ketika KOMA.....

Ini adalah kisahku..

Tentang pengalaman atau kejadian yang aku alami pada suatu masa dalam kehidupanku dahulu. 
Tujuh tahun silam...
Pada bulan Juli tahun 2012...
Dan muncul niatku untuk menulis atau menceritakan pengalaman ini karena masih lumayan seringnya sahabat atau kenalan yang mengajakku berbincang tentang pengalaman yang aku rasakan pada saat itu. Ketika aku mendadak mengalami pecah pembuluh darah (stroke) di kepalaku, lalu koma sekian waktu lamanya.

Seminggu sebelum kejadian, saat aku membawa keluargaku berlibur

Begini kejadiannya..

Dari hari senin sampai rabu, di unit kerjaku saat itu sedang ada kegiatan kantor yang cukup menguras stamina dan energiku.
Rabu malam, tanggal 18 Juli 2012, aku dalam perjalanan pulang dari komplek kantor induk kebun Kertajaya di Kabupaten Lebak menuju rumah dinas kediamanku di unit Sanghyang Damar Kabupaten Pandeglang. Mobil dinas yang aku tumpangi, Daihatsu Taft Rocky, malam itu penuh oleh penumpang. Bersama serombongan Calon Staff yang sedang menjalani masa orientasi di Kantorku. Kuingat kondisiku saat itu. Begitu lelah dan capai, hingga aku sampai terlelap sejenak di perjalanan yang memakan waktu sekitar satu jam. Hanya capai, letih dan penat. Tak ada rasa pusing atau demam yang aku rasakan.
 
Sampai di rumah sekitar tengah malam. Memori terakhir yang aku ingat pada tengah malam itu adalah duduk di kursi meja makan, menghadap segelas teh manis hangat dan menghisap sebatang rokok. Rombongan Calon Staf semuanya sudah masuk ke kamarnya.
 
Tapi jika aku dengar cerita bahwa ketika aku ditemukan terkulai di dalam kamar pada jam 3 dini hari saat itu sudah memakai pakaian rumah, celana selutut dan kaos oblong, maka besar kemungkinan setelah aku duduk di kursi meja makan tengah malam itu aku masuk ke kamar, lalu mandi, kemudian istirahat di tempat tidurku.

Memoriku terakhir adalah itu, tengah malam duduk di kursi meja makan. Bulan Juli.


Kursi Meja Makan Rumah Sanghyang.. 
Memory Terakhir yang Kuingat..
Selanjutnya memori yang benar-benar aku rasakan dan ingat, maksudku mengingat suatu kejadian yang benar-benar aku alami di dunia ini, adalah satu peristiwa pada pertengahan bulan September. Atau sekitar 2 bulan setelah itu. Ada ingatan yang melekat di benakku. Saat aku membuka pintu rumahku di Rangkasbitung. Di dalam rumah aku melihat kedua orang tuaku, yaitu Ibu kandung dan Ibu mertuaku, yang dengan senyum hangat menyambut kedatanganku. Serta ketiga anakku yang tertawa lebar. Dani, Zahra dan Naila. Menurut keterangan istriku, itu adalah kejadian saat aku pulang dari kontrol dokter di RS Krakatau Medika Cilegon, setelah selama lebih sebulan sebelumnya aku menjalani perawatan di situ.  Pada suatu hari di pertengahan bulan September.

Itu memori yang kuingat. Antara tanggal 18 Juli, lalu bersambung pada pertengahan bulan September. Segala kejadian yang kualami saat menjalani perawatan selama 4 minggu di Rumah Sakit Krakatau Medika Cilegon, lalu berlanjut selama 2 minggu di Rumah Sakit Missi Rangkasbitung tak ada secuilpun adegan peristiwa yang aku ingat. 

Memoriku kosong.

Lalu..
Dimanakah aku pada periode diantara kedua waktu itu...?

Begini yang aku rasakan....

Aku rada sulit menentukan harus dari mana memulai cerita ini...
Yang jelas, setelah ingatanku berada di kursi meja makan rumah Sanghyangdamar saat itu, tiba-tiba aku berada di dua tempat.
Yang pertama adalah lokasi perkampungan pada sebuah Desa di pedusunan. Bernama Desa Bodas, Kecamatan Watukumpul, Kabupaten Pemalang. 
Itu kampung halaman bapakku. 

Di pertengahan kampung ada sebuah perempatan jalan. Ke-empatnya terpecah menjadi jalan menuju Masjid, jalan menuju balai desa, jalan menuju sungai serta jalan yang sedikit menanjak menuju rumah kediaman kakek. Meskipun menanjak, tetapi sebenarnya tidak terlalu terjal, hanya landai. Tetapi pada suasana yang terbentuk saat aku koma itu, tepat di salah satu sisi di simpang empat itu ada sebuah rumah yang berada di atas atau pada lokasi yang lebih tinggi. Ada banyak orang di situ. Di teras rumahnya. Sebagiannya lagi  di bawah, di sekitar perempatan jalan.. Cukup banyak orang yang aku lihat pada saat itu. Semuanya laki-laki. Dewasa dan tua. Aku tak mengenal mereka semua. Hanya 2 orang yang aku kenal. Almarhum mbah Mochtar, ayahnya bapak dan Alm Pakde Winarno, kakak kandung bapak. Beliau berdua telah wafat pada awal tahun 2000-an, saat aku menetap di Aceh. Terakhir aku bertemu beliau berdua langsung adalah ketika kelahiran anak pertamaku pada tahun 1999. Saat itu beliau bertiga (bersama Bude Winarno) mengunjungiku di Semarang untuk menengok anak pertamaku. Aku mengambil cuti saat itu, pulang dari Aceh.

Nah, dalam kejadian yang terbangun saat aku koma itu, beliau berdua tidak menatapku. Apalagi menyapa atau berbicara padaku. Semua orang yang aku lihat pada saat itu tidak ada yang saling berkomunikasi. Mereka hanya berdiri mematung, wajah mereka menatap ke atas, tidak saling memandang. Semua tatapan wajah dan mata mereka ke atas. Aku tak tahu, apa yang mereka tatap di atas sana. Walaupun aku berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya, tak ada seorangpun diantara mereka yang memandang atau menyapaku.

Kecuali satu orang...

Ada satu sosok diantara mereka yang masih begitu aku ingat hingga saat ini..
Seorang lelaki separuh baya. Tidak gemuk, cenderung kurus, tapi tinggi. Dia mengenakan pakaian serba hitam. Celana, baju yang dia pakai berwarna gelap.
Dia juga tak menyapaku. Kecuali hanya berdiri tegap dengan tangan bersedekap di dadanya. Matanya sangat tajam menatapku. Kemanapun aku berpindah tempat atau bergeser, sorot matanya tetap mengikutiku. Mukanya tirus. Seberapa kuat aku mencoba memeras memoriku, mencoba mengingat dimana dan kapan aku pernah melihat atau bertemu sosok wajah itu, tetapi tetap tak menemukan hasil. Aku tetap tak bisa mengingat dimana aku pernah bertemu dengan sosok misterius itu.
Hingga kinipun, seperti saat aku menulis cerita ini, bulu kudukku agak merinding mengingat peristiwa ini..

Siapakah dia..
Kenapa dia begitu tajam menatapku....
Sorot matanya mengikuti kemanapun aku berada..
Duh....

Begitulah diriku saat itu. Ragaku tergeletak di rumah sakit Cilegon. Tetapi jiwa dan pikiranku entah ada dimana. Kurasakan cukup lama aku berada di desa kakek itu.


Kadang berganti dengan suasana lain.
Ada lokasi lain yang aku kunjungi saat itu. Sebuah tempat di desa Pabelan, kecamatan Salatiga. Tempat aku menghabiskan masa kecil hingga pendidikan dasar pada tahun 80-an dahulu. Pada sebuah lokasi yang masyarakat setempat lazim menyebutnya dusun "Takan". Ada sebuah bulak cukup panjang. Kiri kanannya persawahan. Tepat di ujung desa sebelum masuk ke bulakan sawah ada sebuah pohon. Tinggi dan rindang. Dahulu, saat aku SD, pohon itu sering kami gunakan untuk berteduh setelah kami melewati bulakan yang panas. Terletak di pertengahan jalan dari rumah kediamanku, di kampung Daren, menuju gedung SD Pabelan di Jalan Raya jalur Getas ke Salatiga.

Kami bermain di situ. Bersama teman-teman kecilku. Dengan penampakan atau perwujudan seperti saat kami masih sekolah di SD dulu. Sekitar 4 atau 5 orang anak. Dan ada seorang yang sangat aku kenal sosoknya. Itu teman akrabku yang bernama Kuswono. Dia anak sulung dari pak Slamet, Juru Tulis di Afdeling Bapak. Kami bermain-main dengan riang di situ. Tertawa terkekeh-kekeh. Bersenda gurau dengan posisi berjongkok memainkan sesuatu di tanah. Entah apa yang kami mainkan saat itu. Sosok yang lain tidak terlalu aku ingat. Mungkin itu temanku lainnya. Karman serta Parmin. Tapi sosok Kuswono itulah yang mendominasi memoriku saat itu.

Pada tahun 2015, atau 3 tahun setelah kejadian komaku, aku berkesempatan untuk berkomunikasi di media sosial dengan Suroso, adik Kuswono. Aku tanyakan kabar Kuswono. Aku tertegun ketika aku dengar cerita bahwa Kuswono telah wafat jauh hari sebelumnya. Sekitar tahun 1996, atau hampir 20 rahun sebelum aku koma itu, Kuswono menghembuskan napas terakhir setelah sekian lama waktu dalam keadaan sakit. Sampai sekarang aku masih ingat sosok kuswono saat kami bermain-main di bawah pohon di ujung bulakan sawah itu. Dengan gelak tawa dan canda riangnya.

Kedua lokasi inilah yang mendominasi fikiranku saat diriku terbaring dalam keadaan koma. Dan sosok lelaki kurus berwajah tirus yang terus menerus memandangiku..

Sosok yang tetap tak aku ingat hingga saat ini...

Kini peristiwa itu sudah berlalu 7 tahun silam, sosok itu tetap tak aku kenal atau ingat. Terkadang imajinasiku mengembara, mencari penjelasan yang masuk akal atas peristiwa itu.

Apakah wujud itu adalah sosok malaikat maut..?
Sosok makhluk hamba Allah yang betugas mencabut nyawa setiap manusia...
Bisa jadi saat itu sudah tersurat garisan takdirku bahwa kehidupan duniaku akan berakhir..
Bahwa malaikat maut sudah bersiap mencabut nyawaku..

Kelak di kemudian hari setelah pulih kesehatan dan normal kehidupanku, pada tahun 2017 aku berjumpa dengan pak Sri Hermawan. Saat aku sakit dulu, beliau adalah Manajer Kebun Cisalak Baru. Kebun tempat aku bertugas sebelum kemudian mutasi ke Kebun Kertajaya. Beliau mengikuti perkembangan kondisiku sejak koma di RS Cilegon hingga pemulihan di RS Rangkasbitung. Aku bercerita ke beliau, bahwa saat aku koma dulu itu ada teman SMA-ku yang seorang Dokter membezuk ke Cilegon. Dari angka-angka yang terpajang di sekitar badanku, dia bisa membaca bahwa peluang hidupku saat itu hanyalah tinggal sekitar 30 %.
Pak Sri hanya tersenyum mendengar ucapanku. Sambil tertawa kecil beliau menimpali ," sepuluh persenpun kayaknya nggak sampai, pak Dahono.."
Yaaa.. Saat itu memang jarak antara diriku dengan ajal kematian hanyalah dibatasi oleh selaput yang begitu tipis.
Sangat tipis..
Begitu dekat..

Tetapi ada takdir kehendak lain yang juga dari Allah merubah ketetapan itu. Dari cerita famili dan sahabat-sahabatku, di beberapa tempat yang pernah aku diami, setelah mendengar berita aku mendadak jatuh sakit tempo hari itu mereka mengadakan acara doa bersama, memohonkan kesembuhan dan kepulihan untukku. Kakak kandungku di Sukoharjo mengajak anak-anak yatim piatu binaannya mengaji dan mendoakanku. Ibu mertuaku saat itu ada di Bekasi. Beliau meminta kepada Jamaah di masjid tempat tinggal adik ipar untuk mengirimkan doa untukku. Lalu sahabat-sahabatku di daerah Aceh sana, sahabat-sahabatku di Bogor dan Rangkasbitung. Mereka menyelipkan doa bersama untukku dalam acara kajian yang rutin mereka adakan. Sahabat-sahabatku di media sosialpun ramai mengirimkan doa untukku. Walau hanya sekedar ucapan "Aamiin". Mengaminkan doa yang telah dilayangkan sahabatku yang lain. Ada lebih tiga ratus sahabat di media sosial yang mendoakanku. Dan tentunya yang paling utama adalah kiriman doa dari Ibu dan keluarga kecilku. Ibuku pagi itu langsung menangis ketika mendengar kabar dari istriku tentang kondisi sakitku. Setelah siang hari sebelumnya kami mengobrol di telpon, dan aku begitu semangat menceritakan rencanaku sekeluarga akan pulang ke Semarang pada liburan Lebaran sebulan setelahnya. 
Juga doa dari istri dan anak-anakku. Aku sangat mengenal istriku sebagai sosok yang tegar dan kuat. Tapi pada saat itu dia menangis ketika menungguiku di rumah sakit Cilegon. Anak kedua dan anak bungsuku saat itu masih kecil. Baru kelas 1 dan 5 di sekolah dasar. Hanya si sulung yang sudah mulai memahami kondisi perkembangan yang terjadi. Dani sudah menginjak kelas 2 di SMP kota Rangkasbitung. Dia anak yang cenderung pendiam. Media sosial lebih banyak dia manfaatkan untuk bermain Game. Tapi pada saat itu dia sampai menuliskan sebuah status di Facebook yang menggambarkan kegundahan hatinya.
"Aku sedih sekali bapakku masih terbaring di ICU" begitu tulisnya.


Mungkin rangkaian kejadian itulah yang memberiku ketetapan takdir yang lain. Aku tak bisa membayangkan seandainya saat itu memang benar merupakan saat ajal kematian diriku. Maka tentulah siksa api neraka yang akan menyambut kedatanganku..
Bagaimana mungkin aku berani mengharapkan Surga Allah sebagai tujuanku selanjutnya. Sedangkan diriku masih begitu banyak terliputi dosa dan cela. Begitu banyak tumpukan-tumpukan aib yang belum aku taubati.

Selama sekitar setengah tahun, dari bulan September hingga bulan Maret tahun berikutnya pikiranku serasa kosong. Emosiku berjalan datar. Pada bulan November aku menjalani perawatan yang kedua di rumah sakit Cilegon. Karena pembuluh sintetis yang ditanamkan di kepalaku harus dilepas. Selama dua minggu aku rawat inap di rumah sakit. Dan perasaanku masih berjalan seperti itu. Datar. Tak ada gejolak emosional yang kurasakan. Aku tak merasa rindu ke siapapun atau ke sesuatupun. Termasuk ke anak-anakku yang saat itu di rumah Rangkasbitung ditungguin kedua neneknya. Aku makan ketika istriku memintaku makan. Bukan karena merasa lapar. Aku mandi dan shalat saat diingatkan istriku.
Mungkin seperti yang dijawab si bungsu Naila saat aku tanyakan keadaan bapaknya dulu.
"Bapak kayak zombie.. Naila jadi takut.."
Begitu ucapnya.


Wajah Zombie-ku Saat Perawatan Pertama yang Membuat Takut si Bungsu
Selama sekitar hampir dua bulan, antara tanggal 19 Juli hingga pertengahan September itu aku berada di situasi seperti itu. Pulihnya memorikupun tidak berlangsung cepat. Membutuhkan waktu yang cukup lama. Berangsur-angsur. Mungkin sekitar setahun, atau setelah Lebaran tahun berikutnya pada bulan Agustus tahun 2013 aku merasakan memoriku sudah lebih 90% yang pulih terkumpul.
 
Sungguh unik, pengalaman yang aku rasakan saat itu. Ketika awal masa aku mulai bisa "mengingat" lagi, atau pada pertengahan bulan september, susunan memoriku belum tersusun rapih. Ketika mendengar seseorang menyebutkan kata "Sanghyangdamar" atau nama kebun tempat aku berdinas saat itu pada tahun 2012, yang muncul di kepalaku masih suasana di desa Bodas. Sehingga jika hal ini muncul dalam suatu percakapan maka dialog yang terbangun tidak berlangsung lancar. Pada awal bulan September, selepas aku keluar dari rumah sakit, ada beberapa rombongan yang membezukku ke rumah. Tapi aku tak mengingatnya. Bahkan aku tak menyadari kalau aku sebenarnya baru sembuh dari sakit berat. 
 
Aku pun saat itu tak merasa aneh ketika semua pakaian yang kukenakan terasa longgar. Celana, baju dan kaos yang kupakai menjadi kebesaran. Berat badanku turun 17 kilogram selama dua bulan itu. 

Masa - Masa Awal Masuk Kantor Lagi.. dengan Memori yang Belum Penuh
Selama beberapa bulan itu juga tak kurasakan ada benda asing yang dipasang di dalam tubuhku. Padahal ada selang panjang yang ditanamkan dari dalam kepalaku menuju organ pembuangan di dalam perut. Saat itu hanya kurasakan selang itu mengganjal di bagian leher. Terkadang kuraba dan kupegang, semacam benda keras aneh yang menonjol pada kulit leherku. Dan aku tak berfikir kalau itu adalah hal aneh yang tidak biasa. 
 
Kota Rangkasbitung, menjadi saksi pemulihan memoriku. Pada awal bulan November, saat sudah semakin berani menyetir mobil, aku mengantar Naila latihan Karate di Gedung BKD samping alun-alun. Bersama ibunya tentunya. Aku parkir di tepi alun-alun, Naila dan ibunya turun. Istriku berpesan agar aku istirahat di mobil saja, nggak usah ikut turun.  Aku menurut. Tapi tentunya kurang asyik juga jika hanya duduk di depan setir. Aku turun dari mobil. Lalu perlahan berjalan mengitari trotoar di sekeliling alun- alun. Saat itu anatomi tubuhku mungkin belum kembali tertata ke kondisi yang normal. Setiap berjalan sekitar belasan langkah, pinggangku miring sendiri. Semacam ada sensasi "krek" atau patahan kecil yang kurasakan di pinggangku. Biasanya aku berhenti sejenak. Secara perlahan kucoba meluruskan pinggangku lagi. Setelah tegak, baru aku lanjutkan langkahku lagi. Begitu berulang-ulang. Sambil terus aku berjalan memutari alun-alun. Mencapai depan LP, lalu depan RSUD, depan Masjid Agung dan depan Kantor Bupati. Terus dengan tahapan seperti tadi. Tiap belasan langkah pinggangku serasa patah. Berhenti sejenak, meluruskan pinggang, lalu melangkah lagi. Dan ketika langkahku kembali ke titik awal aku memulai langkah tadi, atau sampai di mobilku, entah kenapa aku begitu puasnya.  Aku tak tahu kenapa saat itu aku begitu bahagia menyelesaikan langkah satu putaran mengelilingi alun-alun. Sensasinya seperti jika kita habis menyelesaikan suatu pekerjaan yang berat, dan berhasil kita tuntaskan. Mood seperti itu yang aku rasakan.

Sensasi inilah yang aku kenang saat tahun 2017 atau lima tahun kemudian ketika aku kembali bertugas sebagai Asisten Kepala di kebun Cisalak Baru. Penugasanku yang kedua di kebun itu, dengan jabatan yang masih tetap sama. Terkadang aku melaksanakan ibadah Maghrib berjamaah di Masjid Agung Rangkasbitung. Setelah selesai shalat, sambil menunggu tiba waktu Isya aku duduk-duduk di bangku yang ada di alun-alun.
Mengenang masa-masa aku berjalan perlahan mengelilingi alun-alun pada tahun 2012 dahulu. Dan juga mengenang satu peristiwa spiritual yang aku rasakan di Masjid itu pada tahun 2015.

Begini ceritanya. Tahun 2015 aku sudah menjabat lagi sebagai Asisten Kepala. Dan ditempatkan di Kebun Cikasungka, daerah Bogor. Anak sulungku sudah SMA, dia diterima di SMAN CMBBS (Cahaya Madani Banten Boarding School). Sebuah sekolah dengan konsep Boarding, atau asrama di kota Pandeglang. Setiap bulan ada dua kali kami bertemu Dani. Pada pertengahan bulan kami menengok ke Pandeglang, dan akhir bulan Dani yang pulang ke Bogor. Saat itu giliran kami yang hendak mengantar Dani kembali ke Pandeglang. Berangkat dari Bogor kami singgah di Rangkasbitung, ada beberapa keperluan istriku di situ. Lalu kami shalat dhuhur di Masjid Agung. Aku ingat, saat itu kami terlambat datang sehingga tak sempat mengikuti shalat berjamaah. Berdua bersama Dani aku shalat, sedangkan istri dan anak-anak perempuanku di bagian terpisah.
Selesai shalat, Dani keluar masjid. Aku tetap tinggal sejenak di depan mimbar ruang imam. Pada Shaf terdepan. Berdzikir. Tak ada orang lain saat itu di sekitarku.
 
Aku berdzikir perlahan. Menyebut nama Allah di lisanku. Terus menerus seperti itu. Berulang-ulang.
Dan tiba-tiba aku rasakan, pada suatu detik di saat itu. Ketika lisan dan batinku berdzikir, dan hidungku menghirup napas.
Aku rasakan.. 
Ya Allah, betapa berharganya udara napas yang aku hirup ini. Terasa sejuk memasuki sekujur rongga tubuhku. 
Pada udara yang aku hirup saat itu, benar-benar kurasakan kekuasaan dan kasih sayang Allah di situ. 
Bahwa pernah di suatu masa dulu, hirupan napasku ini sudah akan terhenti.
Aku menggigil...
Mulut dan batinku tetap berdzikir, melantunkan nama Illaahi..
Lalu, tanpa terasa, air mata membanjiri wajahku. 
Ketika benar-benar kurasakan begitu tak ternilainya hirupan napas yang aku teguk ini.
Aku terisak...
Tersedu pelan..
Entah sudah berapa juta kali dalam rentang usia duniaku udara ini aku hirup. Setiap hari tak terhitung hidung kita menghirup udara segar agar jantung di dada kita tetap berdenyut. Tapi pada saat itu aku rasakan hirupan napas ini sungguhlah amat berharga. Sekali hirupan napas ini terhenti, maka dalam beberapa kejap kemudian diri kita seutuhnya akan berpisah dengan alam dunia ini. Kita akan memasuki alam kematian. Dan aku tak berani menggambarkan seperti apakah alam kematian kelak itu.

Pikiran-pikiran seperti inilah yang saat itu memenuhi kepalaku. Dan airmata itu tetap terus mengucur pada saat itu. Aku tak berniat untuk menghentikannya. Biarlah isi rongga dadaku mencari kelapangannya sendiri.
Mungkin ada sekitar sepuluh menit aku tertunduk terpaku di deretan shaf depan.  Dan setelah agak tenang, ketika air mataku tak lagi mengalir, aku usap wajahku. Kususul keluargaku di luar masjid.

Seumur usiaku di dunia, baru sekali aku merasakan pengalaman seperti itu. Begitu membekas hingga saat ini.
Kota Rangkasbitung menjadi begitu berkesan bagiku.
Tahun 2017 aku ambil gambar suasana di dalam masjid itu. Untuk mengenang peristiwa bermakna yang kurasakan dua tahun sebelumnya.






Ada dua kesempatan yang sempat membuatku berniat menceritakan tantang pengalamanku ini. Tahun 2018 teman-teman kuliahku yang tinggal di seputaran Jabodetabek mengunjungiku di Sukabumi. Saat suasana santai, aku berbincang dengan sebagian mereka di ruang tamu. Persis kejadian dua bulan setelahnya ketika aku mengunjungi kota Solo, dan sahabat-sahabatku berkumpul menyambutku di taman Balekambang. Ketika mereka mendadak terdiam, lalu serius mendengarkanku  bercerita. Betapa saat itu ingin kuceritakan pengalaman yang kurasakan saat koma ini. Tapi lidahku mendadak kelu. Aku tak sanggup meneruskan cerita ini. Mataku terasa panas. Aku yakin akan keluar air mataku jika aku teruskan ceritaku ini, karena setiap kali ingatanku melayang mengingat kejadian saat itu  setiap kali itu juga aku rasakan betapa berharganya nikmat WAKTU yang aku dapatkan. Nikmat yang pada suatu waktu dahulu pernah hampir berpisah denganku.

Aku juga hampir pernah secara panjang dan lengkap menceritakan pengalaman ini di Group Whatsapp teman-teman SMA-ku. Tapi aku kembali terhenti ketika salah seorang dari mereka berucap tak berani membaca semua ceritaku itu. Chatt yang sudah aku postingkan itu dia hapus. Dia merinding membacanya.
Takut.
Kembali ceritaku ini terputus.

Hidupku saat ini, bulan Ramadhan 2019, sudah berjalan kembali seperti biasa. Seperti saat sebelum aku jatuh sakit tempo hari. Tetapi sejatinya sudah begitu banyak hal yang berubah dalam diriku. Hidupku sekarang adalah tentang memenuhi amanah Allah SWT, Penciptaku. Ada istriku, wanita yang 23 tahun silam aku minta halalnya dengan menyebut nama Allah. Yang darinya aku mendapatkan tiga keturunan yang menentramkan hati. Lalu masih ada ibu kandungku, yang bersama ketiga saudaraku lainnya harus kami muliakan hidupnya sampai akhir nanti. Mungkin untuk mereka berlimalah saat ini aku masih hidup. Bahwa amanatku di dunia harus aku tunaikan terlebih dahulu sebelum Allah berkenan memanggilku pulang. Aku pernah baca sebuah puisi  dari Emha Ainun Najib. Begini isinya :

"R U M A H    K I T A"

Kita bukan penduduk bumi...
Kita adalah penduduk syurga...
Kita tidak berasal dari bumi...
Tapi kita berasal dari syurga.

Maka carilah bekal untuk kembali ke rumah...
Kembali ke kampung halaman...
Dunia bukan rumah kita...
Maka jangan cari kesenangan dunia.

Kita hanya pejalan kaki dalam perjalanan kembali ke rumahNya.

Bukankah mereka yang sedang dalam perjalanan pulang selalu mengingat rumahnya dan mereka mencari buah tangan untuk kekasih hatinya yang menunggu di rumah?

Lantas,,,
Apa yang kita bawa untuk penghuni rumah kita, Rabb yang mulia?

Dia hanya meminta amal sholeh dan keimanan, serta rasa rindu padaNya yang menanti di rumah.

Begitu beratkah memenuhi harapanNya?

Kita tidak berasal dari bumi...
Kita adalah penduduk syurga...
Rumah kita jauh lebih Indah di sana.

Kenikmatannya tiada terlukiskan...
Dihuni oleh orang-orang yang mencintai kita...
Ada istri sholehah serta tetangga dan kerabat yang menyejukkan hati.

Mereka rindu kehadiran kita...
Setiap saat menatap menanti kedatangan kita...
Mereka menanti kabar baik dari Malaikat Izrail...
Kapan keluarga mereka akan pulang?

Ikutilah peta (Al-Qur'an) yang Allah titipkan sebagai pedoman perjalanan...
Jangan sampai salah arah dan berbelok ke rumahnya Iblis Laknatullah yaitu jalan ke Neraka Jahanam.

Kita bukan penduduk bumi...
Kita penduduk syurga..
Bumi hanyalah dalam perjalanan...
Kembalilah ke rumah.

Selamat berikhtiar saudarakuu semua...utk kembali ke rumah kita di sorga.

Bismillah......
---------
Tahun 2017 aku sempat mengajak keluargaku mengunjungi Rumah Sakit Krakatau Medika di Cilegon. Aku susuri lagi setiap sudut di sana. Mengunjungi kamar tempat aku dirawat dahulu. Serta tempat-tempat lainnya. Ruang kontrol dokter, Laboratorium serta ruang-ruang terapi. Ketika masa perawatan yang kedua pada bulan November tahun 2012 dahulu aku juga beberapa kali menjalani perawatan di ruang terapi ini. Tapi aku hanya terdiam ketika mendapat sambutan hangat dari para petugas di sana. Dengan ramah dan hangat mereka menyapa dan melayaniku. Kata istriku, mereka memang sudah tak asing denganku. Karena saat perawatan pertama pada tiga bulan sebelumnya aku juga beberapa kali menjalani perawatan di ruang terapi itu. Meskipun aku tak mengingatnya sedikitpun.

Tempat Ragaku Bertemu dengan Nyawaku Kembali
Tempat itu mempunyai kesan tersendiri bagiku. Seperti caption yang aku tulis pada foto diatas. Mungkin di situlah jiwaku menyatu dengan ragaku lagi. 

Banyak hikmah yang kurasakan dalam kejadian ini. 
Jika aku memikirkan kondisi realitas tadi, bahwa aku mengalami kemunduran atau keterlambatan dalam jenjang karierku, maka yang kurasakan adalah perasaan sedikit sesak di dalam hati. Dadaku terasa sempit. Ketika aku fikirkan tentang sekian lama waktuku yang seolah-olah "terbuang", tersingkir dari percaturan kinerja. 

Tapi jika aku mencoba memandang kejadian ini dari sudut pandang yang lain, ketika realitas yang aku alami saat ini kubandingkan dengan kemungkinan yang cukup besar juga bisa aku alami tahun 2012 dahulu. Bahwa dokter saat itu tak berani memberikan gambaran yang menggembirakan ke istriku. Selama empat minggu di Rumah Sakit Cilegon aku belum mampu sekalipun bangkit dari tempat tidur. Dokter menyampaikan ke istriku bahwa aku telah selamat, terhindar dari resiko kematian, tapi tak menjamin bakal seperti apa kondisiku kelak. Kemungkinan aku lumpuh saat itu cukup besar. Dokter bahkan meminta istriku menyiapkan sebuah kursi roda untuk mobilitasku.
 
Ketika aku memandang kondisi diriku dari sudut pandang ini, maka yang tergurat dari kalbuku adalah panjatan syukur yang tak terhingga ke Illaahi Rabbi. Alhamdulillah, aku masih mendapat kesempatan membina karier secara normal di Perkebunan Negara ini. 

Dan tak lama setelah itu, pada bulan Mei tahun 2018, tepat setahun sebelum aku menulis artikel ini, aku menerima promosi menjadi Manajer Kebun, atau Administratur pada usiaku yang menjelang 46 tahun.

Realitas kejadian yang kualami  memang tak berubah. Tapi dari sudut pandang mana kita melihat realitas itulah yang akan menentukan suasana hati kita.

Apakah kita akan menempatkan diri ke dalam ruang keluhan yang dipenuhi penyesalan dan gerutuan sia-sia..
Ataukah kita akan menempatkan diri pada ruang syukur yang diterangi dengan persembahan ucap terima kasih ke Pencipta Semesta Alam...

Pilihan itu ada pada diri kita...

Dan aku memilih yang kedua..
Hidupku sekarang adalah tentang mengucap rasa syukur...
Dan untuk menyelesaikan tugas amanatku di dunia sebaik mungkin..
Semoga kelak Allah memanggilku pulang, ketika amanatku di dunia telah kutunaikan. Ketiga anakku sudah memasuki masa berkeluarga dan membangun kehidupannya sendiri. Dan aku menempuh masa tua berdua bersama istriku. Aku ingin membalas semua kesetiaan dan segala pengorbanan istriku selama ini. Dan semoga aku tak membiarkan dirinya hidup di dunia tanpa kehadiranku. Aku ingin memastikan dirinya menyelesaikan masa hidup di dunia ini sebaik mungkin seperti yang digariskan Pencipta kami.

Sungguh aku mohon kelak Allah SWT berkenan menempatkan diri kami sekeluarga di ruang taman Firdaus-Nya.

Ya Allah ya Tuhanku..
Berkahilah kehidupan dunia kami..
Ampuni segala kekhilafan kami...
Dan karuniakanlah kepada kami Husnul Khatimah..
Akhir kehidupan dunia yang baik..

Aamiin Aamiin Ya Rabbal Aalaamiin...
Argo Kumoro Anak Kebon.. Lahir.. Besar.. Dan menua di Perkebunan

2 Responses to "ketika KOMA....."

  1. Assalammualaikum, kula maca seratanipun Mas Koem, seolah-olah kados ndherek wonten teng suasana menika, haru lan takjub, nderek mrinding, ingkang mboten saged dipungambaraken kaliyan ukara. Aamiin, mugi sedaya gegayuhanipun Mas Koem sagotrah ingkang mulya dipunijabah dening Gusti Allah Swt. ,������

    ReplyDelete
    Replies
    1. wa alaikum salaam wr wb.. hidup di dunia cuman sebentar.. mungkin hanya sebatas waktu sepenghirupan teh saja...

      Delete

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel