Gempa & Tsunami Aceh 2004.. Dalam sekejap, ratusan ribu nyawa kembali ke asalnya ..




Jumat pagi, tgl 24 desember 2004.

Matahari pada pagi hari itu muncul seperti biasa. Aku memulai pagi dengan mengerjakan tugas-tugas rutin sebagai Kepala Afdeling 1 Kebun Ujung Lamie PT Perkebunan Nusantara 1, di Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya Nanggroe Aceh Darussalam. Di sepanjang pagi hingga waktu ibadah Jumat siang itu, pikiranku sudah sibuk merancang rencana acara untuk besok hari. Kesempatan yang agak jarang ditemui, mendapati libur tanggal merah di hari sabtu. Artinya, mendapat libur nonstop dua hari, karena bersambung dengan libur hari minggu. Sudah kurancang acara untuk esok hari. Hari sabtu ke Meulaboh, malamnya menginap di rumah Kepala TU yang ada di kota itu. Rumah itu cukup besar, tapi kosong, hanya ada satu pemuda yang ditugasi menjaga rumah itu. Hari sabtu akan aku gunakan untuk jalan-jalan di kota Meulaboh. Mungkin nongkrong di tempat persewaan vcd, jajan bakso di samping Hotel Meuligoe (bakso beneran, karena bakso yang ada di sekitar kebun hanya berisi mie dan suwiran-suwiran daging), atau ke toko handphone langgananku untuk instal game atau lagu. Malamnya bisa santai interlokal ke jawa dari wartel, bercengkerama dengan istri serta anak-anakku. Minggu paginya mungkin bisa leluasa berlibur ke pantai. Duduk-duduk di kedai atau saung pantai, menikmati kopi terbalik. Syukur kalo bisa bareng bang Ali Devi, atau Effendi, rekanan kantor yang tinggal di Meulaboh.

Kopi Terbalik Aceh

Tapi rencana yang sudah tersusun rapi itu menjadi agak buyar, ketika habis shalat jumat kami dipanggil ke rumah Pak ADM (Kepala Kebun). Ada tiga orang kepala afdeling yang dipanggil. Aku, pak Edward dan pak Iqbal. Pak ADM terlihat sedikit kesal dengan salah seorang diantara kami. Beliau berbicara kepada kami bertiga dengan nada yang agak keras, serta raut wajah yang sedikit kaku. Khusus untukku, beliau memberi tugas agar besok hari sabtu mempersiapkan bibit sawit pre-nursery untuk dikirim ke Aceh Timur menggunakan truck. Jangan kemana-mana kalau bibit itu belum terkirim, begitu pesan beliau kepadaku waktu itu. Fikiranku menjadi agak kurang nyaman sepulang dari rumah beliau. Sepanjang malam masih terus berhitung tentang kemungkinan acara besok hari. Masih mungkin atau tidak besok hari sabtu berangkat berlibur ke Meulaboh...

Aku semakin kesal ketika sabtu pagi truck yang kami tunggu itu tak kunjung datang juga. Sekitar tengah hari baru datang, dan sama sekali belum dipersiapkan pembuatan rak-rak untuk penyusunan bibit di bak trucknya. Huuffhhhh, ya sudahlah, kami coba menyiapkan secepat mungkin. Waktu beranjak semakin sore, angan fikiran untuk menikmati libur akhir pekan selama dua hari di Meulaboh mulai meluntur. Total pekerjaan memuat sekitar 5 ribu-an bibit itu selesai hingga sekitar jam 9 malam. Sambil menahan gatal gigitan nyamuk, terkadang aku mengomel dengan nada bercanda diantara pekerja persemaian pre-nursery yang tepat ada di depan rumah. Aku ingat kata-kataku malam itu, bahwa kita payah malam-malam memuat bibit, sedang yang lain pada nyaman menikmati liburan di kota. Hehehe... 

Minggu pagi, aku duduk santai di depan TV. Ditemani secangkir kopi dan sebatang rokok. Menikmati siaran tv sambil mencoba melupakan kekecewaan akibat gagalnya rencana liburan dua hari di Meulaboh. Hingga saat sekitar pukul 8 kurang 15 menit... tiba-tiba "GREGEDEEGGHH..." suara derak kayu di atap rumah. Rumah dinasku waktu itu masih semi permanen, satu meter tembok lalu disambung papan diatasnya. Kursi yang aku duduki seperti bergoyang. Aku sadar... sedang terjadi gempa. Aku coba bersikap tenang, karena bagi kami yang tinggal di Aceh, kejadian gempa bukan hal yang luar biasa. Setiap tahun biasanya ada terjadi gempa.
Suara derak kayu terdengar semakin keras dan terus berulang. Gelas dan piring di atas meja di depanku juga terdengar bergeser berdentingan. Sayup mulai terdengar di luar suara-suara teriakan orang. Jeritan ibu-ibu, dan tangisan anak-anak. Berfikir ini bukan gempa biasa aku segera bangkit, berlari keluar rumah. Aku lihat di samping kiri kanan rumah, semua penghuninya sudah diluar. Sebagian ada yang mengumandangkan adzan. Ibu-ibu menangis dan anak-anak kecil menjerit-jerit. Aku terus melangkah meninggalkan halaman, menuju pagar persemaian sawit di seberang jalan. Suasana waktu itu begitu mencekam. Terdengar suara menderu bersahutan di sekeliling perumahan (aku duga itu adalah suara dari ribuan pelepah dan daun kelapa sawit yang saling bergesekan). Diselingi suara-suara barang pecah dari dalam rumah-rumah kami. Kendaraan alat berat road greeder yang parkir di samping tempat aku berdiri bergerak sendiri maju dan mundur. Di sebelah kanan rumah, pak Alfred Sitompul berdiri di depan rumah dengan raut wajah yang tegang. Sedang di sebelah kiri, pak Deddy Mulyadi beserta istri dan dua anak balitanya saling terduduk berangkulan. Anak-anaknya menangis...

Aku perkirakan kejadian itu berlangsung sekitar 10 - 15 menit. Rokok yang terselip di jari tangan sampai habis terbakar, goyangan gempa itu belum terhenti. Aku pegang erat pagar persemaian. Kalau tanpa berpegangan sesuatu kita bisa terjatuh. Goyangan itu sangat kuat. Tanah yang kami pijak serasa menggelombang. Perutku terasa sedikit mual. Rasanya seperti kita naik bus sambil berdiri, berjalan kencang di jalan yang menurun dengan banyak tikungan tajam. Bergoyang kekiri kekanan, mengaduk-aduk isi perut. Aku sempat berfikir, apakah hari ini akan terjadi kiamat ? Waktu dimana semua kehidupan dunia akan berakhir....?

Fikiranku terus terbayang dengan wajah-wajah keluargaku yang terpisah ribuan kilometer di pulau jawa sana. Wajah ibu di Semarang, serta istri dan anak-anak di Banjarnegara. Suara tangis wanita dan jeritan anak-anak, suara lelaki mengumandangkan adzan, serta bunyi menderu dari ribuan pohon di sekitar kami begitu mencekam. Goyangan gempa datang silih berganti. Bergelombang. Beberapa saat terasa tenang, lalu datang lagi goncangan yang lebih keras. Saling bersusulan.
Subhanallah...

Setelah 20 menit berlalu, aku rasakan bumi yang dipijak kembali tenang. Aku, Pak Deddy dan Pak Sitompul saling berpandangan dari kejauhan. Tanpa terucap kata apapun. Ketika suasana sudah dirasa aman, aku beranikan diri untuk masuk ke dalam rumah. Begitu pintu rumah terbuka, suasana rumah terlihat berantakan. Gelas serta vas bunga yang bergelimpangan di lantai. Pecahan botol syrup serta isinya berleleran di depan TV, jatuh dari lemari gantung yang menempel di dinding. Aku masuk kamar, pakaian-pakaian yang sebelumnya tersimpan rapi di lemari bertaburan di lantai. Tapi yang paling membuat aku merinding adalah ketika kulihat suasana kamar mandi. Bak mandiku terbuat dari semen yang menempel kuat di lantai, berukuran sekitar 1 meter persegi. Air yang sebelumnya memenuhi bak mandi itu kini tinggal setengahnya. Terbayang dalam fikiranku, betapa kuat goncangan gempa yang barusan terjadi. Bukan lagi benda di atas tanah yang saling bergeseran, tapi memang lapisan tanahnya yang bergoyang. Mungkin seperti kalau kita mengibaskan tikar atau karpet di rumah kita, begitulah yang terjadi barusan di lapisan tanah bumi Aceh Darussalam. Aku duduk termangu sejenak di dalam rumah. Mencoba menata hati, berfikir dan merenung, mencari jawaban atas peristiwa yang barusan terjadi. Apakah semua tempat di bumi ini juga mengalami hal yang sama ? Apakah keluargaku di jawa dalam keadaan baik-baik saja ? Fikiranku makin resah. Lalu kuputuskan untuk mencoba hubungi keluarga di jawa dengan telepon genggamku. Di areal kebun, ada satu tempat dimana terdapat signal yang lumayan kuat untuk membuka komunikasi seluler. Aku ambil HP dan mengeluarkan sepeda motor, meluncur ke tempat yang bersinyal tersebut. Tempat itu ada di pinggir jalan antara kampung dan komplek kantor induk. Oleh pasukan TNI yang bertugas, di lokasi itu dibangun sebuah saung atau gubug, sehingga siapa saja yang hendak bertelepon akan terasa lebih nyaman. Komplek rumahku berada di sebelah utara kampung, sedang komplek kantor induk berada di sebelah timur kampung. Ie Mirah nama kampung itu.

Aku pacu sepeda motor dengan suasana hati yang masih tegang. Ketika masuk kampung, terlihat suasana pasca kepanikan. Ada beberapa rumah yang dindingnya jebol, atau atap rumah yang berserakan.

Sampai lokasi, aku hidupkan Handphone. Tapi di layar tidak terlihat tanda signal. Aku tunggu sebentar, mencoba lagi dengan berpindah ke beberapa tempat. Tetapi tetap tidak terlihat tanda signal. Akhirnya kuputuskan untuk mencoba pergi ke Alue Bilie, kota kecamatan terdekat, sekitar 14 km dari perumahan. Di sana ada wartel, semoga bisa menelepon ke Jawa melalui wartel itu.

Ketika meninggalkan jalan tanah dan memasuki jalan aspal jalur Blang pidie - Meulaboh, suasana kepanikan terlihat tak jauh berbeda dengan suasana di kampung Ie Mirah. Melewati pasar Lamie, jalan aspal yang tepat berada di sisi sungai besar itu terbelah sepanjang belasan meter. Pemandangan rumah yang rusak serta kerumunan warga masih banyak terlihat hingga sampai ke kota kecil, Alue Bilie. Menuju wartel, terlihat agak ramai kerumunan orang. Aku parkir motor lalu menuju ke dalam. Sambungan telekomunikasi di wartel ternyata juga mengalami gangguan. Orang berkumpul di wartel untuk menonton televisi. Saluran PLN langsung terputus saat gempa tadi. Di wartel terdapat genset, sehingga masih ada aliran listrik untuk menonton televisi. Ada sekitar satu jam aku duduk di wartel sambil menonton TV mencoba mengerti perkembangan yang terjadi. Ternyata gempa tadi melanda hampir semua wilayah di pulau sumatera, serta beberapa negara tetangga, bahkan juga di sebagian kecil pulau jawa. Diberitakan air laut menjadi pasang di kota Lhokseumawe Aceh Utara. Tanki timbun CPO punya PTPN 1 yang ada di kebun Cot Girek Aceh Utara juga diberitakan roboh. Kalau tidak salah sempat ada wawancara dengan salah seorang Direksi PTPN 1 di berita televisi tersebut. Pikiranku agak sedikit tenang. Paling tidak bencana barusan hanya menimpa di sebagian pulau sumatera. Tidak sampai ke Jawa Tengah.

(Saat berangkat dari rumah aku mendengar semacam bunyi dentuman dari arah pantai. Jarak dari kebun ke arah pantai sekitar 15 - 20 km. Ketika itu sama sekali tak terpikir bahwa itu mungkin suara gelombang air laut yang menghantam daratan. Kusangka dentuman bom. Pikiranku menggerutu saat itu "saat gempa seperti inipun GAM dan TNI masih sempat juga kontak senjata")

Sekitar satu jam kemudian aku tinggalkan wartel dan berangkat pulang menuju kebun. Di toko kepunyaan putra pak Nasrul (asisten kepala) aku sempat singgah. Duduk mengobrol dengan bang Safrizal, petugas keamanan kebun yang biasa mengawal kendaraan pengantar anak sekolah. Obrolan kami tak jauh dari peristiwa yang barusan terjadi. Bang Safrizal ini sedang menunggu istrinya yang tadi pagi berangkat ke kota Meulaboh. Setelah beberapa saat mengobrol dengan beberapa teman, aku lalu meneruskan perjalanan, pulang kembali ke kebun. Aku juga dapat kabar, Pak ADM hari sabtu kemarin berangkat ke Meulaboh dengan supir dinasnya, Pranoto. Pak ADM punya rumah kontrakan di Meulaboh, tempat yang biasa beliau gunakan untuk menginap jika sedang berada di Meulaboh.



 
 (Gambaran saat Gempa Melanda Bumi Aceh)
 

Malam harinya kami lewati tidak seperti biasa. Di komplek aliran listrik menggunakan genset yang dihidupkan jam 6 sore, dan mati jam 6 pagi. Jadi kami masih bisa menikmati listrik, meski arus PLN konon terhenti total. Sepanjang malam aku menonton berita televisi yang sebagian besar sudah menyiarkan kejadian gempa di Aceh. Tapi belum ada satupun stasiun yang dapat melaporkan suasana di kota Banda Aceh, apalagi suasana kota Meulaboh di Aceh Barat. Berita yang ada baru bisa mengabarkan kondisi di kota Lhokseumawe, Aceh Utara. Dalam fikiran kami sama sekali belum terlintas, bahwa sebagian kota Meulaboh saat itu sudah rata dengan tanah. (Jarak antara kebunku dan Meulaboh sekitar 70 km, biasa kami tempuh dengan perjalanan selama 1 jam).
Pagi harinya, aktifitas yang kami lakukan tidak seperti hari-hari biasa. Hari itu tidak ada satupun karyawan kebun yang aktif kerja seperti hari biasa. Kami hanya duduk-duduk di kantor, membicarakan seputar kejadian gempa yang terjadi kemarin. Agak siang aku menuju komplek kantor induk. Di komplek ini genset dihidupkan siang hari untuk keperluan kantor, jadi kami bisa menyalakan televisi untuk melihat siaran berita. Siaran TV masih didominasi kejadian gempa di aceh. Tapi berita tentang Banda Aceh dan Meulaboh seingatku belum tersiarkan di televisi pagi itu. Menjelang siang aku pergi lagi ke alue bilie. Disitulah aku mulai mendengar "sesuatu" terjadi kemarin di Meulaboh. Beritanya masih simpang siur. Intinya, ada air pasang yang melanda kota Meulaboh. Aku juga dengar kabar kalau istri bang syafrizal yang ditunggu kemarin ditemukan meninggal akibat air pasang itu. Fikiranku betul-betul mulai terasa resah, sama sekali tidak nyaman. Ada "sesuatu" terjadi, tapi kami tidak tahu itu apa. Di siaran TV mulai ada berita kalo gelombang air pasang juga melanda kota Banda Aceh. Korban tewas mencapai ratusan orang. Dalam fikiranku, kalau Banda Aceh terkena, bagaimana dengan kota Meulaboh ? Bukankan jarak yang terdekat dengan pusat gempa itu adalah Meulaboh ?

Selepas siang hari, aku mendengar kabar kalau bapak ADM sudah kembali ke kebun, dengan menumpang sepeda motor. Aku bergegas masuk kebun lagi dan menuju rumah dinas beliau. Aku jumpai beliau duduk di saung / pos satpam di depan rumah. Aku hampiri dan duduk di sampingnya. Beliau kelihatan lemas dan pucat. Dengan suara lirih, beliau cerita kalau kota Meulaboh luluh lantak..

Terjadi gelombang air pasang, banyak korban jiwa yang melayang...

Aku terdiam, mencoba menerjemahkan kata-kata beliau dalam gambaran di fikiranku. Mobil beliau terjebak di kota Meulaboh, tidak bisa keluar karena jalan tertutup reruntuhan. Saat gempa itu terjadi beliau sedang berada di mobil di seputaran kota Meulaboh. Ketika akan masuk ke kota, dari kejauhan beliau sempat melihat gelombang air pasang laut yang menerjang kota Meulaboh. Mobil beliau sempat berputar arah dan menghindar dari kota menuju tempat yang aman. Aku ingat kejadian yang agak menarik saat itu. Beliau cerita kalau selama dua hari tak ada makanan yang bisa beliau makan. Spontan aku tawarkan nasi bungkus bawaanku yang rencana mau aku bawa pulang ke rumah. Subhanallah, beliau mau menerimanya. Aku bawa ke dalam rumah, dan menyuruh penunggu rumah untuk menyiapkannya dalam piring. Aku sempat melihat beliau menikmati nasi bungkus itu. Ada terselip rasa haru dalam fikiranku saat itu. Bapak ADM ini (Bp.  Hasby A Aziz) adalah salah satu pimpinan yang sangat aku hormati. Banyak sikap-sikap beliau yang sangat layak untuk aku jadikan teladan dan panutan dalam hidupku. Selesai beliau makan siang, kami bertiga ( dengan Pak KTU ) berbincang untuk mengambil sikap dalam kondisi ini. Akhirnya diputuskan, hari selasa besok, pak KTU akan mencoba mencari beras dan sembako ke Blang Pidie sebagai persiapan menghadapi keadaan darurat ini. Lalu hari rabunya, aku dan Pak KTU akan menuju Meulaboh untuk melihat perkembangan situasi. Terutama mencoba mencari berita tentang keadaan karyawan kebun Batee Puteh yang tinggal di Meulaboh (Kebun Batee Puteh adalah kebun PTPN 1 yang terletak di sebelah barat Meulaboh. Arealnya cukup luas, kalau tidak salah sampai 8000-an hektar terbagi menjadi belasan afdeling. Tetapi ketika situasi keamanan semakin tidak menentu, hanya tinggal dua afdeling yang masih bisa bertahan. Sedang kebunku, Ujung Lamie, terletak di sebelah timur Meulaboh, dengan luas sekitar 3500-an hektare).

Hari senin dan selasa itu kami habiskan dengan kegiatan-kegiatan yang serba spontanitas, berbeda dengan rutinitas sebelumnya. Aku sampaikan ke pemilik kedai/warung kelontong di komplekku, Teungku Lidan, agar membatasi penjualan minyak tanah, minyak goreng dan sembako penting lainnya. Kami upayakan agar tidak terjadi penimbunan sembako oleh orang-orang yang hanya mementingkan diri sendiri.

Malam harinya berita kota Meulaboh luluh lantak sudah tersiarkan di televisi. Diberitakan korban yang tewas sudah mencapai ribuan jiwa. Perasaan begitu campur aduk melihat tayangan Metro-TV, menyiarkan suara presenter Najwa Sihab saat pertama kali mendarat di kota Meulaboh dengan helikopter, dengan terbata-terbata melaporkan situasi Meulaboh yang porak poranda, dan mayat bergelimpangan di mana-mana..
Fikiranku semakin galau memikirkan keluarga di Jawa. Mereka pastilah gelisah kehilangan kabar tentang keadaanku.. 

Hari selasa ini kami habiskan untuk menginventarisasi kerusakan-kerusakan yang dialami kebun akibat gempa. Ada beberapa jembatan yang patah. Kegiatan pekerjaan pun terhenti. Disamping para karyawan belum bisa memulai kerja, kamipun tak tahu buah sawit yang kami panen ini hendak dikirim kemana. Selasa malam berita di televisi semakin menakutkan. Dilaporkan kalau gempa kemarin itu ternyata juga terjadi di beberapa negara tetangga, malaysia dan thailand. Korban yang jatuh pun diperkirakan sudah mencapai belasan ribu jiwa (laporan besaran korban jiwa ini tersiarkan secara bertahap. Mulanya hanya ratusan, lalu ribuan, belasan ribu, puluhan ribu hingga akhirnya ke angka ratusan ribu jiwa). Subhanallah,  berita jumlah korban jiwa yang muncul berangsur-angsur seperti ini betul-betul membuat emosi jutaan umat manusia yang mengikuti perkembangan pasca gempapun seperti teraduk-aduk secara perlahan lalu memuncak.

Rabu pagi, kami bersiap meluncur ke Meulaboh. Memakai kendaraan dinas Taft GT, kami bertiga berangkat ke Meulaboh. Aku, Pak KTU dan Supir Pranoto. Setengah jam sampai di kota kecil Simpang Peut, tidak banyak hal aneh yang kami temui, kecuali jembatan yang pada rusak sehingga kendaraan harus super hati-hati ketika melewatinya. Memasuki daerah kebun sawit Socfindo Seunagan mulai terlihat bekas tanda-tanda rendaman air. Sekitar semeter batang pohon sawit terlihat berwarna gelap hitam. Jalur lalu lintas sangat sepi waktu itu. Kami hanya berpapasan dengan beberapa kendaraan saja. Situasi begitu berubah ketika memasuki jalan yang bersebelahan dengan pantai. Bangunan penjara yang ada di kiri jalan terlihat porak poranda. Ketika kami melihat ke arah kanan jalan, pada jarak 50-an meter terlihat mobil-mobil yang berserakan, tersangkut pada sisi hutan bakau. Bangunan rumah yang roboh makin banyak kami temui. Kondisi jalan juga belum terlalu lancar. Bahkan ada bangunan rumah kayu yang berdiri tepat di tengah jalan, mungkin terseret arus dari awal tempatnya. Mobil kami harus meliuk-liuk ke kanan dan kiri menghindari tumpukan kayu dan lumpur yang masih banyak menghalangi jalan. Kami mulai memasuki kota Meulaboh. Suasana begitu lengang, tidak seramai seperti biasanya. Terlihat jenazah-jenazah yang bergeletakan di pinggir jalan..

Pemandangan begitu terbuka di kota Meulaboh saat itu, tidak seperti biasanya. Mungkin dari banyaknya bangunan yang roboh, rumah-rumah penduduk maupun gedung-gedung pemerintahan. Masuk kota Meulaboh, mulai terlihat ramai orang. Kebanyakan saling bergerombol di sisi jalan. Bapak-bapak, ibu-ibu, maupun anak-anak. Dengan membawa bungkusan-bungkusan barang sisa harta mereka yang masih bisa diselamatkan. Kami langsung menuju rumah Pak KTU. Rumah tingkat itu masih utuh. Hanya terlihat bekas rendaman lumpur setinggi lebih dari satu meter di dindingnya. Kami turun, Pak KTU memeriksa rumahnya, kami coba berbincang dengan beberapa tetangga yang kami temui. Semua orang dilanda kegalauan dan kebingungan. Tidak tahu apa yang bisa dan musti dikerjakan. Saluran listrik dan air bersih di Meulaboh macet total. Aku dan Pranoto pergi mengendarai motor mencoba melihat lebih dekat situasi kota Meulaboh. Jenazah-jenazah yang bergeletakan semakin banyak kami temui. Di persimpangan jalan rumah Bang Ali Devi kami berhenti. Dari jarak 100 meter lokasi rumah itu sudah terlihat. Semuanya roboh, rata dengan tanah. Pemandangan begitu lepas, bahkan sampai menjangkau ke tepian pantai. Banyak orang terlihat berdiri diatas tempat reruntuhan rumah-rumah itu. Salah seorang ibu tiba-tiba mendekat dan menyapa kami. Dia cerita kalau dialah pemilik rumah yang sudah roboh itu. Tapi dia tidak tahu siapa itu orang-orang yang berada di atas reruntuhan rumahnya mengais barang-barang. Ibu itu mungkin berfikir kalau kami adalah aparat TNI. Kejadian yang sering sekali aku temuin. Dengan muka "jawa" dan rambut agak gondrong, aku sering kali disangka anggota SGI (Satuan Gabungan Intelijen). Bahkan dari anggota TNI sendiri beberapa kali salah menyangka demikian. Aku kasih ke ibu itu air mineral botol dan beberapa makanan bekal kami. Kami kemudian mencoba semakin mendekat menuju pantai, tapi terhenti di pinggiran kota Meulaboh karena jembatan roboh terputus. Di pinggir jembatan, tak jauh dari kami berhenti, sesosok mayat terlihat tergeletak. Kusam, tiada seorangpun yang mengurusnya....

Kami kembali lagi ke rumah pak KTU, dan bersama menuju rumah bang Erfan Lubis, asisten atau Kepala afdeling kebun Batee Puteh. Rumah kontrakannya tepat di sebelah rumah sakit. Bau busuk terasa begitu menyengat ketika kami berdiri di depan rumah itu (mungkin bau jenazah yang menumpuk di rumah sakit). Rumahnya kosong, salah seorang tetangga bilang kalau keluarga Bang Erfan berada di rumah seorang polisi di Meulaboh. Kami menuju rumah itu. Istri bang Erfan, Fitri, menangis terisak menerima kedatangan kami. Sudah sekitar dua hari dia berada di rumah itu. Bersama kedua putrinya, Jeihan yang berusia 4 tahunan serta adiknya yang belum genap berusia setahun. Bang Erfan dan istrinya ini asli berasal dari medan, tanpa satu sanak saudarapun di kota Meulaboh. Sekitar 15 menit sebelum gempa bang Erfan berangkat menuju kebun bersama supir untuk mengantar logistik pangan para pekerja. Aku dan pak KTU sepakat bahwa Fitri serta kedua putrinya akan ikut dengan kami ke kebun Ujung Lamie. Sambil menunggu Fitri berkemas, kami mengobrol di depan rumah. Terlihat beberapa anggota polisi bergerombol di depan rumah, sebagian terduduk di trotoar jalan. Lusuh dan awut-awutan. Katanya salah seorang yang terduduk di pinggir jalan itu adalah Kapolres Aceh Barat. Terlihat lesu, lusuh, mukanya pucat tak bercahaya. Kalau tidak salah, istrinya menjadi korban tsunami, dan sampai hari rabu ini keberadaannya belum diketahui. Komplek Perumahan Polres Aceh Barat tepat berada di bibir pantai. Terbayang ketika gelombang tsunami menerjang, komplek beserta segenap isinya itu pasti luluh lantak tersapu gelombang raksasa. 

Aku sempat membawa telepon genggam. Tapi sama saja, di Meulabohpun tidak mendapatkan signal. Kami lalu berangkat pulang menuju kebun lagi, dengan segudang informasi perkembangan situasi kota Meulaboh yang berhasil kami himpun...

Malam hari, setelah mandi dan berganti pakaian hangat serta makan malam, aku duduk di depan tv. Melihat perkembangan yang terjadi sambil menikmati minuman panas. Fikiranku kembali melayang mengingat pemandangan-pemandangan yang aku lihat siang tadi. Kota Meulaboh yang luluh lantak, serta mayat-mayat yang bergeletakan di tepi jalan. Tanpa terasa air mata perlahan menggenangi wajahku. Seandainya kemarin hari sabtu aku jadi pergi dan menginap di Meulaboh, entah apa yang bakal terjadi. Pemandangan mayat-mayat yang bergeletakan di pinggir jalan itu kembali muncul dalam ingatanku. Bahwa mereka adalah ayah atau anak atau kakak maupun adik dari seseorang keluarganya. Mereka juga seperti aku, sebelumnya tidak menyangka bahwa di bumi aceh yang kami pijak ini bakal terjadi musibah sedahsyat ini. Dan sudah hari keempat, jenazah mereka bergeletakan tanpa ada yang mengurusnya. Aku teringat keluargaku di Jawa. Entah apa yang mereka fikirkan saat ini. Air mata terus saja mengalir. Walau tanpa kita kehendaki...

Hari kamis pagi, Alhamdulillah aku mendapat kesempatan untuk menghubungi keluargaku di Jawa. Kantorku mempunyai Handphone satelit, tetapi semenjak ada signal selular yang masuk, HP satelit ini tidak pernah terisi pulsa lagi. Mengingat kondisi saat itu, ada rekan yang menghubungi kantor pusat di Langsa menggunakan Radio SSB untuk meminta agar HP satelit ini diisi pulsa. Aku telepon ibu dan istriku di jawa. Dengan suara kelegaan luar biasa kukabarkan kalau aku selamat dan masih hidup...

Suara ibu dan istriku terdengar tersendat menahan tangis, sudah empat hari mereka dilanda kebingungan tentang keberadaanku. Salah seorang kakak ipar sempat menghubungi kantor pusat di Aceh Timur, tapi tidak mendapatkan kepastian jawaban. Semuanya serba tidak jelas, semuanya dilanda kepanikan luar biasa...

Saat kami sedang duduk-duduk di dalam rumah dinas ADM, aku pangku Jeihan, anak bang Erfan. Tiba-tiba sambil memegang daguku dan menatap ke arah pintu dia berucap ," itu papa.. Itu papa.. ," kami yang ada di ruangan itu saling berpandangan, bulu kudukku sempat merinding. Sampai saat itu, keberadaan bang Erfan belum diketahui. 
Hari Jumat pagi pak KTU pergi ke langsa. Saat itu ada penerbangan pesawat dari bandara Blang pidie menuju Medan. Fitri, istri bang Erfan beserta kedua anaknya sekalian diantarkan untuk pulang kepada keluarganya di medan.

Kami beserta Bang Irfan Lubis saat Pelatihan di Medan. Dua Tahun Sebelum Tsunami
Jumat siang selepas shalat, pak ADM memanggilku. Beliau menyampaikan berita bahwa ada perintah dari Kantor Pusat Langsa agar Kebunku Ujung Lamie mengirimkan tim sukarelawan ke Meulaboh, mengingat konon kabarnya besok hari sabtu akan ada kunjungan Presiden RI ke Meulaboh. Aku diberi arahan singkat untuk mencari dan membentuk anggota sukarelawan dan berkoordinasi dengan pasukan TNI yang bertugas di tempatku (saat itu dari Yonif 623 Kalimantan Selatan) untuk pengamanan di perjalanan. Sore itu aku mulai mencoba mencari karyawan-karyawan yang bersedia untuk menjadi relawan ke Meulaboh. Sama sekali tidak aku sampaikan bahwa rencana pengiriman tim ini ada kaitan dengan kunjungan presiden. Aku hanya menyampaikan bahwa kewajiban mengurus jenazah adalah fardhu kifayah. Jadi kalau sama sekali tidak ada yang mengurus, maka semua muslim yang ada di wilayah itu akan tersangkut dosa. Akhirnya sore itu terkumpul sekitar 12 orang yang bersedia berangkat. Dari ke-12 orang itu hanya 3 orang yang menyatakan kesanggupan dan keberanian untuk mengangkat jenazah. 9 orang lainnya bersedia berangkat karena aku bilang akan diberi tugas yang tidak terkait dengan urusan jenazah. Seperti memasak, atau mengangkat puing reruntuhan. Tim kami akhirnya siap, 14 orang termasuk aku dan supir ditambah 5 orang anggota TNI.

Sabtu pagi hari, kami berangkat. Sekitar 20-an orang memakai kendaraan dumptruck. Membawa bekal seadanya. Beras, minyak, ikan asin, mie instan, telur dan kompor serta perlengkapan lainnya. Masuk kota Meulaboh, tujuan pertama kami adalah rumah pak KTU sebagai Base Camp. Sementara rombongan membuat persiapan, aku menuju Posko PMI untuk melapor dan koordinasi. Banyak penjelasan yang kami dapat di situ. Bahwa ternyata kami adalah tim pertama yang akan masuk ke dalam reruntuhan. Tim-tim yang selama ini sudah bekerjasama dengan PMI baru mengambil jenazah yang bergeletakan di pinggir jalan lalu mengangkutnya menuju kuburan massal di luar kota Meulaboh. Belum ada tim yang langsung mengambil jenazah dari reruntuhan. Insya Allah kami adalah tim yang pertama. Kami mendapat beberapa kantong jenazah, sarung tangan serta masker untuk alat pelindung diri.

Tim kami kemudian langsung bekerja. Di ujung gang yang melintas depan rumah pak KTU terdapat tumpukan-tumpukan kekayuan bekas hanyut diterjang air. Kami menuju ke situ. Bau menyengat muncul dan hilang silih berganti. Kami olesi masker kami dengan minyak kayu putih, untuk sedikit mengatasi bau busuk yang menyengat. Tim kami hanya bermodalkan tangan kosong. Tanpa peralatan apapun. Masuk ke reruntuhan, beberapa jenazah yang tergeletak di atas reruntuhan kami angkat dan kumpulkan di pinggir jalan, agar nanti kendaraan PMI mudah mengangkutnya. Ada sesosok jenazah tergeletak miring. Ketika kami balikkan badannya, Masya Allah, separo wajahnya sudah berlubang. Dipenuhi ulat dan belatung. Kami harus sangat hati-hati dalam memindahkan jenazah itu, agar jangan sampai ada bagian tubuh yang terlepas atau ketinggalan. Salah seorang anggota tim menemukan perhiasan emas yang tergeletak di samping jenazah. Aku melarangnya untuk mengambil perhiasan itu dan kusuruh untuk menaruhnya di atas jenazah. Keputusan yang aku sesali, seharusnya kami serahkan perhiasan-perhiasan emas itu ke posko PMI. Menjelang tengah hari, aku minta timku untuk istirahat. Makan siang dan shalat dhuhur. Total sampai istirahat siang itu jenazah yang bisa kami evakuasi ke pinggir jalan ada 6 jenazah. Semuanya perempuan, dewasa dan anak-anak.

Aku sedikit termenung saat istirahat siang itu. Aku baru menyadari ada sedikit keanehan yang terjadi. Rancangan awal, dari 12 anggota tim relawan itu hanya 3 orang yang menyatakan kesanggupan untuk mengangkat jenazah. Tapi sampai siang hari itu aku lihat semua anggota tim, 12 orang, semuanya ikut mengangkat jenazah. Tanpa rasa jijik atau keraguan yang aku lihat. Aku berfikir, mungkin inilah buah dari keikhlasan. Mereka semua tidak tahu bahwa sebenarnya ada niat dan tujuan lain dalam pengiriman tim relawan ini. Saat di kota Meulaboh aku memang mendapat kabar kalau presiden SBY sedang mengunjungi Meulaboh. Tepatnya di posko pengungsi Kompi C Lapang. Melihat tempatnya yang tidak berada di dalam kota, aku putuskan untuk mengabaikan perintah awal pengiriman tim ini. Aku arahkan tim-ku untuk melaksanakan fardhu kifayah, mengurusi jenazah yang bergeletakan belum terurus.

Saat anggota tim istirahat siang, aku sempat bergerak menuju pusat kota Meulaboh. Bertiga dengan Pranoto dan Petugas Umum Kantor, Zulfikar. Tapi kami tertahan di bunderan simpang tiga pusat kota. Jalan dari Tugu Topi Teuku Umar (atau simpang pelor ?) hingga ke arah pantai ditutup Aparat TNI. Mungkin demi keamanan dari resiko penjarahan. Di ujung jalan mendekat pantai itu seingatku banyak terdapat toko emas dan elektronika.

Selesai istirahat siang, kami bergeser menuju gang sebelah rumah. Kami langsung masuk ke halaman di belakang sebuah rumah. Di situ banyak tumpukan reruntuhan dan bau busuk yang menyengat. Kami semua masuk ke situ. Dimana ada tercium bau busuk, kami mencoba mencarinya dengan mengais dan membalik-balik tumpukan kayu reruntuhan. Ketika dijumpai jenazah, langsung kami hamparkan kantung dan mencoba berbagai cara untuk bisa memindahkan jenazah itu ke dalam kantung, lalu menaruhnya di pinggir jalan.

Salah seorang diantara kami, Toni namanya, selama ini kami kenal sebagai orang yang sangat penjijik. Kami sering kali menggoda dia masalah ini. Ketika dia sedang makan, lalu kami cerita kalau di jalan barusan terlihat bangkai binatang yang terlindas kendaraan, biasanya dia langsung muntah karena jijiknya. Hari itu aku lihat dia keluar dari reruntuhan sambil menjinjing sebuah bungkusan plastik hitam. Ketika aku tanya itu apa, dengan nada suara biasa dia menjawab ,"ini anak kecil, pak". Tiada terlihat rasa jijik sedikitpun. Subhanallah, tak hentinya hari itu aku mengucapkan zikir ke Illahi Rabbi. Atas perkenan Dia-lah, umat-Nya yang ikhlas menerima anugerah keajaiban seperti itu. Pokoknya, pada hari itu semua anggota tim tak satupun yang mengeluh jijik ataupun takut. Semuanya bekerja sama, membongkar-bongkar reruntuhan lalu memindahkan jenazah yang ditemui ke pinggir jalan. Menjelang jam 3 sore, gerimis hujan mulai turun. Kami masih melanjutkan pekerjaan yang kami mampu. Hujan makin lebat, dan area yang kami garap semakin banyak tergenangi air. Akhirnya kami putuskan untuk menghentikan proses evakuasi. Jenazah yang kami evakuasi pada halaman rumah kedua itu ada 4 jenazah. Jadi total hari itu ada 10 jenazah yang kami evakuasi ke pinggir jalan, untuk selanjutnya akan dikirim Tim PMI ke pemakaman massal di luar kota Meulaboh. Ada satu hal yang masih menganggu fikiranku sampai saat ini. Kesepuluh jenazah yang kami evakuasi pada hari itu kondisinya berbeda-beda. Ada yang sudah kelihatan membusuk dan rapuh, tapi ada pula yang terlihat relatif masih agak segar. Aku agak merinding membayangkan bahwa mereka mungkin meninggal tidak dalam hari yang sama, tanggal 26 desember. Mungkin ada diantaranya yang meninggal beberapa hari kemudian, setelah mereka melewatkan waktu beberapa hari dalam keadaan sekarat di bawah reruntuhan. Subhanallah, semoga mereka sekarang tenang di Sisi-Nya.

Sore kami beranjak pulang menuju kebun. Semua anggota tim mengajukan permintaan padaku agar pelaksanaan evakuasi jenazah ini dilanjutkan lagi esok hari. Diusahakan lebih banyak anggota tim, serta membawa peralatan yang lebih lengkap. Aku sanggupi serta kusampaikan bahwa akan meminta izin dulu kepada Bapak ADM. Sayang aku terlambat. Kami sampai ke kebun malam hari, dan ketika paginya aku menuju kantor ADM, ternyata beliau sudah berangkat ke Langsa. Rencana lanjutan evakuasi itu dengan amat terpaksa akhirnya gagal. 




(Video yang diambil sekitar seminggu setelah gempa, menggunakan kamera HP dalam perjalanan menuju kota Meulaboh) 


Hari-hari selanjutnya kami jalani masih dengan suasana tak menentu. Ketika siang hari mengerjakan beragam aktivitas yang diperlukan, sedang malam hari duduk menyaksikan perkembangan melalui layar televisi. Suasana sendu masih terus berlangsung. Ketika siang hari menyaksikan mayat yang bergeletakan di pinggir jalan itu terasa biasa. Mungkin karena pengaruh suasana, dimana masyarakat yang lalu lalang pun sudah terbiasa dengan pemandangan itu. Tetapi ketika malam hari, saat suasana sudah tenang, membayangkan pemandangan yang terlihat saat siang hari itu masih selalu mampu membuat air mata mengalir. Bukankah mereka semua sedikitpun juga tak menyangka di bumi Aceh ini akan terjadi peristiwa sedahsyat ini.  Ketika dalam hitungan jam, ratusan ribu nyawa melayang. Apa yang mungkin terjadi padaku jika hari sabtu itu aku jadi pergi dan menginap di Meulaboh, lalu menghabiskan waktu minggu pagi dengan duduk-duduk di pantai Aceh Barat.......

Aktifitas siang hari di kebun belum berjalan normal. Malam hari banyak kami habiskan dengan menonton siaran berita di televisi. Aku teringat sahabatku lagi, bang Erfan Lubis. Dia satu angkatan diatasku saat masuk menjadi staff di PTPN 1. Kami menjadi cukup akrab ketika selama sebulan lebih sekamar saat menjalani Kursus Manajemen di LPP medan. Kalau ada kesempatan ke Meulaboh aku juga sering singgah ke rumah kontrakannya. Habis gajian beberapa kali aku minta tolong istrinya untuk mentransfer uang ke keluargaku di jawa. Bang Erfan orangnya baik, ramah dan supel. Aku belum pernah melihat dia marah. Lebih sering santai dan suka bercanda. Kariernya pun bagus, Insya Allah termasuk salah satu staf yang sudah dikader untuk memegang jabatan lebih tinggi.

Ya Allah, ampunilah semua dosa-dosanya, dan tempatkanlah dia dalam tempat yang mulia di Sisi-Mu.. Aamiin Ya Robbal Aalaamiin..

Hari senin minggu berikutnya aku pergi lagi ke Meulaboh. Mengendarai sepeda motor, bersama anak buah akrabku, Rudian dan Hanif. Kami menuju rumah kontrakan Pak Shofwan Idris, ADM Kebun Batee Puteh. Di situ menjadi posko tempat berkumpul karyawan Batee Puteh pasca gempa. Kami ikut berkoordinasi di situ. Besok hari mereka berencana akan menyusuri rute jalan yang dilalui Bang Erfan Lubis hari minggu kemarin. Kami putuskan akan ikut bergabung, dan malam itu kami menginap di situ. Pagi harinya kami berangkat. Kami bertiga dari Kebun Ujung lamie, ditambah sekitar delapan orang dari Kebun Batee Puteh. Kami mengendarai sepeda motor lalu berhenti di suatu tempat di sebelah barat Kuala Bubun. Kami berpencar di situ. Aku dan empat orang lainnya jalan kaki menyusuri jalan tepian pantai kembali menuju arah ke kota Meulaboh. Pak Shofwan beserta sisa tim lainnya menuju arah yang menjauhi Meulaboh, ke arah Kebun Batee Puteh. Kami berpisah di situ.

Kami berlima berjalan perlahan ke arah Meulaboh. Aku, rudian, serta tiga orang karyawan Batee Puteh. Ternyata kami lupa membagi bekal saat itu. Jadi keseluruhan bekal yang disiapkan terbawa tim Pak Shofwan yang menjauhi arah Meulaboh. Di tim kami hanya tersedia air mineral ukuran 350-an ML kalau tidak salah, serta beberapa butir permen. Kami berjalan menyusuri pasir pantai. Pasirnya lembek, kadang kaki kami terbenam hingga ke pangkal paha di hamparan pasir itu. Itu adalah pasir yang terbawa gelombang tsunami, bukan pasir asli di pantai itu. Beberapa kali kami jumpai jenazah yang teronggok atau tergeletak di pasir atau di genangan air. Sebagian besar sudah berwujud tulang belulang, tinggal kerangka dengan sedikit sisa daging yang menempel. Kami terus berjalan, berusaha meneliti sepanjang jalur, siapa tahu ada jejak bang Erfan di situ. Tanpa berhenti satu kalipun. Terus berjalan dengan mengulum permen di mulut kami, sesekali meneguk air mineral dari botol kecil yang kami bawa, bergantian. Tapi Subhanallah, perjalanan itu kami tempuh selama sekitar 6 jam, dan tiada sedikitpun kami terganggu dengan rasa lapar maupun haus. Semua kami rasakan lancar, hingga saat jam 3 sore itu kami sampai kembali di posko rumah pak Sofwan di Meulaboh. Sore itu kami berkumpul kembali dengan rombongan pak Shofwan, dan tak ada hasil yang menggembirakan dalam pencarian kami hari itu. Kami berencana beberapa hari mendatang akan melakukan pencarian lagi dengan anggota yang lebih banyak. Sore itu kami berpamitan, pulang kembali ke kebun kami.



 (Tampilan pada menit 00.32 di video ini adalah gambar rombongan Pak Shafwan yang bergerak menjauhi Meulaboh. Waktu itu rombongannya bertemu wartawan Metro-TV yang sedang melakukan peliputan)


Beberapa hari kemudian kami melanjutkan pencarian ini. Bapak Hasby sudah kembali ke kebun dan memberikan ijin untuk bergabung dengan Tim Batee Puteh melakukan pencarian di jalur pantai. Aku berangkat dengan membawa sekitar 30 orang, dikawal lagi sama anggota TNI Yonif 623. Kami bergabung dengan tim Batee Puteh dan berangkat ke arah pantai. Saat itu kota Meulaboh sudah ramai dengan pasukan-pasukan asing. Deretan kapal-kapal perang asing terlihat berjajar di tengah laut. Helikopter dengan bentuk yang tidak biasa kami lihat pun semakin banyak berseliweran di atas kami. Aku pernah ketemu dengan serombongan tentara Singapura. Jauh sekali penampakannya dengan tentara-tentara kita. Aku lihat tentara-tentara singapura itu malahan lebih mirip serombongan artis atau foto model, hehehe..

Tentara-tentara dengan wajah dan kulit bule, serta warna seragam yang asing makin banyak terlihat di kota Meulaboh. Harga makanan waktu itu sudah mulai naik secara drastis. Es teh segelas yang biasanya harga dibawah lima ribu, saat itu sudah berharga dua puluh ribuan. Rumah pak KTU yang dulunya kami jadikan posko itu juga konon dikontrak lembaga asing senilai 125 juta setahun, jauh diatas harga wajar sebelumnya, antara 5 sampai 10 juta-an. Yah, dalam masa musibah seperti waktu itu, tetap ada juga sisi baik yang bisa dinikmati. Didalam kesulitan, Insya Allah akan hadir juga kemudahan..
Kembali ke cerita awal, setelah bergabung dengan tim Batee Puteh, kami gabungkan tim dan bersama menuju arah Kebun Batee Puteh. Kami berhenti di suatu tempat di pantai, dimana di tempat itu terdapat 2 tanki timbun CPO yang konon punya PT. Socfindo. Satu tanki sudah hanyut terbawa menjauhi pantai hingga puluhan meter. Satu lagi masih berdiri di pinggir pantai. Kami berhenti di situ, sebagian besar rombongan terus berjalan menyusuri pantai, aku dan beberapa orang serta anggota TNI menunggu di situ. Daerah itu berada di tepian pantai, sebagian besar rumah roboh tapi ada satu masjid yang masih tegak berdiri meski beberapa keping dindingnya bolong terbuka. Ada bangkai truck brimob yang tergeletak di reruntuhan. Kami juga masih sering jumpai peluru-peluru yang berserakan di lumpur atau genangan air. Aspal yang kami injak pada tempat pemberhentian itu sudah terkelupas, sebagian besar jalur jalan aspal terpotong oleh terjangan air laut. Sayang waktu itu aku tidak membawa kamera, sama sekali belum terfikir waktu itu untuk mengabadikan semua pemandangan itu dalam bentuk foto. Handphone yang aku punya saat itu belum berkamera. Nokia N-Gage klasik, tanpa kamera tapi mantap dalam penyediaan fasilitas game-nya.

Kami menunggu di situ beberapa jam. Mengobrol dengan anggota-anggota TNI sambil melihat-lihat kondisi kerusakan yang ditimbulkan akibat gempa dan tsunami. Kalau di daerah pedesaan seperti itu sudah jarang ditemui jenazah yang tergeletak. Karena biasanya sudah langsung dikebumikan oleh penduduk yang menemukannya. Berbeda dengan suasana di kota, seperti Meulaboh maupun Banda Aceh. Aku juga sempat bertemu dan mengobrol dengan seorang relawan yang baru datang dari Jakarta. Sore hari rombongan berkumpul lagi di Meulaboh, dan masih tanpa hasil yang memuaskan. Keberadaan bang Erfan maupun kendaraannya sama sekali belum teraba. Kami kembali pulang ke kebun kami.

Sudah dua kali aku melakukan pencarian, dan jejak bang Erfan tetap tersamar. Harapan kami semakin menipis. 

Terakhir aku masih melakukan pencarian lagi, sekitar seminggu kemudian. Kembali bertiga, dengan Rudian dan Hanif. Salah seorang sahabat membekali kami dengan "amalan" untuk membantu pencarian. Kami amalkan di lokasi pantai yang kami duga tempat terakhir bang Erfan ada. Beberapa kali kami amalkan, dan penunjuk yang ada selalu menunjuk ke satu tempat. Tapi tidak ada apapun di tempat itu. Hanya pasir yang terhampar. Wallaahu 'alam..

Beberapa bulan setelah itu kami mendapat kabar kalau ada titik terang tentang keberadaan supirnya. Salah seorang penduduk desa di tepian pantai bercerita kepada karyawan Batee Puteh, saat tsunami lalu mereka menemukan jenazah dengan identitas yang masih melekat. KTP dan SIM yang ditemukan menunjukkan kalau jenazah itu adalah pengemudi tersebut. Jenazah itu sudah langsung mereka kebumikan. Tetapi tetap, keberadaan Bang Erfan Lubis maupun kendaraan yang mereka bawa saat itu masih menjadi misteri hingga sekarang...

Banyak hal-hal yang bagiku agak "aneh" selama kejadian tsunami. Saat beberapa kali pergi ke Meulaboh, aku selalu memenuhi tas bawaanku dengan segala makanan kecil maupun minuman yang aku ambil dari warung di komplekku, kedai teungku Lidan. Kami biasa ambil barang disitu, dicatat lalu dibayar saat gajian. Waktu itu aku tidak terpikir untuk menghitung berapa banyak barang yang aku bawa, yang jelas tasku selalu penuh makanan maupun minuman jika berangkat ke Meulaboh. Aku sangat yakin, bahwa gajian nanti pasti bon warungku meledak, aku akan minta pengertian teungku Lidah semua bon warungku aku minta tempo 2 bulan untuk melunasinya. Tapi ketika gajian tiba dan kutanya teungku Lidan berapa jumlah bon hutangku, ternyata jumlahnya tidak terlalu berbeda dengan hari biasa lainnya. Aku tanya sekali lagi waktu itu, apakah hitungan bon warungku sudah dihitung dengan benar belum. Teungku Lidan hanya menjawab kalau sudah dihitung dengan benar. Aku tidak perpanjang lagi, aku bayar bonku sejumlah yang dia tagihkan. Kadang aku berfikir kalau itu mungkin bantuan Allah untukku. Rizqi yang aku terima dari arah yang tidak aku duga. Karena aku sendiripun tidak pernah punya catatan tentang bon-bon yang aku ambil dari kedai. Semua sudah aku percayakan kepada pemilik kedai, sahabatku Teungku Lidan...
Wallaahu 'alam..

Banyak lagi cerita yang aku temui saat itu. Sebagian sudah aku tulis dalam catatan tersendiri. Cerita tentang keluarga rahmad, cerita tentang kenalan sahabatku syofrendhani, cerita tentang adik ipar Usman. Ada juga cerita tentang kisah bang Fadhly, asisten afdeling sahabatku, saat berusaha menembus route Meulaboh - sigli untuk pulang ke Banda Aceh menemui keluarganya. Juga cerita tentang sekelompok nelayan Blangpidie. Pagi itu mereka sedang melaut. Sekitar jam 8 mereka tidak merasakan adanya gempa. Tetapi yang mengherankan mereka, tangkapan ikan mereka pagi itu sangat melimpah. Sehingga mereka bisa pulang ke kampung lebih awal dari rencana. Dan akhirnya yang terjadi, saat perahu mereka sudah mendekati kampung di daratan, seisi perahu berdiri berjajar memandang ke pantai. Kampung mereka sudah tidak kelihatan, lenyap dihantam gelombang, rata dengan tanah. Juga cerita seorang ibu-ibu teman kerja di kantorku, Bu Charlita. Rumahnya di sekitar tepian pantai Meulaboh. Dia sedang di rumah itu ketika tsunami menerjang. Terseret gelombang, timbul tenggelam diantara puing yang hanyut. Sempat bepegangan pada suatu benda, tapi terseret lagi ketika arus yang besar kembali datang. Pakaian yang melekat di badannya terlepas. Ini memberi jawaban, kenapa kesepuluh jenazah yang kami evakuasi itu kebanyakan dalam kondisi tanpa busana, semuanya terlepas saat gelombang yang kuat menerjang. Air yang menerjang terasa pekat dan panas. Sudah tak terhitung banyaknya air laut yang terminum olehnya.
Sebagian cerita itu masih terekam jelas dalam ingatanku. Mayat-mayat yang bergeletakan, bangunan yang roboh, mobil dan motor berserakan, jalan-jalan aspal yang terkupas, kapal yang tersangkut di terminal bus Meulaboh. Menjadi saksi dari peristiwa sedahsyat tsunami bukanlah pengalaman biasa yang dialami semua orang. Sampai sekarang aku terus bersyukur diberi jalan untuk tidak jadi pergi ke Meulaboh pada hari sabtu tanggal 25 Desember, sehingga terhindar dari bencana sebesar itu.

Begitulah, sekelumit kisah tentang pengalaman saat tsunami. Sekitar empat bulan setelah kejadian itu aku pulang ke Jawa. Bertemu kembali dengan Ibunda, Istri serta anak-anakku, juga segenap handai taulan lainnya. Dan pada bulan oktober tahun 2005 kemudian akhirnya aku mutasi tugas, dari PTPN 1 Nanggroe Aceh Darussalam menuju PTPN 8 Jabar-Banten...

Menghindar dari satu takdir untuk menjemput takdir lainnya...




 


Argo Kumoro Anak Kebon.. Lahir.. Besar.. Dan menua di Perkebunan

0 Response to "Gempa & Tsunami Aceh 2004.. Dalam sekejap, ratusan ribu nyawa kembali ke asalnya .."

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel