Darurat Militer Nanggroe Aceh Darussalam
Tinggal di Aceh kurun waktu tahun
1998 hingga 2005. Artinya aku ada di sana saat bumi Aceh sedang membara karena
konflik bersenjata, dan hancur lebur ketika diterjang gelombang tsunami.
Mulai aktif di Aceh pada bulan Februari, atau awal tahun 1998, aku ditempatkan di Kebun Ujong Lamie, daerah Aceh Barat. Sebuah areal pembukaan baru perkebunan kelapa sawit. Berada di sisi bawah pegunungan Beutong. Selama sekitar 8 tahun, atau tepatnya 7 tahun 8 bulan periode aku bekerja di PT Perkebunan Nusantara I, aku bertugas di kebun itu. Belum setahun aku menetap di Aceh, negeri indah ini bergejolak. Rezim pemerintahan Orde Baru berakhir, digantikan rezim pemerintahan Orde Reformasi. Situasi di Acehpun turut bergolak. Situasi yang cenderung aman dan stabil saat aku datang lantas berubah menjadi rawan dan menakutkan.
Kalau tidak salah ingat, selama 8 tahun itu tercatat sekitar 14-an Batalyon TNI yang bertugas pengamanan di sekitar tempatku. Diawali oleh Yonif 320/Badak Putih dari Kodam Siliwangi, dan terakhir dari Kostrad Yonif 509 Jember. Kucoba ceritakan saja beberapa batalyon tersebut, sepanjang yang mampu aku ingat. Tentang orang - orangnya, serta kejadian - kejadian menarik saat bersama mereka.
Mulai aktif di Aceh pada bulan Februari, atau awal tahun 1998, aku ditempatkan di Kebun Ujong Lamie, daerah Aceh Barat. Sebuah areal pembukaan baru perkebunan kelapa sawit. Berada di sisi bawah pegunungan Beutong. Selama sekitar 8 tahun, atau tepatnya 7 tahun 8 bulan periode aku bekerja di PT Perkebunan Nusantara I, aku bertugas di kebun itu. Belum setahun aku menetap di Aceh, negeri indah ini bergejolak. Rezim pemerintahan Orde Baru berakhir, digantikan rezim pemerintahan Orde Reformasi. Situasi di Acehpun turut bergolak. Situasi yang cenderung aman dan stabil saat aku datang lantas berubah menjadi rawan dan menakutkan.
Kalau tidak salah ingat, selama 8 tahun itu tercatat sekitar 14-an Batalyon TNI yang bertugas pengamanan di sekitar tempatku. Diawali oleh Yonif 320/Badak Putih dari Kodam Siliwangi, dan terakhir dari Kostrad Yonif 509 Jember. Kucoba ceritakan saja beberapa batalyon tersebut, sepanjang yang mampu aku ingat. Tentang orang - orangnya, serta kejadian - kejadian menarik saat bersama mereka.
![]() |
Menjalani Latihan Dasar Kepemimpinan PTPN 1 Dibimbing oleh Personel Group 3 Kopassus |
1. Yonif 320/Badak Putih
Ini batalyon pertama yang
mengawali bertahun kebersamaanku dengan tentara. Mereka datang saat situasi
sedang gawat-gawatnya. Markas koramil di kecamatan sudah dikosongkan. Ada
polisi di kantor polsek, tapi mereka sudah tak pernah memanggul senjata lagi
saat keluar markasnya. Beberapa diantara mereka juga terlihat rajin memakai
kopiah. Saat itu kondisi di komplek perkebunan lumayan tenang-tenang
mendebarkan. Beberapa kawan, termasuk yang warga non aceh, wajib ikut ritual
"baiat". Sebuah upacara sederhana, yang intinya menyatakan pengakuan
atas kepemimpinan Hasan Tiro, pemimpin besar GAM yang tinggal di Swedia sana.
Aku bisa lolos dari acara itu, karena saat komplekku terkena
giliran untuk ikut baiat aku sedang mudik pulang kampung ke Jawa. Menengok kelahiran anak pertamaku.
Aku tidak langsung mendatangi pos
mereka saat pertama kali datang. Kami harus waspada dulu, berhitung segala
kemungkinan. Jangan sampai gegabah dalam menyikapi setiap perkembangan. Tapi
keterlambatan kami merapat ke Pos TNI itu sepertinya menimbulkan reaksi yang
kurang nyaman dari mereka. Hingga sampai pada satu waktu aku memutuskan harus
segera berkomunikasi dengan mereka.
Siang itu aku sengaja mengendarai
motor lewat depan Pos. Tepat di depan pos, dengan ekor mataku aku lihat
komandannya semacam memberi aba-aba pada seorang anggotanya yang lagi berdiri
di depan rumah di samping pos. Aku melambat dan sengaja berhenti di samping
halaman rumah itu lalu turun dari motor. Salah seorang Tentara itu datang
menghampiri lalu menyapaku, meski dengan raut muka yang jauh dari kesan ramah.
Aku balas sapaannya, lalu aku buka percakapan dengannya. Percakapan perlahan
mulai mengalir lebih nyaman. Kami saling mengenalkan diri, menyebut nama hingga
asal daerah asli kami. Ternyata dia berasal dari kota Kudus, meski Batalyon 320
bermarkas di Pandeglang Banten. Artinya memang tetangga dekat kota
asalku, Semarang. Obrolan akhirnya bisa lebih cair. Dan sejak itu aku bisa
lebih masuk lagi ke dalam lingkungan mereka.
Komandan Peletonnya (Danton)
Lettu Ricky Nova, orang minang dengan wakilnya Bintara Peleton (Baton) Sertu
Moammar Cahyadi, yang ketemu aku di awal tadi. Anggota satu peleton di situ
sekitar 30-an orang. Menempati sebuah rumah kosong yang dirombak menjadi markasnya.
Di sekeliling bangunan dipasang Box terbuat dari dinding papan yang tengahnya
diberi pasir.
Aku masih ingat beberapa anggota
peleton itu. Lettu Ricky Nova, Sertu Moammar, Serda Sugianto (saat ini sudah
jadi perwira di Kodam Iskandar Muda Aceh). Yang tamtama ada Sudirman, Kosasih,
Thomas, Juned, Ogin dan lainnya. Ada juga tentara dari lain kesatuan yang
di-BKO kan ke Yonif 320. Kalo tidak salah ada 4 prajurit dari Yonzipur 4
Ambarawa (Batalyon Zeni Tempur).
Pergaulan semakin lama semakin
hangat. Aku sering nongkrong di markasnya. Mereka juga sering main ke rumahku.
Anak sulungku, Dani Alfaris, yang saat itu berusia 2 - 3 tahun sangat dekat
dengan mereka. Aku biarkan saja mereka akrab dengan anak lelakiku. Mungkin
mereka rindu pada anaknya yang terpaksa ditinggal demi mengemban tugas
negara. Kadang aku miris melihat anak lelakiku ini. Sementara di jawa
saudara-saudaranya bermain mobil-mobilan atau sejenisnya, dia sudah terbiasa
memegang-megang senapan laras panjang SS-1, M-16 atau Minimi. Bahkan
terkadang tentara-tentara itu mengajak anakku bermain-main dengan granat pelontar yang tersimpan di dalam tabungnya (TP).
![]() |
Masa kanak Dani anak sulungku di tengah suasana Darurat Militer |
Ada satu peristiwa pada peleton ini
saat acara pertandingan volley di samping pos. Sebuah mobil masuk, yang tanpa melapor
di penjaga palang langsung menuju kantor kebunku. Aku lihat ada sedikit
ketegangan pada prajurit yang ada di pos. Tak lama berselang beberapa personel
memakai sepeda motor menyusul ke arah mobil tadi. Sekitar setengah jam kemudian
mobil itu turun dari arah kantor menuju pos. Kemudi sudah dipegang oleh
tentara. Langsung berhenti di depan pos, suasana kelihatan tegang. Beberapa
orang yang tidak aku kenal disuruh turun dengan suara keras. Didorong masuk ke
pos dan terlihat beberapa pukulan dan tendangan ke arah mereka. Mobil langsung
digeledah, termasuk ke bagian di bawah jok ikut diperiksa. Mereka curiga mobil itu mengangkut bahan peledak. Masyarakat yang
sedang ada di sekitar pos langsung bubar menghindar menjauhi pos. Aku duduk di
depan rumah di samping pos. Bersama beberapa personel tentara lain mengawasi
kejadian itu. Singkat cerita, ternyata terjadi salah tangkap. Mereka bukan
anggota GAM, tetapi pengusaha rekanan perkebunan yang mau bertemu kepala
administrasi. Kesalahan mereka tidak melapor dahulu ke pos tentara. Dan
akibatnya sungguh fatal..
Beberapa hari kemudian aku dengar
kabar kalo Pak Ricky dan beberapa personel tentara yang turut menganiaya tempo
hari itu dipanggil ke Markas Komando Batalyon mereka di Meulaboh. Saat pulang
mereka cerita mendapat hukuman yang lumayan ngeri juga mendengarnya. Hehehe,
ternyata berat juga menjalani kehidupan sebagai tentara..
Ada juga kejadian saat istri dan
anakku terjebak kontak senjata. Setiap hari selasa ada pasar dadakan yang
berlangsung di desa lamie, sekitar 8 km dari perumahanku menuju kecamatan. Pagi
itu saat ngobrol di rumah, istriku bilang tidak ada rencana mau belanja ke
pasar lamie. Sekitar jam 10, saat di Kantor Induk aku mendengar berita ada
kontak senjata di dekat pasar lamie. Konon konvoy pasukan Brimob yang lewat
dihadang GAM. Aku bersyukur istriku tidak
belanja ke pasar lamie. Saat pulang ke rumah, aku jadi bingung ketika pintu
rumah terkunci. Salah seorang tetangga datang menyerahkan kunci rumah sambil bilang kalau istri dan anakku ikut pergi belanja ke pasar lamie bareng sama
ibu-ibu yang lain. Pikiranku jadi galau mendengar kabar itu. Aku segera keluar
kebun, menuju arah pasar lamie untuk memantau perkembangan. Di pos 320 aku
berhenti, mencari informasi di situ. Mereka juga memantau kejadian tadi. Pagi
itu satu regu pasukan, dipimpin Baton (Bintara Peleton) Moammar memang berniat
akan menuju pasar lamie. Tetapi sekitar 400 meter dari pasar lamie mereka
berbalik pulang, membatalkan rencana ke pasar lamie. Saat mereka berbalik
inilah bertemu beberapa truck yang membawa pasukan Brimob dari arah Meulaboh. Dan tak
lama berselang terdengar bunyi rentetan senjata di tempat mereka berbalik arah
tadi. Kontak senjata pagi itu cukup sengit. Dua orang personel Brimob (dari
Polda Jawa Tengah) gugur terkena terjangan GLM (senjata pelontar granat). Suasana pasar lamie tempat
istriku belanja mendadak kacau balau. Semua orang berlarian berebut mencari
tempat perlindungan. Istri dan anak sulungku masuk ke sebuah kedai, entah punya
siapa. Berlindung di situ beberapa saat sampai suara rentetan tembakan
berhenti. Mereka bisa pulang ke kebun kembali setelah lewat kendaraan
pengangkut anak sekolah. Konon personil Brimob di rombongan itu hampir saja
mengamuk kepada masyarakat setelah melihat kedua rekannya gugur. Tapi
masih bisa ditenangkan oleh anggota TNI yang ada pada saat itu.
Personel 320 juga sempat membantu kami saat terjadi konflik sengketa lahan dengan salah seorang warga Masyarakat. Suatu saat, pihak yang bersengketa sepakat untuk bersama meninjau ke lokasi. Dari pihak perusahaan ada aku dan beberapa petugas perkebunan, warga yang bersengketa tadi, pak Keuchik dan perangkat desa serta beberapa personel Pos Militer yang berniat menengahi perselisihan tadi. Perundingan dan musyawarah di lokasi berlangsung memanas. Warga tadi, yang sebenarnya bukan warga asli desa setempat, tetap ngotot dengan pendiriannya. Omongan kami dari Perusahaan maupun dari pihak pemerintahan desa sedikitpun tidak dia gubris dan dengarkan. Bahkan ketika Pak Moammar dari Pos Militer mencoba membantu memberikan penjelasanpun tetap tidak dia dengarkan. Akhirnya salah seorang personel tadi kehilangan kesabaran dan merentetkan tembakan ke udara. Seketika warga yang menuntut tadi wajahnya pucat pasi dan terdiam seribu bahasa. Rombongan bubar dengan seketika. Tak membuahkan kesepakatan apapun.
Personel 320 juga sempat membantu kami saat terjadi konflik sengketa lahan dengan salah seorang warga Masyarakat. Suatu saat, pihak yang bersengketa sepakat untuk bersama meninjau ke lokasi. Dari pihak perusahaan ada aku dan beberapa petugas perkebunan, warga yang bersengketa tadi, pak Keuchik dan perangkat desa serta beberapa personel Pos Militer yang berniat menengahi perselisihan tadi. Perundingan dan musyawarah di lokasi berlangsung memanas. Warga tadi, yang sebenarnya bukan warga asli desa setempat, tetap ngotot dengan pendiriannya. Omongan kami dari Perusahaan maupun dari pihak pemerintahan desa sedikitpun tidak dia gubris dan dengarkan. Bahkan ketika Pak Moammar dari Pos Militer mencoba membantu memberikan penjelasanpun tetap tidak dia dengarkan. Akhirnya salah seorang personel tadi kehilangan kesabaran dan merentetkan tembakan ke udara. Seketika warga yang menuntut tadi wajahnya pucat pasi dan terdiam seribu bahasa. Rombongan bubar dengan seketika. Tak membuahkan kesepakatan apapun.
Total lamanya Yonif 320 di desaku
ada sekitar 16 bulan. Terasa sedih ketika melepas mereka pergi. Banyak warga
masyarakat desa yang menangis saat mereka berpamitan.
Hingga tahun 2005 kemudian saat
sudah mutasi ke Banten aku bisa bertemu mereka kembali. Markas Yonif 320 ada di Pandeglang. Dan kebun pertamaku di PTPN 8, kebun Bojong Datar, juga ada di
wilayah Pandeglang. Ada dua orang diantara mereka yang sampai saat ini masih
berhubungan lumayan sering denganku. Pak Moammar dan Sudirman. Bahkan ketika
aku dirawat di RS Rangkasbitung tahun 2012 lalu, Pak Moammar ini turut menginap
di rumah sakit menungguiku. Aku ingat raut muka pak Moammar saat tahun 2005 dahulu aku ketuk
pintu rumahnya di markas 320 Cadasari. Teperanjat kaku. Kayak mimpi katanya,
kami bisa bertemu lagi..
Ada kejadian berkesan dengan
mereka saat aku berdinas di Pandeglang tahun 2005. Pada sekitar bulan kedua aku
tinggal di kebun, suatu malam sepeda motorku diambil pencuri. Saat itu hari Sabtu malam Minggu. Besoknya mereka
berdua datang, dan bertekad bahwa motorku harus kembali. Suatu hal yang hampir
mustahil. Di daerah situ hampir tidak pernah terjadi, motor yang hilang bisa
kembali lagi. Sekitar hari selasa malam mereka datang dengan membawa seorang
pemuda. Diinterogasi di teras rumahku. Aku matikan lampu teras, agar kejadian
berikutnya tidak terlihat orang lain. Hari kamis sore, lurah setempat datang ke
rumahku sambil menyerahkan motorku kembali. Katanya dikembalikan oleh orang
yang membeli dari pencurinya. Pak lurah bilang orangnya minta pengertian karena
sudah keluar biaya buat perbaikan motor tadi. Rem yang sebelumnya model tromol sudah diganti model cakram dan
shockbreaker belakang pun sudah diganti dengan yang baru. Saat aku sampaikan ke Pak
Moammar, dia cuman jawab orang yang minta ganti itu agar ambil uangnya ke
Cadasari, markas Yonif 320. Ahhh, mana berani dia datang ke sana.. Hehehe..
Kejadian yang sangat langka
terjadi itu cukup menguntungkan. Paling tidak warga di sekitar tempat aku
tinggal menjadi lebih menghargai aku...
2. Yonif 744/SYB Atambua
Komandan kompi dari satuan ini,
Kapten Sriyono, orang boyolali asli yang ditempatkan di Yonif 744/Satya Yuda
Bakti NTT. Awalnya markas batalyon ini ada di Timor Timur. Ketika Timtim
merdeka, Mako Yonif 744 dipindahkan ke Atambua NTT.
Ada beberapa kejadian berkesan,
juga menegangkan, dengan Yonif 744 ini.
Saat itu hari raya lebaran,
seperti biasanya hanya aku staff kebun yang tidak pulang kampung. Habis Shalat
Ied di Masjid kebun, aku dan Danki Sriyono menuju Alue bilie hendak
ke wartel untuk interlokal ke Jawa. Danki (Komandan Kompi) bersama aku pakai Taft GT, aku yang
menyetir karena supirnya cuti lebaran. Anak buah lainnya naik mobil Dumptruck.
Baru saja kami sampai di depan wartel, tiba-tiba seorang tentara lari
tergopoh-gopoh menghampiri Danki. Tak lama Danki menghampiriku dan meminta agar
disiapkan seorang pengemudi, karena dia mendapat laporan pemunculan kelompok
bersenjata dan berniat mengejarnya. Aku bingung, tak tahu siapa lagi yang bisa
aku suruh membawa kendaraan mengantar rombongan tentara ini. Akhirnya aku
putuskan ke Danki kalo aku sendiri yang akan menyetir mobilnya, aku cuma minta
pinjam sebu (topeng/kedok) untuk menutupi wajahku. Lalu kami berangkat, Taft GT
dan Dumptruck, menuju ke arah desa Gagak. Sekitar satu kilometer dari tempat
yang hendak dituju Danki memintaku berhenti. Dia dan pasukannya meneruskan
dengan berjalan kaki. Mobil Taft GT yang aku setir dan Dumptruck menunggu di
suatu tempat di pinggir jalan.
Aku ingat betul perasaanku saat
itu. Duduk termenung di depan kemudi, di pinggir jalan yang teramat sunyi
menunggu tentara yang hendak menyergap kelompok bersenjata. Terbayang dalam
fikiranku, saat itu hari raya, saudara dan teman-temanku di jawa sedang
merayakannya dengan kegembiraan. Bertemu segenap handai taulan dan sanak saudara. Sedangkan aku duduk termenung disini. Di
pinggir jalan yang sepi, hanya bersama seorang teman, supir dumptruck.
Sementara segala kemungkinan bisa saja muncul dari balik rerimbunan lebat yang
ada di kanan kiri jalan.
Allahu Akbar....
Peristiwa lain terjadi beberapa
bulan setelah itu. Waktu itu ada dua karyawan yang disandera GAM. Tetapi
karyawan ini bukan staff atau karyawan pimpinan. Itu karyawan pelaksana yang seorang
diantaranya warga asli setempat. Saat menemani Danki ke komplek perumahan yang
terdekat dengan hutan, Danki memintaku agar mencarikan seseorang untuk menjadi
pemandu jalan. Danki berencana menyelusuri jejak mereka masuk ke hutan. Aku
coba mencari beberapa orang untuk memandu jalan pasukan itu. Tapi tak
seorangpun yang mau. Mereka takut nanti di tengah hutan justru mereka yang akan
ditembak mati. Aku coba lagi bujuk mereka. Salah seorang dari mereka, Syamsul
Bahri, akhirnya bersedia mengantar masuk hutan. Tapi dengan syarat yang lumayan ngaco, yaitu aku juga harus ikut bergabung masuk hutan. Bagiku saat itu tak ada pilihan
lain. Akhirnya akupun ikut bergabung dengan tentara untuk masuk hutan,
menyusuri jejak yang semakin samar terlihat.
Kami mulai masuk hutan, berjalan
beriringan. Satu regu pasukan sekitar 15 personel bersenjata lengkap, dilengkapi senjata SS-1 serta Senapan mesin "Minimi". Hanya aku dan Syamsul yang tidak menenteng senjata api. Hanya parang di tangan. Entah untuk apa, paling tidak kami merasa sedikit nyaman dengan adanya senjata di tangan. Bertemu beberapa gubug, mereka membakarnya. Beberapa kali kami
harus menyeberangi sungai. Sungai itu cukup lebar, dengan kedalaman sekitar
tinggi dada manusia. Ada sekitar tiga kali kami harus menyeberangi sungai itu,
menyeberang ke kiri lalu beberapa saat kemudian menyeberangi sungai kembali ke
kanan. Mereka menyusuri jalur dengan senyap. Tanpa banyak percakapan yang
terlontar. Aku bisa merasakan ketegangan yang sangat waktu itu. Berjalan
menyusuri hutan perawan, dengan serombongan tentara bersenjata. Sementara
kelompok bersenjata lain bisa saja muncul sewaktu-waktu tanpa bisa kami sangka
arah datangnya.
Pada suatu tempat di pinggir
sungai, tiba-tiba Danki berhenti. Dia bilang perasaannya kurang enak melihat
rerimbunan di depan kami. Dia memintaku berhenti, agar aku menunggu di situ,
sementara dia dan pasukannya akan memeriksa tempat itu.
Sekitar setengah jam, aku dan Syamsul Bahri, duduk berdua di atas batu di tepi sungai. Mencoba mengobrol
untuk menghilangkan ketegangan. Areal yang kami masuki adalah hutan yang masih
perawan. Sama sekali berbeda dengan situasi hutan-hutan yang ada di Pulau Jawa.
Di sini hutan rimba. Masih asli dengan pohon-pohonnya yang tinggi dan besar.
Tak ada tanda-tanda campur tangan manusia. Senyap menakutkan. Tanpa ada satupun
suara yang menandakan ada campur tangan manusia. Lengang... Kalau di pulau
jawa, terutama di kota atau pedesaan, sesepi apapun masih ada suara-suara lirih
tanda adanya kehidupan. Entah suara kendaraan dari jauh, suara televisi, atau
apapun. Di sini benar-benar senyap. Hanya suara desau angin, dan terkadang
suara burung atau binatang lainnya. Perasaanku mirip dengan saat aku di dalam
mobil di pinggir jalan menunggu pasukan yang hendak menyergap kelompok
bersenjata tempo hari itu. Melihat rerimbunan yang ada di sekitar kami, dan
berfikir bahwa bisa saja mendadak muncul pasukan GAM yang pasti juga bersenjata.
Jika itu terjadi, maka tamatlah riwayatku...
Terlihat ada kepulan asap sekitar
beberapa ratus meter di depan. Tak lama kemudian Danki Sriyono dan pasukannya
kembali. Mereka cerita menemukan gubug yang ada bekas-bekas manusia yang masih
agak baru. Gubug itu mereka bakar.
Danki Sriyono ini orangnya sangat
baik. Saat itu pangkatnya Kapten. Terakhir sekitar tahun 2009 lalu aku dengar
kabar dia bertugas di Kodam 4 Diponegoro. Tahun 2014 ini pangkatnya mungkin
sudah Letkol atau Kolonel.
Aku cukup terkesan dengan
karakter Batalyon 744 ini. Sebagian dari mereka adalah orang asli Nusa
Tenggara, ada juga yang asli orang Timor. Pembawaan mereka disiplin. Sangat
disiplin. Jarang mereka memakai pakaian sipil biasa, walaupun tidak sedang
piket atau bertugas. Selalu memakai PDL (Pakaian Dinas Lapangan) atau pakaian
loreng.
Saat mereka bertugas, di dalam lingkungan
kebun sudah terdapat empat pos. Masing-masing pos berada di jalur masuk menuju
kebun. Baik jalur dari desa luar, dari sungai besar, maupun dari jalur hutan.
Jalur-jalur masuk itu mereka tutup dengan menempatkan pos.
Mereka bertugas di kebunku sekitar
tahun 2003-2004. Aku dengar kabar mereka sedang apel upacara di Darmaga
pelabuhan Banda Aceh saat tsunami desember 2004 menerjang daratan. Pasukannya
selamat. Tapi konon barang-barang mereka tersapu gelombang.
Wallahu 'alam..
3. PasMar 2 Surabaya
Satuan ini bertugas di tempatku
menggantikan pasukan Linud 700. Beberapa anggota diantaranya sekitar setahun
sebelumnya sudah pernah bertugas pengamanan di tempat kami. Tapi waktu itu
masih tergabung dalam YonGab (Batalyon Gabungan) yang terdiri dari Marinir,
Zeni Tempur dan Paskhas AURI. Komandan peletonnya orang Bali, Lettu Gede.
Usianya lebih muda dariku.
Ada perbedaan karakter yang
terasa, antara pasukan angkatan laut dan angkatan darat. Marinir pendekatan ke
masyarakat sangat bagus. Seakan tak ada jarak antara tentara dan rakyat sipil.
Tapi bicara masalah "kekerasan" atau situasi ketegasan yang ada,
mereka tak kalah dengan angkatan yang lain. Mereka bisa saja siang atau sore
hari duduk mengobrol santai atau bercengkerama dengan seseorang, lalu malam
harinya "mengeksekusi" mereka, jika memang sudah terbukti terlibat
dalam gerakan pemberontakan. Persenjataan Marinir terkesan lebih siap. Kalau angkatan darat kelengkapan amunisi sangat
dijaga dan tercatat, sehingga seorang prajurit tidak leluasa untuk menembakkan
senjata kalau tidak ada situasi yang memaksa. Di Marinir, ketersediaan amunisi
lumayan berlimpah. Mereka bahkan sempat mengadakan latihan menembak bagi satu
kompi pasukan yang ada di wilayah kecamatanku, Darul Makmur. Untung juga, aku
jadi punya kesempatan mencoba menembakkan berbagai jenis senjata api saat
bersama Marinir ini. Dari Pistol, SS-1, M-16 sampai Minimi dan RPG.
Anggota pasukan ini sering main
ke rumah. Bahkan pernah satu waktu, mungkin di pos-nya sedang terjadi
miskomunikasi dengan komandannya, mereka berbondong-bondong nongkrong di
rumahku. Hampir semua satu pos. Akhirnya Danton Gede datang, berhenti di luar
pagar, diam-diam memanggilku dan minta tolong supaya membujuk anggota-anggota
pos itu kembali ke markasnya. Hehehe...
Alhamdulillah dengan Dantonnya
aku bisa erat bergaul. Kami pernah suatu malam main olah raga bulu tangkis
single tanding berdua. Nonstop 7 set. Waktu itu usiaku masih muda, staminaku
masih cukup kuat untuk kegiatan olah raga semacam itu.
4. Yonif Linud 700
Pasukan ini juga lumayan lama
bertugas pengamanan di desaku, setahun lebih. Meskipun berasal dari Kodam VII
Makasar, Danpos yang bertugas saat itu orang jawa dari solo, Serka Suparno.
Seperti tentara dari luar jawa bagian timur lainnya, pasukan ini juga disiplin
dalam mengenakan seragam satuannya. Jarang aku jumpai mereka mengenakan pakaian
sipil. Dalam memakai alat pelindung juga disiplin. Ketika patroli ke daerah pedalaman, mereka
selalu mengenakan topi baja tempur dan rompi pelindung anti peluru. Seperti
orang aceh, nama-nama prajurit Linud 700 yang berasal dari suku bugis dan
makasar kebanyakan berakhir dengan suku kata "din". Ada Kaharudin,
Taharudin, Jafarudin, Kamarudin, Baharudin dan lainnya.
![]() |
Dani Kecil diantara Prajurit Linud 700 Makasar |
Selama sekitar setahun lebih
mereka bertugas di daerahku, tercatat dua kali peristiwa darurat yang terjadi.
Yang pertama adalah kejadian penyanderaan Pak Adzim Rangkuti, Kepala afdeling 4 lalu penyanderaan Pak Ngatino Kepala Tata Usaha. Kejadian penyanderaan itu Insya Allah akan
aku tulis dalam cerita tersendiri. Yang jelas aku berhutang budi pada pasukan
ini, yaitu ketika terjadi suasana ketegangan pasca insiden penyanderaan Pak
Adzim. Saat kami begitu "tertekan" oleh pasukan SGI (Kopassus),
pasukan dari Linud 700 ini begitu teguh membentengi kami. Sampai saat ini aku
masih ingat detik-detik ketegangan yang terjadi pada saat itu. Terlepas dari
pro-kontra atas kebijakan Pak Parno ketika menjabat sebagai Danpos, aku tak
akan pernah melupakan jasanya padaku.
Semoga kelak aku dianugerahi
kemudahan dan kesempatan untuk bersilaturahmi lagi dengan anggota Yonif Linud
700 ini (sekarang namanya berubah menjadi Batalyon Raider 700), terutama dengan
Pak Suparno.
Dadaku seperti tercekat, ada rasa
haru yang menyelinap, ketika saat berpamitan mereka minta maaf padaku. Mereka
minta maaf karena saat bertugas di tempatku terjadi dua kali insiden penculikan
dan penyanderaan karyawan pimpinan kebun. Yahh, setiap orang pasti punya banyak
sisi dalam kehidupannya. Sebagian berupa sisi terang yang cenderung
ditampilkan. Sebagian lagi berupa sisi gelap yang tanpa sadar selalu diusahakan
tersembunyi...
Linud 700, semoga kelak kita bisa
bertemu kembali....
Empat batalyon yang aku ceritakan
diatas hanyalah sebagian dari belasan batalyon yang pernah bertugas di
daerahku. Batalyon lain yang aku ingat adalah dari Yonif 521 Kediri, Yonif 623
Kalsel, Yonif 509 Jember, Yonif 144 Bengkulu, Yonif 407 Pekalongan, Yonif 507
Surabaya, Batalyon Gabungan (Zipur, Paskhas AURI, Marinir) dan beberapa lagi
yang mungkin aku lupa. Setiap kali terjadi pergantian batalyon, namaku selalu
masuk dalam serah terima antar pasukan sebagai "panah" atau orang
sipil yang dianggap bisa membantu operasional militer. Seberapa kuat aku
berusaha agar bisa "lepas" dari status itu tapi tetap tak pernah
berhasil. Setiap kali masuk batalyon baru namaku senantiasa dicari. Akhirnya
aku terima saja kondisi ini. Insya Allah sambil berharap semoga membawa
kebaikan bagi kami semua...
Kalau aku tidak salah ingat,
selama masa konflik itu puluhan orang karyawan PTPN 1 yang gugur.
Sebagian meninggal karena dibunuh GAM, sebagian lagi meninggal
karena ditembak TNI/Polri. Peristiwa yang cukup besar terjadi di Kebun Krueng
Luas Aceh Selatan, dan Kebun Tualang Sawit di Aceh Timur. Peristiwa Krueng Luas
konon terjadi saat pasukan GAM yang dikejar pasukan TNI/Brimob masuk ke
komplek perumahan karyawan kebun Krueng Luas. Untuk menghambat gerak pasukan
TNI/Brimob, kelompok GAM ini menewaskan karyawan PTPN 1 yang ada di komplek perumahan
tadi. Mereka menembak karyawan lalu membakar perumahannya. Saat dievakuasi,
ditemukan beberapa jenazah yang ikut terbakar di puing reruntuhan rumah.
Peristiwa Kebun Tualang Sawit terjadi saat karyawan kebun sedang melakukan
pekerjaan memuat buah sawit. Karyawan kebun itu menjadi korban penembakan dan
meninggal di tempat.
Kehidupan tentara itu begitu
berat. Sungguh berat. Penuh resiko. Setiap detik nyawa mereka menjadi pertaruhannya.
Semoga mereka melakukan itu semua dengan diniati sebagai ikhtiar untuk mengisi waktu
hidupnya dengan memburu Ridha Illaahi, sehingga Insya Allah kelak mereka
mendapat karunia yang penuh kenikmatan dan barokah...
Maju terus PTPN 1...
Maju terus TNI....
Maju terus Indonesia...
Maju terus Indonesia...
0 Response to "Darurat Militer Nanggroe Aceh Darussalam"
Post a Comment