Darurat Militer Nanggroe Aceh Darussalam



Tinggal di Aceh kurun waktu tahun 1998 hingga 2005. Artinya aku ada di sana saat bumi Aceh sedang membara karena konflik bersenjata, dan hancur lebur ketika diterjang gelombang tsunami. 

Mulai aktif di Aceh pada bulan Februari, atau awal tahun 1998, aku ditempatkan di Kebun Ujong Lamie, daerah Aceh Barat. Sebuah areal pembukaan baru perkebunan kelapa sawit. Berada di sisi bawah pegunungan Beutong. Selama sekitar 8 tahun, atau tepatnya 7 tahun 8 bulan periode aku bekerja di PT Perkebunan Nusantara I, aku bertugas di kebun itu. Belum setahun aku menetap di Aceh, negeri indah ini bergejolak. Rezim pemerintahan Orde Baru berakhir, digantikan rezim pemerintahan Orde Reformasi. Situasi di Acehpun turut bergolak. Situasi yang cenderung aman dan stabil saat aku datang lantas berubah menjadi rawan dan menakutkan.


Kalau tidak salah ingat, selama 8 tahun itu tercatat sekitar 14-an Batalyon TNI yang bertugas pengamanan di sekitar tempatku. Diawali oleh Yonif 320/Badak Putih dari Kodam Siliwangi, dan terakhir dari Kostrad Yonif 509 Jember. Kucoba ceritakan saja beberapa batalyon tersebut, sepanjang yang mampu aku ingat. Tentang orang - orangnya, serta kejadian - kejadian menarik saat bersama mereka.

Menjalani Latihan Dasar Kepemimpinan PTPN 1
Dibimbing oleh Personel Group 3 Kopassus

1. Yonif 320/Badak Putih

Ini batalyon pertama yang mengawali bertahun kebersamaanku dengan tentara. Mereka datang saat situasi sedang gawat-gawatnya. Markas koramil di kecamatan sudah dikosongkan. Ada polisi di kantor polsek, tapi mereka sudah tak pernah memanggul senjata lagi saat keluar markasnya. Beberapa diantara mereka juga terlihat rajin memakai kopiah. Saat itu kondisi di komplek perkebunan lumayan tenang-tenang mendebarkan. Beberapa kawan, termasuk yang warga non aceh, wajib ikut ritual "baiat". Sebuah upacara sederhana, yang intinya menyatakan pengakuan atas kepemimpinan Hasan Tiro, pemimpin besar GAM yang tinggal di Swedia sana. Aku bisa lolos dari acara itu, karena saat komplekku terkena giliran untuk ikut baiat aku sedang mudik pulang kampung ke Jawa. Menengok kelahiran anak pertamaku. 

Aku tidak langsung mendatangi pos mereka saat pertama kali datang. Kami harus waspada dulu, berhitung segala kemungkinan. Jangan sampai gegabah dalam menyikapi setiap perkembangan. Tapi keterlambatan kami merapat ke Pos TNI itu sepertinya menimbulkan reaksi yang kurang nyaman dari mereka. Hingga sampai pada satu waktu aku memutuskan harus segera berkomunikasi dengan mereka.

Siang itu aku sengaja mengendarai motor lewat depan Pos. Tepat di depan pos, dengan ekor mataku aku lihat komandannya semacam memberi aba-aba pada seorang anggotanya yang lagi berdiri di depan rumah di samping pos. Aku melambat dan sengaja berhenti di samping halaman rumah itu lalu turun dari motor. Salah seorang Tentara itu datang menghampiri lalu menyapaku, meski dengan raut muka yang jauh dari kesan ramah. Aku balas sapaannya, lalu aku buka percakapan dengannya. Percakapan perlahan mulai mengalir lebih nyaman. Kami saling mengenalkan diri, menyebut nama hingga asal daerah asli kami. Ternyata dia berasal dari kota Kudus, meski Batalyon 320 bermarkas di Pandeglang Banten.  Artinya memang tetangga dekat kota asalku, Semarang. Obrolan akhirnya bisa lebih cair. Dan sejak itu aku bisa lebih masuk lagi ke dalam lingkungan mereka.

Komandan Peletonnya (Danton) Lettu Ricky Nova, orang minang dengan wakilnya Bintara Peleton (Baton) Sertu Moammar Cahyadi, yang ketemu aku di awal tadi. Anggota satu peleton di situ sekitar 30-an orang. Menempati sebuah rumah kosong yang dirombak menjadi markasnya. Di sekeliling bangunan dipasang Box terbuat dari dinding papan yang tengahnya diberi pasir. 

Aku masih ingat beberapa anggota peleton itu. Lettu Ricky Nova, Sertu Moammar, Serda Sugianto (saat ini sudah jadi perwira di Kodam Iskandar Muda Aceh). Yang tamtama ada Sudirman, Kosasih, Thomas, Juned, Ogin dan lainnya. Ada juga tentara dari lain kesatuan yang di-BKO kan ke Yonif 320. Kalo tidak salah ada 4 prajurit dari Yonzipur 4 Ambarawa (Batalyon Zeni Tempur).

Pergaulan semakin lama semakin hangat. Aku sering nongkrong di markasnya. Mereka juga sering main ke rumahku. Anak sulungku, Dani Alfaris, yang saat itu berusia 2 - 3 tahun sangat dekat dengan mereka. Aku biarkan saja mereka akrab dengan anak lelakiku. Mungkin mereka rindu pada  anaknya yang terpaksa ditinggal demi mengemban tugas negara. Kadang aku miris melihat anak lelakiku ini. Sementara di jawa saudara-saudaranya bermain mobil-mobilan atau sejenisnya, dia sudah terbiasa memegang-megang senapan laras panjang SS-1, M-16  atau Minimi. Bahkan terkadang tentara-tentara itu mengajak anakku bermain-main dengan granat pelontar yang tersimpan di dalam tabungnya (TP).

Masa kanak Dani anak sulungku di tengah suasana Darurat Militer
Ada satu peristiwa pada peleton ini saat acara pertandingan volley di samping pos. Sebuah mobil masuk, yang tanpa melapor di penjaga palang langsung menuju kantor kebunku. Aku lihat ada sedikit ketegangan pada prajurit yang ada di pos. Tak lama berselang beberapa personel memakai sepeda motor menyusul ke arah mobil tadi. Sekitar setengah jam kemudian mobil itu turun dari arah kantor menuju pos. Kemudi sudah dipegang oleh tentara. Langsung berhenti di depan pos, suasana kelihatan tegang. Beberapa orang yang tidak aku kenal disuruh turun dengan suara keras. Didorong masuk ke pos dan terlihat beberapa pukulan dan tendangan ke arah mereka. Mobil langsung digeledah, termasuk ke bagian di bawah jok ikut diperiksa. Mereka curiga mobil itu mengangkut bahan peledak. Masyarakat yang sedang ada di sekitar pos langsung bubar menghindar menjauhi pos. Aku duduk di depan rumah di samping pos. Bersama beberapa personel tentara lain mengawasi kejadian itu. Singkat cerita, ternyata terjadi salah tangkap. Mereka bukan anggota GAM, tetapi pengusaha rekanan perkebunan yang mau bertemu kepala administrasi. Kesalahan mereka tidak melapor dahulu ke pos tentara. Dan akibatnya sungguh fatal..

Beberapa hari kemudian aku dengar kabar kalo Pak Ricky dan beberapa personel tentara yang turut menganiaya tempo hari itu dipanggil ke Markas Komando Batalyon mereka di Meulaboh. Saat pulang mereka cerita mendapat hukuman yang lumayan ngeri juga mendengarnya. Hehehe, ternyata berat juga menjalani kehidupan sebagai tentara..

Ada juga kejadian saat istri dan anakku terjebak kontak senjata. Setiap hari selasa ada pasar dadakan yang berlangsung di desa lamie, sekitar 8 km dari perumahanku menuju kecamatan. Pagi itu saat ngobrol di rumah, istriku bilang tidak ada rencana mau belanja ke pasar lamie. Sekitar jam 10, saat di Kantor Induk aku mendengar berita ada kontak senjata di dekat pasar lamie. Konon konvoy pasukan Brimob yang lewat dihadang GAM. Aku bersyukur istriku tidak belanja ke pasar lamie. Saat pulang ke rumah, aku jadi bingung ketika pintu rumah terkunci. Salah seorang tetangga datang menyerahkan kunci rumah sambil bilang kalau istri dan anakku ikut pergi belanja ke pasar lamie bareng sama ibu-ibu yang lain. Pikiranku jadi galau mendengar kabar itu. Aku segera keluar kebun, menuju arah pasar lamie untuk memantau perkembangan. Di pos 320 aku berhenti, mencari informasi di situ. Mereka juga memantau kejadian tadi. Pagi itu satu regu pasukan, dipimpin Baton (Bintara Peleton) Moammar memang berniat akan menuju pasar lamie. Tetapi sekitar 400 meter dari pasar lamie mereka berbalik pulang, membatalkan rencana ke pasar lamie. Saat mereka berbalik inilah bertemu beberapa truck yang membawa pasukan Brimob dari arah Meulaboh. Dan tak lama berselang terdengar bunyi rentetan senjata di tempat mereka berbalik arah tadi. Kontak senjata pagi itu cukup sengit. Dua orang personel Brimob (dari Polda Jawa Tengah) gugur terkena terjangan GLM (senjata pelontar granat). Suasana pasar lamie tempat istriku belanja mendadak kacau balau. Semua orang berlarian berebut mencari tempat perlindungan. Istri dan anak sulungku masuk ke sebuah kedai, entah punya siapa. Berlindung di situ beberapa saat sampai suara rentetan tembakan berhenti. Mereka bisa pulang ke kebun kembali setelah lewat kendaraan pengangkut anak sekolah. Konon personil Brimob di rombongan itu hampir saja mengamuk kepada masyarakat setelah melihat kedua rekannya gugur. Tapi masih bisa ditenangkan oleh anggota TNI yang ada pada saat itu.

Personel 320 juga sempat membantu kami saat terjadi konflik sengketa lahan dengan salah seorang warga Masyarakat. Suatu saat, pihak yang bersengketa sepakat untuk bersama meninjau ke lokasi. Dari pihak perusahaan ada aku dan beberapa petugas perkebunan, warga yang bersengketa tadi, pak Keuchik dan perangkat desa serta beberapa personel Pos Militer yang berniat menengahi perselisihan tadi. Perundingan dan musyawarah di lokasi berlangsung memanas. Warga tadi, yang sebenarnya bukan warga asli desa  setempat, tetap ngotot dengan pendiriannya. Omongan kami dari Perusahaan maupun dari pihak pemerintahan desa sedikitpun tidak dia gubris dan dengarkan. Bahkan ketika Pak Moammar dari Pos Militer mencoba membantu memberikan penjelasanpun tetap tidak dia dengarkan. Akhirnya salah seorang personel tadi kehilangan kesabaran dan merentetkan tembakan ke udara. Seketika warga yang menuntut tadi wajahnya pucat pasi dan terdiam seribu bahasa. Rombongan bubar dengan seketika. Tak membuahkan kesepakatan apapun.


Total lamanya Yonif 320 di desaku ada sekitar 16 bulan. Terasa sedih ketika melepas mereka pergi. Banyak warga masyarakat desa yang menangis saat mereka berpamitan.

Hingga tahun 2005 kemudian saat sudah mutasi ke Banten aku bisa bertemu mereka kembali. Markas Yonif 320 ada di Pandeglang. Dan kebun pertamaku di PTPN 8, kebun Bojong Datar, juga ada di wilayah Pandeglang. Ada dua orang diantara mereka yang sampai saat ini masih berhubungan lumayan sering denganku. Pak Moammar dan Sudirman. Bahkan ketika aku dirawat di RS Rangkasbitung tahun 2012 lalu, Pak Moammar ini turut menginap di rumah sakit menungguiku. Aku ingat raut muka pak Moammar saat tahun 2005 dahulu aku ketuk pintu rumahnya di markas 320 Cadasari. Teperanjat kaku. Kayak mimpi katanya, kami bisa bertemu lagi..

Ada kejadian berkesan dengan mereka saat aku berdinas di Pandeglang tahun 2005. Pada sekitar bulan kedua aku tinggal di kebun, suatu malam sepeda motorku diambil pencuri. Saat itu hari Sabtu malam Minggu. Besoknya mereka berdua datang, dan bertekad bahwa motorku harus kembali. Suatu hal yang hampir mustahil. Di daerah situ hampir tidak pernah terjadi, motor yang hilang bisa kembali lagi. Sekitar hari selasa malam mereka datang dengan membawa seorang pemuda. Diinterogasi di teras rumahku. Aku matikan lampu teras, agar kejadian berikutnya tidak terlihat orang lain. Hari kamis sore, lurah setempat datang ke rumahku sambil menyerahkan motorku kembali. Katanya dikembalikan oleh orang yang membeli dari pencurinya. Pak lurah bilang orangnya minta pengertian karena sudah keluar biaya buat perbaikan motor tadi. Rem yang sebelumnya model tromol sudah diganti model cakram dan shockbreaker belakang pun sudah diganti dengan yang baru. Saat aku sampaikan ke Pak Moammar, dia cuman jawab orang yang minta ganti itu agar ambil uangnya ke Cadasari, markas Yonif 320. Ahhh, mana berani dia datang ke sana.. Hehehe..

Kejadian yang sangat langka terjadi itu cukup menguntungkan. Paling tidak warga di sekitar tempat aku tinggal menjadi lebih menghargai aku...

2. Yonif 744/SYB Atambua

Komandan kompi dari satuan ini, Kapten Sriyono, orang boyolali asli yang ditempatkan di Yonif 744/Satya Yuda Bakti NTT. Awalnya markas batalyon ini ada di Timor Timur. Ketika Timtim merdeka, Mako Yonif 744 dipindahkan ke Atambua NTT.

Ada beberapa kejadian berkesan, juga menegangkan, dengan Yonif 744 ini.
Saat itu hari raya lebaran, seperti biasanya hanya aku staff kebun yang tidak pulang kampung. Habis Shalat Ied di Masjid kebun, aku dan Danki Sriyono menuju Alue bilie hendak ke wartel untuk interlokal ke Jawa. Danki (Komandan Kompi) bersama aku pakai Taft GT, aku yang menyetir karena supirnya cuti lebaran. Anak buah lainnya naik mobil Dumptruck. Baru saja kami sampai di depan wartel, tiba-tiba seorang tentara lari tergopoh-gopoh menghampiri Danki. Tak lama Danki menghampiriku dan meminta agar disiapkan seorang pengemudi, karena dia mendapat laporan pemunculan kelompok bersenjata dan berniat mengejarnya. Aku bingung, tak tahu siapa lagi yang bisa aku suruh membawa kendaraan mengantar rombongan tentara ini. Akhirnya aku putuskan ke Danki kalo aku sendiri yang akan menyetir mobilnya, aku cuma minta pinjam sebu (topeng/kedok) untuk menutupi wajahku. Lalu kami berangkat, Taft GT dan Dumptruck, menuju ke arah desa Gagak. Sekitar satu kilometer dari tempat yang hendak dituju Danki memintaku berhenti. Dia dan pasukannya meneruskan dengan berjalan kaki. Mobil Taft GT yang aku setir dan Dumptruck menunggu di suatu tempat di pinggir jalan.

Aku ingat betul perasaanku saat itu. Duduk termenung di depan kemudi, di pinggir jalan yang teramat sunyi menunggu tentara yang hendak menyergap kelompok bersenjata. Terbayang dalam fikiranku, saat itu hari raya, saudara dan teman-temanku di jawa sedang merayakannya dengan kegembiraan. Bertemu segenap handai taulan dan sanak saudara. Sedangkan aku duduk termenung disini. Di pinggir jalan yang sepi, hanya bersama seorang teman, supir dumptruck. Sementara segala kemungkinan bisa saja muncul dari balik rerimbunan lebat yang ada di kanan kiri jalan.
Allahu Akbar....

Peristiwa lain terjadi beberapa bulan setelah itu. Waktu itu ada dua karyawan yang disandera GAM. Tetapi karyawan ini bukan staff atau karyawan pimpinan. Itu karyawan pelaksana yang seorang diantaranya warga asli setempat. Saat menemani Danki ke komplek perumahan yang terdekat dengan hutan, Danki memintaku agar mencarikan seseorang untuk menjadi pemandu jalan. Danki berencana menyelusuri jejak mereka masuk ke hutan. Aku coba mencari beberapa orang untuk memandu jalan pasukan itu. Tapi tak seorangpun yang mau. Mereka takut nanti di tengah hutan justru mereka yang akan ditembak mati. Aku coba lagi bujuk mereka. Salah seorang dari mereka, Syamsul Bahri, akhirnya bersedia mengantar masuk hutan. Tapi dengan syarat yang lumayan ngaco, yaitu aku juga harus ikut bergabung masuk hutan. Bagiku saat itu tak ada pilihan lain. Akhirnya akupun ikut bergabung dengan tentara untuk masuk hutan, menyusuri jejak yang semakin samar terlihat.

Kami mulai masuk hutan, berjalan beriringan. Satu regu pasukan sekitar 15 personel bersenjata lengkap, dilengkapi senjata SS-1 serta Senapan mesin "Minimi". Hanya aku dan Syamsul yang tidak menenteng senjata api. Hanya parang di tangan. Entah untuk apa, paling tidak kami merasa sedikit nyaman dengan adanya senjata di tangan. Bertemu beberapa gubug, mereka membakarnya. Beberapa kali kami harus menyeberangi sungai. Sungai itu cukup lebar, dengan kedalaman sekitar tinggi dada manusia. Ada sekitar tiga kali kami harus menyeberangi sungai itu, menyeberang ke kiri lalu beberapa saat kemudian menyeberangi sungai kembali ke kanan. Mereka menyusuri jalur dengan senyap. Tanpa banyak percakapan yang terlontar. Aku bisa merasakan ketegangan yang sangat waktu itu. Berjalan menyusuri hutan perawan, dengan serombongan tentara bersenjata. Sementara kelompok bersenjata lain bisa saja muncul sewaktu-waktu tanpa bisa kami sangka arah datangnya.

Pada suatu tempat di pinggir sungai, tiba-tiba Danki berhenti. Dia bilang perasaannya kurang enak melihat rerimbunan di depan kami. Dia memintaku berhenti, agar aku menunggu di situ, sementara dia dan pasukannya akan memeriksa tempat itu.
Sekitar setengah jam, aku dan Syamsul Bahri, duduk berdua di atas batu di tepi sungai. Mencoba mengobrol untuk menghilangkan ketegangan. Areal yang kami masuki adalah hutan yang masih perawan. Sama sekali berbeda dengan situasi hutan-hutan yang ada di Pulau Jawa. Di sini hutan rimba. Masih asli dengan pohon-pohonnya yang tinggi dan besar. Tak ada tanda-tanda campur tangan manusia. Senyap menakutkan. Tanpa ada satupun suara yang menandakan ada campur tangan manusia. Lengang... Kalau di pulau jawa, terutama di kota atau pedesaan, sesepi apapun masih ada suara-suara lirih tanda adanya kehidupan. Entah suara kendaraan dari jauh, suara televisi, atau apapun. Di sini benar-benar senyap. Hanya suara desau angin, dan terkadang suara burung atau binatang lainnya. Perasaanku mirip dengan saat aku di dalam mobil di pinggir jalan menunggu pasukan yang hendak menyergap kelompok bersenjata tempo hari itu. Melihat rerimbunan yang ada di sekitar kami, dan berfikir bahwa bisa saja mendadak muncul pasukan GAM yang pasti juga bersenjata. Jika itu terjadi, maka tamatlah riwayatku...

Terlihat ada kepulan asap sekitar beberapa ratus meter di depan. Tak lama kemudian Danki Sriyono dan pasukannya kembali. Mereka cerita menemukan gubug yang ada bekas-bekas manusia yang masih agak baru. Gubug itu mereka bakar.

Danki Sriyono ini orangnya sangat baik. Saat itu pangkatnya Kapten. Terakhir sekitar tahun 2009 lalu aku dengar kabar dia bertugas di Kodam 4 Diponegoro. Tahun 2014 ini pangkatnya mungkin sudah Letkol atau Kolonel.

Aku cukup terkesan dengan karakter Batalyon 744 ini. Sebagian dari mereka adalah orang asli Nusa Tenggara, ada juga yang asli orang Timor. Pembawaan mereka disiplin. Sangat disiplin. Jarang mereka memakai pakaian sipil biasa, walaupun tidak sedang piket atau bertugas. Selalu memakai PDL (Pakaian Dinas Lapangan) atau pakaian loreng.
Saat mereka bertugas, di dalam lingkungan kebun sudah terdapat empat pos. Masing-masing pos berada di jalur masuk menuju kebun. Baik jalur dari desa luar, dari sungai besar, maupun dari jalur hutan. Jalur-jalur masuk itu mereka tutup dengan menempatkan pos.

Mereka bertugas di kebunku sekitar tahun 2003-2004. Aku dengar kabar mereka sedang apel upacara di Darmaga pelabuhan Banda Aceh saat tsunami desember 2004 menerjang daratan. Pasukannya selamat. Tapi konon barang-barang mereka tersapu gelombang.
Wallahu 'alam..

3. PasMar 2 Surabaya 

Satuan ini bertugas di tempatku menggantikan pasukan Linud 700. Beberapa anggota diantaranya sekitar setahun sebelumnya sudah pernah bertugas pengamanan di tempat kami. Tapi waktu itu masih tergabung dalam YonGab (Batalyon Gabungan) yang terdiri dari Marinir, Zeni Tempur dan Paskhas AURI. Komandan peletonnya orang Bali, Lettu Gede. Usianya lebih muda dariku.

Ada perbedaan karakter yang terasa, antara pasukan angkatan laut dan angkatan darat. Marinir pendekatan ke masyarakat sangat bagus. Seakan tak ada jarak antara tentara dan rakyat sipil. Tapi bicara masalah "kekerasan" atau situasi ketegasan yang ada, mereka tak kalah dengan angkatan yang lain. Mereka bisa saja siang atau sore hari duduk mengobrol santai atau bercengkerama dengan seseorang, lalu malam harinya "mengeksekusi" mereka, jika memang sudah terbukti terlibat dalam gerakan pemberontakan. Persenjataan Marinir terkesan lebih siap. Kalau angkatan darat kelengkapan amunisi sangat dijaga dan tercatat, sehingga seorang prajurit tidak leluasa untuk menembakkan senjata kalau tidak ada situasi yang memaksa. Di Marinir, ketersediaan amunisi lumayan berlimpah. Mereka bahkan sempat mengadakan latihan menembak bagi satu kompi pasukan yang ada di wilayah kecamatanku, Darul Makmur. Untung juga, aku jadi punya kesempatan mencoba menembakkan berbagai jenis senjata api saat bersama Marinir ini. Dari Pistol, SS-1, M-16 sampai Minimi dan RPG.

Anggota pasukan ini sering main ke rumah. Bahkan pernah satu waktu, mungkin di pos-nya sedang terjadi miskomunikasi dengan komandannya, mereka berbondong-bondong nongkrong di rumahku. Hampir semua satu pos. Akhirnya Danton Gede datang, berhenti di luar pagar, diam-diam memanggilku dan minta tolong supaya membujuk anggota-anggota pos itu kembali ke markasnya. Hehehe...

Alhamdulillah dengan Dantonnya aku bisa erat bergaul. Kami pernah suatu malam main olah raga bulu tangkis single tanding berdua. Nonstop 7 set. Waktu itu usiaku masih muda, staminaku masih cukup kuat untuk kegiatan olah raga semacam itu.

Waktu Gabung dengan Pasukan Marinir

4. Yonif Linud 700

Pasukan ini juga lumayan lama bertugas pengamanan di desaku, setahun lebih. Meskipun berasal dari Kodam VII Makasar, Danpos yang bertugas saat itu orang jawa dari solo, Serka Suparno. Seperti tentara dari luar jawa bagian timur lainnya, pasukan ini juga disiplin dalam mengenakan seragam satuannya. Jarang aku jumpai mereka mengenakan pakaian sipil. Dalam memakai alat pelindung juga disiplin. Ketika patroli ke daerah pedalaman, mereka selalu mengenakan topi baja tempur dan rompi pelindung anti peluru. Seperti orang aceh, nama-nama prajurit Linud 700 yang berasal dari suku bugis dan makasar kebanyakan berakhir dengan suku kata "din". Ada Kaharudin, Taharudin, Jafarudin, Kamarudin, Baharudin dan lainnya.

Dani Kecil diantara Prajurit Linud 700 Makasar
Ketika menjelang akhir masa tugas, terlihat sedikit permasalahan internal dalam pasukan ini. Yaitu setelah masuk anggota baru untuk bergabung di pos, seorang bintara yang menjadi Wadanpos. Uniknya, aku bahkan diajak ikut nimbrung saat mereka dikumpulkan oleh Danpos membicarakan situasi perselisihan itu. Aku coba untuk bersikap senetral mungkin, agar tidak terkesan memihak salah satu pihak. Sebenarnya cukup ngeri juga, berada di tengah-tengah kelompok tentara bersenjata yang sedang tegang karena perselisihan sikap. Tapi untunglah, sampai akhir masa tugas tidak ada letupan perselisihan yang terjadi. Pak Parno sering bicara kalau sanksi bagi prajurit yang melawan komandan adalah "10 meter". Awalnya aku tidak paham maksud istilah itu. Kemudian hari aku baru ngerti, kalau "10 meter" itu maksudnya adalah hukuman tembak di tempat dari jarak 10 meter.

Selama sekitar setahun lebih mereka bertugas di daerahku, tercatat dua kali peristiwa darurat yang terjadi. Yang pertama adalah kejadian penyanderaan Pak Adzim Rangkuti, Kepala afdeling 4 lalu penyanderaan Pak Ngatino Kepala Tata Usaha. Kejadian penyanderaan itu Insya Allah akan aku tulis dalam cerita tersendiri. Yang jelas aku berhutang budi pada pasukan ini, yaitu ketika terjadi suasana ketegangan pasca insiden penyanderaan Pak Adzim. Saat kami begitu "tertekan" oleh pasukan SGI (Kopassus), pasukan dari Linud 700 ini begitu teguh membentengi kami. Sampai saat ini aku masih ingat detik-detik ketegangan yang terjadi pada saat itu. Terlepas dari pro-kontra atas kebijakan Pak Parno ketika menjabat sebagai Danpos, aku tak akan pernah melupakan jasanya padaku.
Semoga kelak aku dianugerahi kemudahan dan kesempatan untuk bersilaturahmi lagi dengan anggota Yonif Linud 700 ini (sekarang namanya berubah menjadi Batalyon Raider 700), terutama dengan Pak Suparno.

Dadaku seperti tercekat, ada rasa haru yang menyelinap, ketika saat berpamitan mereka minta maaf padaku. Mereka minta maaf karena saat bertugas di tempatku terjadi dua kali insiden penculikan dan penyanderaan karyawan pimpinan kebun. Yahh, setiap orang pasti punya banyak sisi dalam kehidupannya. Sebagian berupa sisi terang yang cenderung ditampilkan. Sebagian lagi berupa sisi gelap yang tanpa sadar selalu diusahakan tersembunyi... 

Linud 700, semoga kelak kita bisa bertemu kembali....

Empat batalyon yang aku ceritakan diatas hanyalah sebagian dari belasan batalyon yang pernah bertugas di daerahku. Batalyon lain yang aku ingat adalah dari Yonif 521 Kediri, Yonif 623 Kalsel, Yonif 509 Jember, Yonif 144 Bengkulu, Yonif 407 Pekalongan, Yonif 507 Surabaya, Batalyon Gabungan (Zipur, Paskhas AURI, Marinir) dan beberapa lagi yang mungkin aku lupa. Setiap kali terjadi pergantian batalyon, namaku selalu masuk dalam serah terima antar pasukan sebagai "panah" atau orang sipil yang dianggap bisa membantu operasional militer. Seberapa kuat aku berusaha agar bisa "lepas" dari status itu tapi tetap tak pernah berhasil. Setiap kali masuk batalyon baru namaku senantiasa dicari. Akhirnya aku terima saja kondisi ini. Insya Allah sambil berharap semoga membawa kebaikan bagi kami semua...

Kalau aku tidak salah ingat, selama masa konflik itu puluhan orang karyawan PTPN 1 yang gugur. Sebagian meninggal karena dibunuh GAM, sebagian lagi meninggal karena ditembak TNI/Polri. Peristiwa yang cukup besar terjadi di Kebun Krueng Luas Aceh Selatan, dan Kebun Tualang Sawit di Aceh Timur. Peristiwa Krueng Luas konon terjadi saat pasukan GAM yang dikejar pasukan TNI/Brimob masuk ke komplek perumahan karyawan kebun Krueng Luas. Untuk menghambat gerak pasukan TNI/Brimob, kelompok GAM ini menewaskan karyawan PTPN 1 yang ada di komplek perumahan tadi. Mereka menembak karyawan lalu membakar perumahannya. Saat dievakuasi, ditemukan beberapa jenazah yang ikut terbakar di puing reruntuhan rumah. Peristiwa Kebun Tualang Sawit terjadi saat karyawan kebun sedang melakukan pekerjaan memuat buah sawit. Karyawan kebun itu menjadi korban penembakan dan meninggal di tempat.

Kehidupan tentara itu begitu berat. Sungguh berat. Penuh resiko. Setiap detik nyawa mereka menjadi pertaruhannya. Semoga mereka melakukan itu semua dengan diniati sebagai ikhtiar untuk mengisi waktu hidupnya dengan memburu Ridha Illaahi, sehingga Insya Allah kelak mereka mendapat karunia yang penuh kenikmatan dan barokah...

Maju terus PTPN 1...

Maju terus TNI....

Maju terus Indonesia...

Argo Kumoro Anak Kebon.. Lahir.. Besar.. Dan menua di Perkebunan

0 Response to "Darurat Militer Nanggroe Aceh Darussalam"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel