film-film laga yang kadang aku tonton di bioskop Indra Theatre. Aku rajin
latihan karate agar bisa sesakti figur-figur yang bertebaran di layar bioskop. Bisa
terbang tinggi menembus atap gedung yang tinggi, atau melewati sungai yang
lebar sekali melompat. Jadi setiap pulang dari latihan karate aku sering
melatih jurus-jurus tadi di rumah kontrakan kami. Aku hidupkan sebatang lilin,
lalu aku pukul dengan kepalan tinjuku mendekati nyala api. Seperti yang pernah
aku lihat layar bioskop, jika kemampuan tenaga dalam kita sudah mumpuni, angin
yang terhembus dari kibasan ayunan tinju tadi akan mampu memadamkan api,
berhari-hari aku melakukan gerakan itu, Dan nyala api lilin itu tak pernah
padam karena hembusan kekuatan tinjuku, Nyala apinya bergoyangpun tidak. Akhirya
aku menyerah. Aku hentikan latihan karateku. Aku keluar dari Dojo Karate
Gojukai Pemalang tanpa sempat menikmati kenaikan tingkat menjadi sabuk kuning.
Selama bergaul dengan Rais itu memang
sempat membuatku merasa aman berada di lingkungan remaja Pemalang. Rais dan
Rahman pernah main ke rumah orang tuaku di daerah Semingkir. Di tengah areal
perkebunan kelapa hibrida kami berkeliling kebun dengan menaiki sepeda motor
kakakku. Motor trail Binter Kawasaki KE 125. Saat lebaran haji tahun 2017 lalu
aku berkunjung ke Pemalang dan sempat bernostalgia dengan Rahman. Dari dia aku
mendengar kabar kalau Rais sudah lama meninggal. Katanya menderita sakit
misterius yang parah.
Aku dikhitan saat bapak berdinas
di tempat ini. Ada resepsi sederhana yang diadakan di rumah dinas semingkir.
Malam sebelum khitan, aku melaksanakan acara khataman Al-Quran. Pagi harinya,
mbah kakung, ayah dari ibu menyuwuk kepalaku. Beliau memegang kepalaku lalu
meniup ubun-ubunku dengan bacaan yang tidak terlalu jelas aku dengar. Aku
dikhitan di RSU Pemalang, berbeda dengan ketiga kakakku yang selalu dikhitan di
Bong Supit Bogem daerah Jogja. Sesuai tradisi dalam keluarga kami. Sekitar
seminggu aku menjalani pemulihan dari proses khitan ini. Lalu setelah pulih
kembali, langsung menjalani kehidupan normal di kota Pemalang.
Pada masa-masa pendidikan
menengah inilah moral kejiwaanku secara perlahan mulai mengarah ke arah kiri.
Saat itu di kota Pemalang ini juga sudah mulai merebak kegemaran anak-anak
mudanya untuk membentuk kumpulan masing-masing. Serombongan remaja-remaja
sekolahku yang kebanyakan anak-anak pejabat di kota Pemalang membentuk Gank
sepeda BMX. Aku tidak bergabung dengan mereka, meskipun kelompokku tetap
menjalin hubungan yang baik dengan kelompok mereka.
Kami membentuk kelompok sendiri.
Kami biasa berkumpul di rumah Hery, teman seangkatanku. Hery ini tinggal di
rumah kakeknya di Mulyoharjo. Mereka hanya bertiga di rumah itu. Hery bersama
kakek dan neneknya. Hery ini anak seorang perwira menengah militer TNI-AD di
Jakarta.
Kami biasa menghabiskan malam
hari di situ. Menanak nasi dan membakar burung dara. Dilengkapi sambel tomat
bikinan sendiri. Temen-temen Gank-ku saat itu ada Pramono, Edy, Kusnari. Kami
juga mempunyai hobby yang lain, yaitu main sepak bola. Bahkan sempat membentuk
klub sepak bola. Kami namakan PS Semproel. Tim kami sering mengadakan
tanding-tanding persahabatan dengan klub-klub lain di seputaran pemalang. Aku
mendapat posisi sebagai gelandang, meskipun tidak selalu ikut bertanding. Jika
kena giliran melawan tim yang kuat, aku menjadi pemain cadangan dahulu. Dan
ikut main jika ada anggota tim kami yang cidera. Hery sebagai striker, Edy sebagai
libero dan Pramono sebagai playmaker dan gelandang serang. Kami berombongan
memakai sepeda jika ada jadwal bertanding melawat ke homebase lawan.
Ada satu kejadian yang masih aku
ingat sampai saat ini. Ketika itu kami tanding sepak bola di daerah pinggiran
kota pemalang. Dalam satu duel perebutan bola,
salah seorang pemain lawan mengganjalku dengan keras. Aku jatuh
terpelanting dan meringis kesakitan. Teman satu tim-ku, Pramono, mendatangi
pemain lawan tadi dengan muka beringas dan mata merah. Mulutnya mengeluarkan
ancaman, dan jari tangannya menunjuk langsung ke muka pemain lawan tadi. Pemain
lawan melangkah mundur, mukanya memucat. Jujur, saat itu aku agak tersentuh
dengan perlakuan pramono tadi. Entah kenapa, aku merasa terharu ada teman yang
begitu setia membelaku. Pramono saat ini masih tinggal di Pemalang, bersama Edy
juga. Kusnari sudah wafat. Hery sudah menjadi perwira menengah TNI AD,
meneruskan jejak ayahnya. Aku dengar kabar, dia menjadi komandan salah
satu satuan militer di luar Jawa. Terakhir aku bertemu Hery pada tahun 2010. Kami sempat bersilaturahmi dengan dua teman SMP lainnya di sebuah pusat perbelanjaan Jakarta.
Saat kost di jalan Banowati
inilah bapak membelikanku sepeda untuk menunjang kegiatan harianku. Aku memilih
sepeda balap, bukan sepeda BMX yang saat itu sedang menjadi tren. Ibu juga
membelikanku sebuah tape mini compo. Aku lupa merk-nya. Loudspeakernya ada di
sebelah kiri dan kanan, serta bisa dilepas dari badan tape recordernya. Aku
memulai kebiasaan membeli kaset tape ini saat kelas 1 SMP. Saat masih tinggal di Jalan Serayu. Aku juga masih ingat
kaset tape yang pertama aku beli. Saat itu sedang populer lagu barat yang
berjudul "Suzanna". Lalu banyak lagu-lagu yang menjadi penirunya.
Salah satunya ada penyanyi indonesia yang memelesetkan lagu ini menjadi
"Si Sanah'. Aku beli kaset ini. Aku bawa pulang ke rumah kontrakan di
jalan serayu. Belum sempat aku mainkan, kaset ini dipinjam teman kakakku. Dan
tak pernah kembali lagi ke tanganku... (*_*)
Kaset kedua yang aku beli adalah
kaset soundtrack dari film "Flashdance". Aku nonton film ini di
gedung bioskop. Dan aku suka dengan lagunya. Lalu berlanjutlah kebiasaanku
membeli kaset-kaset tape ini. Duran-duran diantaranya. Dengan segala macam upaya, setelan gaya rambutku dibuat semirip mungkin ala Simon Le Bon, Roger Taylor dst. Dan kecenderunganku pun mulai mengarah ke salah
satu genre musik. Aku mulai menggemari musik Heavy Metal. Aku membeli
kaset-kaset Iron Maiden, Judastpriest,
Quiet Riot, AC/DC, Manowar. Dan dari aliran hardrock lainnya. Queen, Twisted
Sister, Deep Purple, Black Sabbath. Kaset-kaset itu aku kumpulkan, aku tata
rapih dengan menyusunnya di meja belajarku.
Aku pasang juga beberapa poster
group rock di dinding kamarku. Seingatku poster group rock "Ratt" dan Bruce Springsteen. Setiap ketemu majalah musik, dan ada halaman
yang berisi artikel tentang group rock,
diam-diam halaman itu aku sobek lalu kusimpan di kamarku. Di kamar kost
lembaran-lembaran artikel musik tadi aku bendel tersendiri menjadi semacam buku
kliping.
Harga satu buah kaset tape saat
itu berkisar antara Rp. 1,500 rupiah sampai Rp. 2,250 per buahnya. Toko penjual
kaset ini menyediakan walkman yang dipasang di depan rak-rak tempat kaset. Jadi
kita masuk, memilih beberapa kaset lalu mencobanya dengan walkman tadi. Kaset
yang sudah kita pilih dan kita bayar masih punya kesempatan 24 jam jika ingin
menukarnya. Aku sering memanfaatkan layanan ini. Aku tidak langsung membeli
kaset yang aku incar. Aku bayar dulu kaset lain yang cukup menarik minatku. Aku
bayar lalu kubawa pulang. Di kamar kost aku coba dulu kaset itu sampai puas.
Besoknya aku bawa lagi ke toko kaset dan menukarnya dengan kaset yang memang
sudah aku incar.
Kaset saat itu adalah kaset
bajakan. Bukan kaset orisinal, sehingga harganya bisa murah. Saat artis
international yang menggalang kegiatan "we are the world", Bob Geldof
menyerang Indonesia sebagai sarang album musik bajakan, kaset bajakan ini
secara perlahan menghilang dari pasaran. Digantikan kaset original yang
harganya menjadi lebih mahal. Aku lupa nama dua toko kaset langgananku saat
itu. Tempatnya ada di depan dan sebelah kanan gedung bioskop "Sultan
Theatre".
Aku berpisah dengan Monas (Nasir)
saat di SMP ini. Monas lebih memilih melanjutkan pendidikan menengahnya ke SMP
1 Pemalang. Tapi kami masih sering bertemu dan berkumpul bareng. Biasanya, hari
sabtu sore dia mengantarku dengan sepeda ke terminal, lalu sepedaku dia pinjam
ke rumahnya. Senin pagi sepeda itu sudah ada di rumah kost-ku untuk aku pakai
ke sekolah.
Aku tinggal di rumah kost
banowati bersama kedua kakakku. Saat awal, aku sekamar dengan kakak keduaku.
Saat dia diterima kuliah di Fakultas Hukum Unsoed, aku lalu sekamar dengan
Wihanadi, anak Camat Pulosari. Anaknya polos dan lugu. Kemudian aku pindah ke
kamar sebelah, bersama Panji. Anak SMA adik kelas kakakku.
Orang tuaku masih tinggal di
daerah Pemalang saat aku kelas 2 ini. Kehidupanku masih terpantau dan
terkontrol. Seminggu sekali aku pasti pulang ke tempat orang tuaku.
Pergaulankupun masih dominan bersama kelompok sepak bola yang bermarkas di
rumah kakek Hery.
Saat kelas 3, bapak mutasi lagi
ke daerah Majenang, Cilacap. Menjadi Sinder Kepala di Kebun Kawung. Aku tidak
bisa rutin lagi seminggu sekali pulang bertemu orang tua. Hery juga keluar dari
SMP 2 Pemalang, pindah ke Jakarta. Perkumpulan sepak bola kami bubar dengan
sendirinya.
Aku agak meyakini, inilah
saat-saat awal ketergelinciran perilaku remajaku. Saat aku jauh dari pengawasan
orang tua, dan begitu terpengaruh dengan suasana pergaulan tanpa filter dan
penyaring....
(Bersambung)
Saat itu aku masuk ke sekolah ini melalui jalur test. Belum berlaku sistem NEM (Nilai Ebtanas Murni).
ReplyDeletehttps://www.bolavita.ltd/laga-bonus-big-match-bolavita-mei-2019/