Kisah Pembebasan Sandera di Aceh



Hari kamis, sekitar bulan maret pada tahun 2002...

Waktu itu aku sedang mengemban amanat, ditunjuk menjadi PLT (Pelaksana Tugas) Administratur (Manager) Kebun Ujung Lamie, daerah Darul Makmur, Aceh Barat. Karena Pak Adm-nya sedang rapat kerja di Kantor Pusat Langsa Aceh Timur. Sedangkan Asisten Kepala mengikuti program Kursus Manajemen Perkebunan tingkat Madya (KMPM) di Lembaga Pendidikan Perkebunan (LPP) kampus Medan.

Siang hari, ketika sedang berada di Kantor induk kebun, ada laporan tentang pemunculan kelompok bersenjata di Afdeling 4, afdeling yang berbatasan langsung dengan hutan belantara. Bersama beberapa orang yang ada di kantor induk, kami standby bersama memantau keadaan. Bibit-bibit ketegangan mulai terasa. Karyawan pimpinan semua berkumpul di kantor induk. Aku, Pak Alfred Sitompul, Pak Hendra Gunawan, Pak Deddy Mulyadi, Pak Edward serta Pak Ngatino. Pak Adzim Rangkuti, asisten afdeling 4, yang tidak ada. Selepas siang, datang Syaiful Ibraya, Kerani Afdeling 4 ke kantor induk. Dia membawa berita, bahwa ada sekelompok orang bersenjata yang masuk ke afdeling 4 dan meminta supaya Pak Adm dan Kepala Administrasi (KTU) ke sana menemui mereka. Kami sempat berunding sejenak, lalu memutuskan memberikan jawaban kepada mereka bahwa kami tidak bisa memenuhi permintaan itu dikarenakan ADM sedang tugas ke Aceh Timur. Syaiful berangkat kembali lagi ke afdeling 4. Kami menunggu di kantor, lalu pindah ke rumah dinas KTU. Sekitar jam 5 datang kabar dari afdeling 4, bahwa pak Adzim dibawa ke hutan oleh GAM, berdua bersama Syaiful. 
Pak Adzim disandera GAM...

Kepanikan semakin terasa, meski kami berupaya keras untuk tetap bisa setenang mungkin. Kami mulai membagi tugas. Ada yang bertugas menghubungi kantor pusat di Aceh Timur melalui wartel. Sedang yang lainnya tetap siaga memantau perkembangan. Ada wacana untuk melaporkan situasi ini ke Pos TNI Yonif Linud 700/Makasar yang ada di pintu masuk kebun, atau mungkin langsung ke Pos Kotis SGI yang ada di kecamatan (Alue Bilie). Aku lupa kepanjangan SGI, mereka adalah gabungan satuan intelijen dari beberapa kesatuan. Saat itu pasukan SGI yang bertugas di wilayahku terdiri dari personel Kopassus Group 4 /Sandi Yudha, ditambah personel dari satuan Intelijen Kostrad. Aku yang mendapat tugas melapor ke Aparat Keamanan. Saat itu aku merasa ragu dengan rencana itu. Apakah keputusan melapor ini benar atau justru akan membahayakan keselamatan pak Adzim. Saat di perjalanan meninggalkan komplek kantor induk, aku bertemu kawan yang tadi mendapat tugas melapor ke Kantor pusat Langsa. Berita sudah disampaikan ke Langsa dan jawaban sudah cukup jelas "agar ditempuh segala cara untuk menyelamatkan nyawa pak Adzim". Aku semakin mantap untuk membatalkan rencana melapor ke Pos SGI di kecamatan.

Malam hari datang utusan dari hutan membawa surat dan pesan dari penyandera (GAM). Intinya mereka menyampaikan pesan bahwa pak Adzim mereka tahan karena Kebun Ujung Lamie dianggap lalai tidak membayar pajak nanggroe (semacam kewajiban membayar sejumlah uang kepada GAM secara periodik). Untuk itu mereka menuntut agar kebun segera membayar uang sejumlah 1 milyar guna pembebasan pak Adzim. Mereka juga melarang untuk melaporkan situasi ini kepada aparat keamanan, atau "bapak ini akan kami kembalikan pakaiannya saja", begitu pesan mereka. Surat itu ditandatangani oleh Abu Malaka. Setelah dibaca dan dipahami isinya, surat itu kami bakar. Kami berunding sejenak, kepada kurir yang hendak kembali ke hutan disampaikan pesan, kesanggupan kami saat itu adalah 50 juta dan pak Adzim agar segera dibebaskan. Malam hari itu juga Bu Adzim serta anak balitanya dipindahkan dari perumahan afdeling 2 ke rumah Pak Deddy di afdeling 1. 


Gerilyawan GAM (Sumber Foto :Google)

Malam itu aku pulang ke rumah dengan badan dan jiwa yang terasa lemas sekali. Letih dan tegang benar-benar menguras habis energi. Aku sadar hari yang akan datang mungkin akan terasa lebih berat lagi.

Pagi hari kami berkumpul lagi di rumah KTU. Berkoordinasi sambil menyusun langkah lebih lanjut. Utusan dari hutan datang lagi, menyampaikan pesan bahwa tuntutan tebusan sudah turun, menjadi 500 juta. Kami tetap keberatan dan mencoba mengajukan penawaran pada angka 75 juta. Antisipasi lain juga kami tempuh. Siang itu juga Pak KTU berangkat ke Langsa Aceh Timur untuk melapor langsung masalah ini di Kantor Pusat. Sedangkan Pak Alfred Sitompul dan Pak Hendra Gunawan berangkat ke Medan untuk menyampaikan keadaan ini kepada keluarga Pak Adzim Rangkuti. Sehingga praktis karyawan pimpinan yang masih tinggal di kebun saat itu tinggal aku, Pak Deddy dan Pak Edward. Walau begitu tegang situasi yang kami hadapi, tetap kami upayakan pengurusan masalah ini dengan serahasia mungkin. Kalau memang tidak sangat diperlukan tidak akan  dilibatkan orang lain untuk ikut mengurus situasi ini.

Kami mulai menyiapkan dana yang ada untuk digunakan sebagai penebusan sandera. Dana di brankas kantor minim, hanya ada 5 juta rupiah. Maka kami coba mencari pinjaman kepada rekanan kebun. Mandor Satu Teknik, bang Zulkarnaini, kami tugaskan menghubungi bang Jamali, kontraktor angkutan sawit. Syukurlah ada hasilnya. Bang Jamali bersedia meminjamkan dana sebesar 25 juta, meski dengan berbagai permintaan agar tidak disangkut pautkan dalam urusan penyanderaan ini. Sikap yang sangat dimaklumi. Saat itu begitu terasa "ketakutan" warga pribumi jika harus berurusan dengan aparat keamanan.

Sore itu datang lagi kurir dari hutan, membawa berita bahwa tuntutan GAM sudah mentok di angka 100 juta, tak bisa ditawar lagi. Akhirnya kami sanggupi, nilai yang akan dibayar sebagai tebusan pak Adzim adalah 100 juta rupiah. 

Sabtu pagi kami kirimkan uang sejumlah 30 juta ke hutan. Disertai permintaan agar pak Adzim segera dibebaskan, dan sisa yang 70 juta secepatnya akan diselesaikan. Siang hari itu juga aku merapat ke Pos Linud 700. Kepada Komandan Pos, Pak Parno, serta anggota lainnya aku laporkan situasi ini. Masalah kesanggupan membayar tebusan sebesar 100 juta tidak aku sampaikan semua, hanya kusampaikan bahwa tebusan yang hendak dibayar senilai 30 juta. Entah apa yang sebenarnya mereka pikirkan saat itu, yang jelas pada siang hari itu mereka bisa menerima laporanku dan memahami situasi sulit yang sedang kami hadapi.

Siang hari kami habiskan untuk mengisi waktu dengan kegiatan seadanya sambil memantau keadaan. Kami usahakan agar masalah yang terjadi ini tidak tercium di kalangan karyawan dan warga desa. Pekerjaan yang sangat sulit. Saat itu sangat susah menebak sikap atau isi hati seseorang. Hampir tak ada yang bisa kami percayai penuh dalam situasi kerawanan seperti itu. Membawa atau mengajak seseorang untuk masuk dalam lingkungan pengurusan masalah ini sama saja dengan menyerahkan keselamatan kami kepadanya. Harus benar-benar orang yang terpercaya untuk dilibatkan dalam pengurusan masalah penyanderaan ini.

Sore hari, tepat selepas shalat maghrib, ada orang datang mengetuk pintu rumah (aku lupa itu Pranoto atau bang Zulkarnaini). Dia bilang pak Adzim sudah bebas, sekarang ada di mobil yang parkir di depan jalan masuk komplek rumahku. Aku segera menuju ke mobil, dan ternyata benar, pak Adzim ada di situ. Perasaanku lega. Kupeluk pak Adzim lalu kutemani menuju rumah pak Dedi, tempat dimana istri dan anaknya menunggu. Ada rasa haru melihat mereka bertemu dan berpelukan, terlihat kelegaan yang sangat pada diri bu Adzim melihat suaminya selamat dari situasi yang hampir merenggut nyawanya.
Malam itu kami sempatkan berembug sejenak, merancang rencana selanjutnya. Kalau tidak salah ada aku, pak Dedi, pak Edward, bang Zulkarnaini teknik, Raja Kiba, pak Hariadi dan Toni. Kami sepakat pak Adzim besok harus ke Alue Bilie, entah dengan urusan apa yang penting menunjukkan kepada orang lain bahwa tidak terjadi apa-apa dengan diri pak Adzim. Karena saat itu mulai terdengar kabar bahwa berita pak Adzim disandera ini konon sudah tercium aparat SGI. Dan sumbernya tak lain dari karyawan kebun sendiri. Karyawan yang hanya memikirkan keselamatan dirinya sendiri saja. Tak perduli dengan keselamatan warga kebun secara umum.

Malam itu aku tidur sedikit tenang. Meskipun tidak begitu yakin bahwa keadaan esok hari akan tetap terjaga kondusif. Aku merasa beban yang harus kami hadapi esok hari mungkin akan semakin berat...

Dan masuklah kami pada hari minggu. Hari yang ternyata dipenuhi ketegangan buat diriku. Dengan sepeda motor pagi hari aku meluncur menuju Alue Bilie. Singgah di Pos Linud 700, basa-basi sebentar lalu melanjutkan tujuan ke Alue Bilie. Aku sengaja berputar-putar di kota kecil Alue Bilie memantau keadaan. Sesuai rencana, pak Adzim memang sudah duluan pergi ke Alue Bilie. Tetapi hanya sebentar putar-putar kota lalu balik lagi ke kebun. Motor aku parkir di depan wartel, lalu duduk-duduk di bangku yang ada di emperan kedai. Ada anggota SGI lewat, aku lupa namanya, kalau tak salah Pak Heru, atau Pak Agus (?). Dia orang Semarang Timur yang berdinas di satuan Kopassus Group 4/Sandi Yudha. Satuan elite dengan spesialisasi intelijen. Kami ngobrol di kedai samping wartel. Dia menanyakan kabar tentang Staf PTPN yang katanya disandera GAM. Deegggghhh.. batinku tercekat, meski muka dan omongan aku paksakan agar tetap terlihat dan terdengar sewajar mungkin. Aku jawab dengan gaya santai bahwa tak ada kejadian apa-apa di kebun. Semua staff PTPN aman-aman saja. Bahkan pak Adzim yang diisukan disandera itu barusan juga ada di kota Alue Bilie. Dia tersenyum, mengajak ngobrol lagi tapi kembali menanyakan hal yang sama beberapa kali. Kulihat sorot matanya sangat tajam menatapku, meskipun mulutnya tersenyum. Entah kekuatan apa yang merasukiku saat itu, aku bisa bergaya dan bertingkah begitu normalnya. Betul-betul layaknya tak ada masalah berat yang sedang membebaniku. Kami kembali mengobrol kesana kemari. Cerita tentang asal usul kami masing-masing. Saat aku coba tawarkan untuk membantu dirinya secara finansial, dengan tertawa dia menolak. Malah dia tunjukkan dompetnya yang isinya tebal penuh dengan lembaran uang. Kami teruskan obrolan sesantai mungkin yang aku mampu. Tak lama kemudian kami berpisah. Aku pamit lalu menaiki motor menuju kedai kelontong orang tua angkatku, Pak Jafar, di seberang jalan. Tepat ketika aku turun dari motor dan duduk di bangku depan kedai Pak Jafar, aku lihat di depan warung tempat aku mengobrol tadi berhenti kendaraan Jeep operasional SGI. Berhenti sebentar, Pak Heru naik, lalu mobil itu balik arah melaju menuju Pos SGI lagi. Aku terkesiap, membayangkan seandainya aku masih di situ, bisa jadi akan ikut dibawa menuju Pos mereka...

Aku sempatkan mengobrol sejenak dengan Bu Jafar, meskipun fikiranku sudah tak tenang lagi. Kembali aku pamit pulang, menuju ke dalam kebun lagi.
Tepat di depan SMA, sebuah motor menyalip dan pengendaranya memberi isyarat agar aku berhenti. Rupanya Bang Buyung Gadeng, mantan tentara yang jadi keamanan kebun. Kembali dia menanyakan kabar yang katanya sudah santer menyebar di Darul Makmur. Kabar tentang Staf PTPN disandera GAM. Dengan tegas aku sampaikan padanya, bahwa kabar itu tidak benar. Saat ini semua Staf Kebun aman, tidak ada yang disandera GAM. Aku minta bang Buyung membantu dengan meredam issue itu. Dari roman muka dan senyumnya aku tahu kalau bang Buyung kurang percaya dengan omonganku. Tapi dasar dan bukti yang aku sampaikanpun cukup kuat. Bahwa pak Adzim barusan memang terlihat ada di kota Alue Bilie. Kami lalu berpisah lagi. Aku melanjutkan perjalanan menuju kebun.

Di Pos Linud 700 aku kembali singgah, menyapa para anggota yang ada lalu masuk ke ruangan Danpos dan mengobrol di situ. Saat itu sempat aku sampaikan permintaan ke dia. Seandainya terjadi sesuatu pada diriku, entah disandera GAM atau ditahan SGI aku minta Pak Parno mengusahakan sekuatnya agar istri dan anakku bisa keluar dari Aceh. Minimal sampai ke kota Medan. Insya Allah kalau sudah ada di Medan ada kenalan lain yang pasti bisa mengurus kepulangannya ke Jawa. Saat hangat-hangatnya kami mengobrol, dari jendela kamar yang terbuka aku lihat satu buah Dump Truck berhenti di depan pos. Beberapa orang meloncat turun dari Truck. Berpakaian sipil tapi menenteng senjata laras panjang (SS-1 dan M-16). Aku terkesiap. Itu adalah personel SGI. Sangat jarang sekali mereka terbuka menenteng senjata laras panjang seperti itu. Aku minta ijin Danpos lalu menyelinap menuju belakang Pos. Sempat terdengar obrolan mereka di teras depan. Orang-orang SGI itu bilang kalau mereka ada perlu dengan PTPN dan hendak masuk ke komplek perkebunan. Kemudian terdengar lagi deru mesin kendaraan dan Truck SGI itu melaju ke arah kantor perkebunan.

Pikiranku kacau sekali saat itu. Berbagai dugaan dan bayangan menakutkan bergantian muncul di kepala. Bisa jadi mereka masuk kebun lalu menangkap beberapa orang kebun untuk diinterogasi. Atau bisa jadi pula mereka masuk lalu bertemu pak Adzim, ditahan dan dibawa ke Markas mereka. Ahh, kacau sekali aku saat itu. Beberapa anggota Pos sempat duduk menemaniku. Mencoba mengajakku ngobrol atau lainnya. Tapi memang pikiranku sedang melayang entah kemana. Begitu takutnya aku saat itu. Aku bayangkan situasiku saat itu persis anak kecil yang ketahuan menghilangkan barang ibunya, lalu bersembunyi di kolong meja mencari selamat dari amarah ibunya......

Ada sekitar satu jam lebih aku termangu di beranda belakang pos. Dengan pikiran yang serba kacau dan ruwet. Begitu banyak ketakutan dan kekhawatiran yang muncul silih berganti. Hingga kemudian terdengar lagi deru suara truck dari arah perkebunan, berhenti di depan pos lalu melaju keluar lagi. Aku bangkit dari bangku dan menuju ke teras depan. Sempat aku tanyakan kepada anggota pos apakah ada orang kebun yang tadi dibawa kendaraan SGI ? Alhamdulillah tidak ada...

Setelah pamit, aku meluncur lagi dengan motorku menuju perumahan kebun. Yang aku tuju adalah rumah Pak Dedi. Tempat dimana Pak Adzim dan keluarganya sementara mengasingkan diri. Kalau tidak salah saat itu ada Pak Dedi, Pak Adzim dan Pak Edward. Rupanya mereka mendapat kabar juga tentang kendaraan SGI yang masuk komplek perkebunan. Mereka bahkan sudah bersiap, seandainya ada gerakan anggota SGI mengarah ke rumah Pak Dedi, maka Pak Adzim akan diungsikan menuju Komplek afdeling 5, perumahan yang semakin kedalam lagi.

Kami duduk bersama di saung depan rumah. Aku ingat sempat agak lepas kendali waktu itu. Saat tiba-tiba Toni datang bergabung dengan kami. Dia datang dengan wajah tegang dan napas yang terdengar terengah-engah. Aku terbawa tegang, menyangka dia datang membawa kabar yang kurang bagus. Saat aku tanya ternyata tidak ada kabar perkembangan baru yang dia bawa. Emosiku sempat sedikit terpancing saat itu. Dengan nada agak keras aku bilang ke dia agar menjaga sikap. Jangan mudah bersikap tegang yang bisa membuat orang lain senewen atau terpancing tegang. Toni terdiam setelah sebelumnya sempat minta maaf..
Aku minta maaf, Pak Toni.... (*_*)

Dari musyawarah bersama itu kami susun langkah selanjutnya. Besok senin atau selasa Pak Adzim harus secepatnya pulang ke Medan. Untuk urusan pembayaran sisa tebusan 70 juta serta upaya meredam aparat SGI biar kami yang tinggal untuk menanganinya.
Senin pagi sudah kurencanakan harus pergi ke Meulaboh. Untuk menghubungi kantor pusat di langsa kami rasa kurang aman kalau lewat wartel yang ada di Alue Bilie, khawatir ada penyadapan. Jadi aku harus menelepon ke Langsa melalui wartel Meulaboh. Saat kami sampai di Bukit Kelambu, hendak masuk ke jalur aspal menuju Meulaboh, seseorang membisikiku agar hati-hati, katanya sudah ada intel Gam yang mengawasi gerak gerikku. Dia juga bilang kalo intel Gam itu berpesan agar aku lebih waspada, karena kemungkinan besar ada juga intel TNI yang mengawasi pergerakanku. Informasi tentang para intel yang saling mengawasi ini membuat nyaliku semakin ciut. Tapi sudah aku bulatkan niat hari ini juga harus pergi ke Meulaboh. "Kewajiban" untuk segera melunasi kekurangan tebusan 70 juta rupiah menyandera langkah-langkah kami. Sampai di Meulaboh aku langsung mencari wartel yang relatif sepi. Aku pilih wartel yang ada di samping terminal. Bukan wartel di pertigaan simpang pelor pusat kota langganan kami. Aku agak lupa dengan siapa mengawali pembicaraan telepon itu. Tapi yang jelas sambungan selanjutnya terjadi langsung antara aku dan salah satu direksi PTPN 1. Aku laporkan langsung situasi yang terjadi di kebun Ujung Lamie. Dari awal kejadian hingga kondisi terakhir, dimana kami harus segera menyerahkan kekurangan uang tebusan 70 juta. Beliau bisa memahami penjelasanku dan berjanji akan segera mengirimkan kekurangan dana tebusan tersebut. Besok atau lusa akan dikirim. Agak lega aku mengakhiri hubungan telepon itu. Secara khusus beliau berpesan "jika terjadi sesuatu nanti, agar jangan melibatkan kantor pusat. Terlebih lagi Direksi". 

Tepat ketika selesai membayar biaya interlokal dan keluar dari wartel hendak masuk ke mobil, seseorang tiba-tiba mendatangiku. Dengan suara perlahan setengah berbisik dia sampaikan kalau dia adalah anggota TNI suruhan Pak Edi (Danramil wilayah Darul Makmur). Dia menyampaikan bahwa Pak Edi memerintahkannya menghubungi orang PTPN untuk klarifikasi tentang berita penyanderaan pak Adzim. Mentalku semakin terpuruk saat itu. Bahkan pak Edi yang saat itu sedang di medan pun mendengar berita ini. Aku tidak ingat apakah saat itu bisa menjawab dengan lancar atau kelihatan gugup. Tapi aku ingat saat itu betul-betul menekankan padanya kalau keadaan pak Adzim saat itu baik-baik saja. Bahkan kemungkinan besar saat ini sedang dalam perjalanan untuk pulang menuju Medan.

Pagi hari sebelum berangkat diingatkan oleh orang GAM untuk hati-hati kepada Intel TNI, dan siangnya bertemu anggota TNI yang dadakan menanyakan kabar pak Adzim. Kedua hal itu semakin merontokkan mentalku. Entah kenapa saat itu aku benar-benar merasa segala gerak-gerikku ada yang mengawasi...

Setelah sejenak memutari kota Meulaboh tanpa tujuan akhirnya aku pulang lagi, langsung menuju rumah dinas kebunku.

Sampai kebun langsung kucari info tentang keberadaan pak Adzim, dan syukurlah dia beserta keluarganya sudah berangkat menuju Medan. Selama beberapa hari kemudian itu aku dilanda ketakutan yang sangat. Segala macam fikiran buruk terus berkecamuk di kepalaku.

Ada informasi masuk bahwa pasukan GAM penyandera pak Adzim sudah meninggalkan hutan di atas kebunku. Mereka hanya meninggalkan beberapa personel untuk menunggu pembayaran sisa tebusan yang 70 juta. 

Siang dan malam berikutnya membawaku dalam suasana penuh ketakutan. Malam hari begitu takut seandainya pintu rumah tiba-tiba diketuk, dan serombongan orang bersenjata menunggu di depan rumah. Sedang siang hari aku begitu khawatir orang SGI masuk kebun dan membawaku untuk diinterogasi. Di daerah antara rumah dinasku di komplek afdeling 1 dan komplek kantor ADM ada tempat favoritku untuk memantau keadaan. Pada sebuah jalan, perbatasan afdeling 1 dan afdeling 2, terdapat tanjakan dimana dari situ aku bisa memantau situasi jalan masuk menuju kantor ADM. Di sebelah kanan ada areal tanaman kelapa sawit yang berumur 11 tahunan sehingga aku sedikit terlindung dari pandangan orang. Sedang di sebelah kiri tanaman kelapa sawit umur lebih muda, sehingga alur pandangan menuju akses jalan masuk kebun terbuka. Di situlah selama beberapa hari aku menghabiskan waktu siangku. Duduk di atas sepeda motor dengan pandangan mata tak lepas ke arah komplek kantor induk. Harap-harap cemas agar tak ada kendaraan SGI yang masuk kebun. Duhh, kalau aku pikir sekarang betapa nelangsanya kegiatanku saat itu... (*_*)

Satu atau dua hari kemudian, petugas kantor yang bertugas mencairkan dana di Bank Meulaboh telah kembali ke kebun. Kalau tidak salah Muliadi dan Iskandar, atau mungkin Syarifudin Boy. Aku agak lupa. Mereka menyerahkan dana sebesar 70 juta ke rumahku, disertai cerita perjuangan mereka membawa dana itu memakai angkutan umum kembali ke kebun serta rekayasa administrasi untuk mengaburkan proses transaksi itu. Uang itu aku simpan. Kami mulai siapkan rencana pengiriman dana itu ke hutan Gunung Kong. Nah.. di sinilah muncul permasalahan baru. Kurir yang sedianya membawa uang itu ke hutan membatalkan kesediaannya. Muncul informasi, entah dari mana, bahwa pada jalur antara kebun dan lokasi kelompok GAM itu sudah mulai disisir TNI. Aku sampaikan via kurir kondisi ini dan meminta waktu kepada kelompok GAM yang ada di atas untuk menunda tempo penyerahan sisa uang tebusan, sampai kondisi normal kembali. Kepada kurir yang hendak ke hutan aku titipkan uang sekitar 2 juta beserta perbekalan logistik untuk regu pasukan GAM di sana. Balasan dari mereka sangat mengecewakan. Mereka tidak mau tahu kesulitan ini, dan memaksa agar sisa uang itu tetap secepatnya dikirim.

Kami memutar otak kembali. Berusaha mencari alternatif-alternatif yang mungkin bisa ditempuh dalam situasi seperti ini. Akhirnya ada satu usul, kalau tak salah dari Bang Zulkarnaini, agar uang itu dititipkan lewat Panglima Sagoe GAM wilayah setempat saja (kalau di TNI setingkat dengan Danramil). Aku kebetulan kenal dengan panglima ini. Namanya Teungku Marzuki. Sebelum pecah konflik bersenjata dia sempat bekerja mengangkut karyawan pekerja di kebunku. Hubungan kami cukup akrab. Dialah salah satu orang yang pernah menjamin keselamatanku dari ancaman gangguan GAM wilayah Darul Makmur. Hal yang membuat aku sementara waktu merasa aman dan berani bertahan di daerah Aceh Barat ini.

Sore hari datang balasan berita dari Teungku Marzuki kalau dia sudah siap menerima kedatangan kami. Tempatnya dia yang menentukan. Yaitu di suatu kampung, kalau tak salah namanya Alue Rumpon, suatu desa yang masuk dari pertigaan Desa Lamie menuju arah pantai.

Sekitar jam lima sore aku dan pak Hariadi bersiap berangkat. Toni aku tugasi untuk mengawasi rumah, di situ ada istri dan anakku. Kepadanya aku pesan, jika sampai jam 9 malam kami belum pulang maka laporkan saja situasi ini ke pos Linud 700.. 
Berdua kami berboncengan naik sepeda motor. Melewati pos hanya melambaikan tangan, terus melaju ke jalan hitam (jalan aspal). Di pertigaan Lamie kami berbelok ke kanan. Melewati jalan batu perkampungan. Saat itu kondisi kejiwaanku sepenuhnya bertawakal. Apa yang bakal terjadi maka terjadilah. Kami berani masuk ke daerah hitam (wilayah yang masih kental dengan pengaruh GAM) dengan pertimbangan ada sesuatu kepentingan buat mereka yang hendak kami bahas. Maka kami menimbang sangat kecil kemungkinan kami akan ditahan GAM. Motor kami makin melaju masuk ke pedusunan. Hingga tiba di suatu kampung, ada beberapa orang menanti kami di pinggir jalan. Orang-orang itu memakai pakaian biasa, sebagian loreng dan menenteng senjata laras panjang AK-47. Senjata yang lazim digunakan oleh pasukan GAM. Kami berhenti lalu turun dari motor dan menyalami mereka. Dengan ekor mataku aku melihat ada beberapa kumpulan orang yang berperilaku sama. Berpakaian sipil menenteng senjata laras panjang. Setelah basa-basi sejenak kami diantar menuju satu rumah. Masih melewati satu dua orang bersenjata AK-47. Sebagian ramah, menyapa kami dengan senyum. Sebagian lagi menatap dengan sorot mata yang dingin. 

Hingga akhirnya kami tiba di sebuah rumah, kami masuk dari pintu belakang. Di ruang tengah, seseorang berdiri menyambut kami. Dengan senyum yang hangat dia menyapa dengan ramah. Kami berpelukan. Dialah Teungku Marzuki. Panglima Sagoe GAM wilayah Tripa. Kami lalu duduk berdampingan di tikar. Aku di tengah, diapit Teungku Marzuki dan pak Hariadi. Teungku Marzuki mengambil sesuatu barang dan menaruhnya diantara dia dan aku. Itu adalah sepucuk pistol dan alat perekam. Batinku agak tercekat melihat alat perekam itu. Berarti pembicaraan kami akan direkam. Agak bergidik aku membayangkan jika suatu saat alat perekam itu berhasil tersita oleh pasukan TNI dan ada rekaman suaraku di situ....

Kami memulai perbincangan. Intinya dalam kaitan kasus penyanderaan staff PTPN itu terjadi kesulitan dalam pembayaran sisa uang tebusan. Karena di wilayah antara kebun dan hutan diduga kuat sudah mulai dipatroli oleh pasukan TNI. Kami minta bantuan dari Teungku Marzuki, uang itu kami bayarkan untuk GAM melalui dia. Teungku bisa memaklumi kesulitan kami, dan bersedia membantu menerima dana tersebut untuk diteruskan kepada struktur yang lebih tinggi di GAM. Kami lega mendengarnya. Percakapan selanjutnya kami isi dengan obrolan ringan seputar perkembangan situasi yang ada, dan tak lama kemudian kami pamit pulang untuk meluncur kembali ke kebun. Kami bisa pulang sampai ke rumah lagi sekitar jam 8 malam. Toni masih standby mengawasi rumahku, dan terlihat lega ketika menyaksikan kami berdua pulang sebelum jam 9 malam. Artinya dia tak perlu melapor ke pos Linud 700.

Keesokan harinya kami siapkan orang untuk mengirim uang itu ke Teungku Marzuki. Selama beberapa hari uang 70 juta itu aku sembunyikan di gudang rumahku. Rumah dinasku punya tiga kamar. Satu kamar buat aku sekeluarga, satu buat pembantu rumah, satu lagi kosong aku fungsikan sebagai gudang. Tumpukan uang aku bungkus koran dan kumasukkan tas plastik, lalu aku simpan di bawah tumpukan karung goni bekas pupuk di pojok ruangan gudang itu.

Kepada kurir yang menghubungkan dengan GAM penyandera di bagian hutan aku perintahkan untuk menyampaikan hal ini. Bahwa sisa tebusan sudah dibayarkan, dititipkan melalui Teungku Marzuki. Konon mereka agak marah mendengar ini dan tetap memaksa uang 70 juta itu harus diserahkan kepada mereka. Kami tidak begitu lagi menghiraukan permintaan mereka. Secara struktur, kedudukan Teungku Marzuki lebih tinggi dibanding sisa pasukan GAM yang masih bertahan di hutan Gunung Kong sebelah atas afdeling 4.

Setelah uang itu kami kirimkan ke Teungku Marzuki, permasalahan kami dengan GAM sementara waktu sudah selesai. Tapi tekanan dari pihak SGI masih terus berlanjut. Mereka belum masuk kebun lagi. Tapi kepada orang PTP yang terlihat di Alue Bilie mereka sering menanyakan dan mencoba mengusut informasi tentang perkembangan situasi di dalam kebun.

(Beberapa bulan kemudian, ketika pasukan Linud 700 sudah hendak pulang ke Makasar, aku mendengar cerita ini ; " bahwa waktu itu pernah terjadi di suatu malam satu kendaraan SGI mau masuk ke PTPN. Alasannya hendak mengisi bahan bakar. Oleh Danpos dicegah, tidak diizinkan masuk ke wilayah kebun. Besok siang saja kalau mau isi BBM, begitu katanya. Orang SGI sempat agak memaksa. Pak Parno tetap bertahan menghalangi. Bahkan sebagian personel pos sudah diperintahkan untuk mengambil posisi siap tembak disertai perintah ," kalau memaksa, tembak saja". Keadaan sempat tegang sejenak. Syukurlah anggota SGI itu mengalah. Mereka balik kanan dan pulang kembali ke Alue Bilie. Aku agak merinding saat mendengar cerita ini. Pak Parno sendiri tak pernah menceritakan hal ini kepadaku. Ketika aku konfirmasikan hal ini padanya dia tak menjawab, hanya menepuk pundakku sambil tersenyum kecil ")

Begitulah, urusan dengan GAM sementara waktu beres. Tapi tekanan dari SGI makin kuat kami rasakan. Aku pun sudah tak berani pergi ke Alue Bilie. Siang hari aku habiskan waktu memantau kemungkinan SGI masuk. Sedang malam hari kami habiskan di dalam komplek. Tetap dengan kekhawatiran jika sewaktu-waktu ada anggota SGI masuk. Malam hari saat di kamar, aku pandangi istriku tidur berdampingan dengan anak sulungku yang saat itu berusia 3 tahunan. Wajah mereka berdua tidur diliputi keteduhan. Sedangkan aku memandang mereka dengan perasaan tak menentu di dalam dada. Senyum istri dan tawa renyah anakku justru begitu terasa menusuk dada. Apakah aku masih mampu menjaga keselamatan mereka berdua dalam situasi seperti ini. Jika sewaktu-waktu aku diculik GAM atau mungkin diinapkan di Pos Kotis SGI, lalu bagaimana dengan nasib mereka berdua. Batinku betul-betul kacau. Aku rasakan benar makna dari istilah yang sering disebut orang "nyawa kita bagaikan telur di ujung tanduk". Ketika senja menjelang gelap malam, benar-benar tak yakin apakah masih akan bertemu dengan pagi hari. Begitupun ketika masuk pagi hari, aku tak yakin masih bisa bertahan hingga sore hari nanti. Jika saja waktu itu aku hanya sendiri, tanpa ada istri dan anak sulungku itu, aku akan memilih tinggal di luar rumah. Berpindah tempat menginap dari satu rumah ke rumah lainnya. Ataupun menginap di areal kebun yang tersembunyi, mungkin akan lebih terasa aman dan nyaman buatku. Ahhhh.... harga nyawa di aceh waktu itu memang begitu murahnya. Bahkan lebih murah dari harga sebatang rokok. Situasi pada saat itu merupakan salah satu episode terberat dalam sejarah kehidupanku. Aku ingat pada suatu waktu, ketika ruang batinku terasa begitu sempitnya, aku ke rumah pak Hariadi di sebelah rumahku. mengobrol bertiga dengan Toni. Tanpa terasa kesadaranku terlelap. Aku tidak begitu ingat, apakah saat itu terlelap tidur atau pingsan. Yang jelas saat itu kurasakan begitu sempitnya ruang napas dalam dadaku...

Aku sempat mengobrolkan kesulitan ini kepada pak Parno. Dan dia memberikan suatu solusi untuk memecahkan kebuntuan situasi ini. Tapi syaratnya harus pak ADM sendiri yang menyampaikan kepada SGI. Kebetulan hari-hari itu memang sudah sesuai rencana, pak ADM akan kembali ke kebun. Ketika aku mendengar kabar mobil dinas ADM sudah masuk kebun aku bergegas menyusulnya ke komplek induk. Tapi yang masuk ternyata hanya supirnya, Pranoto. Pak ADM dan KTU masih tinggal di Meulaboh, ada urusan yang harus diselesaikan, dan besok Pranoto akan kembali ke Meulaboh untuk menjemput mereka. Aku agak kecewa, tapi kucoba menyabarkan diri sendiri untuk menunggu satu hari lagi. Esok harinya aku pantau kalau Pranoto sudah berangkat lagi ke Meulaboh. Seperti kemarinnya, begitu sore hari aku dengar kabar mobil itu sudah masuk kebun lagi langsung aku datangi ke komplek induk. Kembali kekecewaan yang aku dapat. Pranoto hanya pulang sendiri. Besok pagi katanya akan berangkat jemput lagi ke Meulaboh. Saat itu juga kusampaikan kalau aku akan ikut dengan dia besok ke Meulaboh. Aku harus bertemu langsung dengan pak ADM membicarakan masalah ini. 

Besok paginya akhirnya aku ikut pranoto berangkat. Niatku sudah bulat. Apapun caranya pak ADM harus kembali ke kebun dan menyelesaikan permasalahan terkait SGI. Sampai di Meulaboh, kami ketemuan di wartel simpang pelor pusat kota. Pak ADM sedang di dalam, aku sempatkan ngobrol sebentar dengan KTU. Dari dia aku tak mendapat kepastian apakah benar hari ini pak ADM akan masuk kebun. KTU masuk, aku menunggu di luar. Tak begitu lama KTU keluar lagi. Dia sampaikan bahwa pak ADM masih ada urusan di Meulaboh, hari ini belum bisa masuk kebun. Aku masygul sekali mendengar kabar ini. Ke KTU aku sampaikan, kalau sore ini pak ADM tidak ikut bareng aku kembali ke kebun, maka besok aku akan meninggalkan kebun. Dan kalau aku sudah tidak ada di dalam kebun, aku tak menjamin karyawan lain masih berani tinggal di dalam kebun. Semoga aku tidak dianggap takabur berpikiran seperti itu. Karena memang seperti itulah kondisi di dalam kebun saat itu. Karyawan dan keluarganya masih tenang tinggal di dalam kebun karena kami, para stafnya, juga masih ada di dalam kebun. Kalau kami keluar mereka pasti bisa mencium gelagat kurang baik yang sedang terjadi. KTU kembali masuk ke dalam wartel, entah apa yang mereka bicarakan. Tak lama mereka berdua keluar. Pak ADM melirikku sebentar dengan wajah sedikit masam dan merah. KTU menyusul di belakang sambil membisikiku, pak ADM akan ikut sekarang juga masuk ke kebun. Alhamdulillah...

Di perjalanan kami sempatkan berbincang. Mengatur dan merancang strategi menghadapi situasi ini. Aku tak begitu peduli meskipun jawaban-jawaban beliau terdengar kurang nyaman di telingaku. Yang jelas semua perkembangan yang telah terjadi di kebun aku ceritakan. Termasuk masukan dari pak Parno tentang strategi menghadapi SGI. Semuanya aku sampaikan. Walaupun saat itu mungkin belum sepenuhnya bisa beliau terima, yang pasti semua rancangan strategi aku sampaikan semua. KTU yang duduk di sebelah sempat melirikku sambil tersenyum kecil melihat mukaku yang memerah dan nada suaraku yang sempat meninggi.

Sore hari kami sampai ke kebun. Dan seperti yang aku duga, esok harinya komandan SGI masuk kebun dan menemui ADM. Aku tak ikut pembicaraan itu di ruang ADM. Aku menunggu di ruang administrasi, memantau lewat KTU yang ikut dalam pembicaraan di dalam. Setelah mereka pulang, aku tanyakan hasilnya ke KTU. Dan memang benar, pembicaraan di awal sempat alot. Tetapi setelah pak ADM menyampaikan sesuai yang disarankan oleh pak Parno, keadaan menjadi lebih cair dan akhirnya bisa menemukan kesepemahaman.

Kondisi di kebun akhirnya normal kembali. Relatif tenang seperti keadaan sebelum terjadi penyanderaan. Aku tak perlu lagi siang-siang memantau jalan masuk kebun, dan suasana malam hariku berlangsung lebih nyaman. Terasa damai. Beban berat yang selama beberapa minggu itu menghimpit kami telah terlepas. Akupun mempersiapkan rencana yang telah aku susun sebelum kejadian ini. Mengambil cuti dan pulang ke jawa, menenangkan jiwa dan pikiran yang sempat kacau balau sekian waktu itu. Aku ingat hari minggu itu kami sudah menyiapkan pakaian untuk disusun dalam tas, makanan khas aceh pun sudah kami siapkan untuk oleh-oleh keluarga di jawa. Tetapi pada hari minggu itu aku terima kabar melalui radio SSB, bahwa aku harus mengikuti kegiatan Kursus Manajemen Perkebunan Tingkat Dasar (KMPD) di LPP Medan selama 5 minggu.

Rencanapun sedikit kami rubah. Hari selasa kami bertiga (aku, istri dan anakku) berangkat menuju Medan. Saat itu sudah ada penerbangan udara dari Meulaboh menuju Medan. Menggunakan SMAC, maskapai penerbangan dengan pesawat kecil bermuatan sekitar 18 penumpang. Untuk sementara waktu istri dan anakku tinggal di rumah orang tua angkat kami, Bapak Haswin Naszir, di daerah Simpang Limun dan aku mengikuti kegiatan kursus di kampus LPP Medan. Selama 5 minggu aku menjalani kursus dan setelah berakhir langsung kami sambung ke rencana awal, pulang kampung ke Jawa. Meskipun setiap tahun pasti pulang kampung, kepulanganku saat ini terasa sedikit berbeda. Terasa sekali kebahagiaan di saat aku sekeluarga menginjakkan kaki di landasan Bandara Sukarno-Hatta. Menghirup kembali udara ketenangan di Pulau Jawa.

Alhamdulillah....

Kejadian tahun 2002 ini masih tengiang kuat di ingatanku. . Bagaimanapun juga aku harus memikirkan keselamatan orang-orang yang telah membantuku. Orang seperti Bang Zulkarnaini, Raja Kiba maupun Pak Hariadi rela mempertaruhkan kehidupannya dalam mengurus masalah ini. Aku juga harus sekerasnya mempertimbangkan keselamatan mereka. Kalaupun aku masih tetap bisa hidup, tapi ada orang lain yang kehilangan kehidupan demi membantuku, maka kepedihan yang aku rasakan pastinya tak akan jauh berbeda. Detik-detik ketegangan yang terjadi saat itu masih bisa aku rasakan. Aku sangat meyakini bahwa keberhasilan melewati masa-masa yang sulit saat itu terjadi semata-mata karena pertolongan Allah SWT. Aku ingat, beberapa kali terjadi saat itu, ketika suasana sedang membaik terkadang tersirat di dalam hatiku perasaan kebanggaan bahwa aku mampu melewati kesulitan ini. Maka tak lama  kemudian keadaan akan langsung berubah lagi. Terjadi perkembangan suasana yang tidak menguntungkan. Situasi memanas lagi, kembali tegang dan mengkhawatirkan. Subhanallah, begitu terjadi beberapa kali. Aku berkesimpulan bahwa kita memang harus benar-benar mampu menguasai suasana isi hati. Bahwa situasi yang membaik, perkembangan keadaan yang menguntungkan, adalah sepenuhnya terjadi karena kehendak kekuasaan Allah SWT. Sedikitpun bukan karena kelihaian maupun kehebatan kita. Apalah daya kita ini. Makhluk lemah yang hanya menyandarkan dirinya kepada Yang Maha Perkasa. Penguasa segenap alam raya beserta seluruh isinya. Allah begitu sayang kepada kita. Menegur kita dengan cara-Nya yang Agung. Agar kita tak menjadi lupa diri dan dikuasai oleh rasa takabur..

Tak ada daya dan upaya, selain atas kehendak-Nya.........
Argo Kumoro Anak Kebon.. Lahir.. Besar.. Dan menua di Perkebunan

0 Response to "Kisah Pembebasan Sandera di Aceh"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel