ketika KOMA.....
Ini adalah kisahku..
Banyak hikmah yang kurasakan dalam kejadian ini.
Jika aku memikirkan kondisi realitas tadi, bahwa aku mengalami kemunduran atau keterlambatan dalam jenjang karierku, maka yang kurasakan adalah perasaan sedikit sesak di dalam hati. Dadaku terasa sempit. Ketika aku fikirkan tentang sekian lama waktuku yang seolah-olah "terbuang", tersingkir dari percaturan kinerja.
Tapi jika aku mencoba memandang kejadian ini dari sudut pandang yang lain, ketika realitas yang aku alami saat ini kubandingkan dengan kemungkinan yang cukup besar juga bisa aku alami tahun 2012 dahulu. Bahwa dokter saat itu tak berani memberikan gambaran yang menggembirakan ke istriku. Selama empat minggu di Rumah Sakit Cilegon aku belum mampu sekalipun bangkit dari tempat tidur. Dokter menyampaikan ke istriku bahwa aku telah selamat, terhindar dari resiko kematian, tapi tak menjamin bakal seperti apa kondisiku kelak. Kemungkinan aku lumpuh saat itu cukup besar. Dokter bahkan meminta istriku menyiapkan sebuah kursi roda untuk mobilitasku.
Tentang pengalaman
atau kejadian yang aku alami pada suatu masa dalam kehidupanku dahulu.
Tujuh tahun silam...
Pada bulan Juli tahun 2012...
Dan muncul niatku untuk menulis atau menceritakan pengalaman ini karena masih lumayan seringnya sahabat atau kenalan yang mengajakku berbincang tentang pengalaman yang aku rasakan pada saat itu. Ketika aku mendadak mengalami pecah pembuluh darah (stroke) di kepalaku, lalu koma sekian waktu lamanya.
Tujuh tahun silam...
Pada bulan Juli tahun 2012...
Dan muncul niatku untuk menulis atau menceritakan pengalaman ini karena masih lumayan seringnya sahabat atau kenalan yang mengajakku berbincang tentang pengalaman yang aku rasakan pada saat itu. Ketika aku mendadak mengalami pecah pembuluh darah (stroke) di kepalaku, lalu koma sekian waktu lamanya.
Seminggu sebelum kejadian, saat aku membawa keluargaku berlibur |
Begini kejadiannya..
Dari hari senin
sampai rabu, di unit kerjaku saat itu sedang ada kegiatan kantor yang cukup
menguras stamina dan energiku.
Rabu malam, tanggal
18 Juli 2012, aku dalam perjalanan pulang dari komplek kantor induk kebun
Kertajaya di Kabupaten
Lebak menuju rumah dinas kediamanku di unit Sanghyang Damar Kabupaten
Pandeglang. Mobil dinas yang aku tumpangi, Daihatsu Taft Rocky, malam itu penuh
oleh penumpang. Bersama
serombongan Calon Staff yang sedang menjalani masa orientasi di
Kantorku. Kuingat
kondisiku saat itu. Begitu lelah dan capai, hingga aku sampai terlelap sejenak
di perjalanan yang memakan waktu sekitar satu jam. Hanya capai, letih dan
penat. Tak ada rasa pusing atau demam yang aku rasakan.
Sampai di rumah sekitar tengah malam. Memori terakhir yang aku ingat pada tengah malam itu adalah duduk di kursi meja makan, menghadap segelas teh manis hangat dan menghisap sebatang rokok. Rombongan Calon Staf semuanya sudah masuk ke kamarnya.
Sampai di rumah sekitar tengah malam. Memori terakhir yang aku ingat pada tengah malam itu adalah duduk di kursi meja makan, menghadap segelas teh manis hangat dan menghisap sebatang rokok. Rombongan Calon Staf semuanya sudah masuk ke kamarnya.
Tapi jika aku dengar
cerita bahwa ketika aku ditemukan terkulai di dalam kamar pada jam 3 dini hari saat itu sudah
memakai pakaian rumah, celana selutut dan kaos oblong, maka besar kemungkinan setelah aku duduk di
kursi meja makan tengah malam itu aku masuk ke kamar, lalu mandi, kemudian istirahat
di tempat tidurku.
Memoriku terakhir
adalah itu, tengah malam duduk di kursi meja makan. Bulan Juli.
![]() |
Kursi Meja Makan Rumah Sanghyang.. Memory Terakhir yang Kuingat.. |
Selanjutnya memori
yang benar-benar aku rasakan dan ingat, maksudku mengingat suatu kejadian yang
benar-benar aku alami di dunia ini, adalah satu peristiwa pada pertengahan
bulan September. Atau sekitar 2 bulan setelah itu. Ada ingatan yang melekat di
benakku. Saat aku membuka pintu rumahku di Rangkasbitung. Di dalam rumah aku
melihat kedua orang tuaku, yaitu Ibu kandung dan Ibu mertuaku, yang dengan
senyum hangat menyambut kedatanganku. Serta ketiga anakku yang tertawa lebar.
Dani, Zahra dan Naila. Menurut keterangan istriku, itu adalah kejadian saat aku
pulang dari kontrol dokter di RS Krakatau Medika Cilegon, setelah selama lebih sebulan
sebelumnya aku menjalani perawatan di situ. Pada suatu hari di pertengahan bulan
September.
Itu memori yang
kuingat. Antara tanggal 18 Juli, lalu bersambung pada pertengahan bulan
September. Segala kejadian yang kualami saat menjalani perawatan selama 4
minggu di Rumah Sakit Krakatau Medika Cilegon, lalu berlanjut selama 2 minggu
di Rumah Sakit Missi Rangkasbitung tak ada secuilpun adegan peristiwa yang aku
ingat.
Memoriku kosong.
Memoriku kosong.
Lalu..
Dimanakah aku pada periode
diantara kedua waktu itu...?
Begini yang aku
rasakan....
Aku rada sulit
menentukan harus dari mana memulai cerita ini...
Yang jelas, setelah
ingatanku berada di kursi meja makan rumah Sanghyangdamar saat itu, tiba-tiba aku
berada di dua tempat.
Yang pertama adalah
lokasi perkampungan pada sebuah Desa di pedusunan. Bernama Desa Bodas, Kecamatan
Watukumpul, Kabupaten Pemalang.
Itu kampung halaman bapakku.
Itu kampung halaman bapakku.
Di pertengahan
kampung ada sebuah perempatan jalan. Ke-empatnya terpecah menjadi jalan menuju
Masjid, jalan menuju balai desa, jalan menuju sungai serta jalan yang sedikit
menanjak menuju rumah kediaman kakek. Meskipun menanjak, tetapi sebenarnya
tidak terlalu terjal, hanya landai. Tetapi pada suasana yang terbentuk saat aku
koma itu, tepat di salah satu sisi di simpang empat itu ada sebuah rumah yang
berada di atas atau pada lokasi yang lebih tinggi. Ada banyak orang di situ. Di teras rumahnya. Sebagiannya lagi di bawah, di sekitar perempatan jalan.. Cukup
banyak orang yang aku lihat pada saat itu. Semuanya laki-laki. Dewasa dan tua. Aku
tak mengenal mereka semua. Hanya 2 orang yang aku kenal. Almarhum mbah Mochtar,
ayahnya bapak dan Alm Pakde Winarno, kakak kandung bapak. Beliau berdua telah wafat pada awal tahun 2000-an, saat
aku menetap di Aceh. Terakhir aku bertemu beliau berdua langsung adalah ketika
kelahiran anak pertamaku pada tahun 1999. Saat itu beliau bertiga (bersama Bude
Winarno) mengunjungiku di Semarang untuk menengok anak pertamaku. Aku mengambil
cuti saat itu, pulang dari Aceh.
Nah, dalam kejadian
yang terbangun saat aku koma itu, beliau berdua tidak menatapku. Apalagi
menyapa atau berbicara padaku. Semua orang yang aku lihat pada saat itu tidak
ada yang saling berkomunikasi. Mereka hanya berdiri mematung, wajah mereka menatap ke atas, tidak saling
memandang. Semua tatapan wajah dan mata mereka ke atas. Aku tak tahu, apa yang mereka tatap di atas sana. Walaupun aku berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya, tak
ada seorangpun diantara mereka yang memandang atau menyapaku.
Kecuali satu orang...
Ada satu sosok
diantara mereka yang masih begitu aku ingat hingga saat ini..
Seorang lelaki
separuh baya. Tidak gemuk, cenderung kurus, tapi tinggi. Dia mengenakan pakaian
serba hitam. Celana, baju yang dia pakai berwarna gelap.
Dia juga tak
menyapaku. Kecuali hanya berdiri tegap dengan tangan bersedekap di dadanya.
Matanya sangat tajam menatapku. Kemanapun aku berpindah tempat atau bergeser,
sorot matanya tetap mengikutiku. Mukanya tirus. Seberapa kuat aku mencoba memeras
memoriku, mencoba mengingat dimana dan kapan aku pernah melihat atau bertemu
sosok wajah itu, tetapi tetap tak menemukan hasil. Aku tetap tak bisa mengingat
dimana aku pernah bertemu dengan sosok misterius itu.
Hingga kinipun,
seperti saat aku menulis cerita ini, bulu kudukku agak merinding mengingat
peristiwa ini..
Siapakah dia..
Kenapa dia begitu
tajam menatapku....
Sorot matanya
mengikuti kemanapun aku berada..
Duh....
Begitulah diriku saat
itu. Ragaku tergeletak di rumah sakit Cilegon. Tetapi jiwa dan pikiranku entah
ada dimana. Kurasakan cukup lama aku berada di desa kakek itu.
Kadang berganti dengan suasana lain.
Ada lokasi lain yang aku kunjungi saat itu. Sebuah tempat di desa Pabelan, kecamatan Salatiga. Tempat aku menghabiskan masa kecil hingga pendidikan dasar pada tahun 80-an dahulu. Pada sebuah lokasi yang masyarakat setempat lazim menyebutnya dusun "Takan". Ada sebuah bulak cukup panjang. Kiri kanannya persawahan. Tepat di ujung desa sebelum masuk ke bulakan sawah ada sebuah pohon. Tinggi dan rindang. Dahulu, saat aku SD, pohon itu sering kami gunakan untuk berteduh setelah kami melewati bulakan yang panas. Terletak di pertengahan jalan dari rumah kediamanku, di kampung Daren, menuju gedung SD Pabelan di Jalan Raya jalur Getas ke Salatiga.
Ada lokasi lain yang aku kunjungi saat itu. Sebuah tempat di desa Pabelan, kecamatan Salatiga. Tempat aku menghabiskan masa kecil hingga pendidikan dasar pada tahun 80-an dahulu. Pada sebuah lokasi yang masyarakat setempat lazim menyebutnya dusun "Takan". Ada sebuah bulak cukup panjang. Kiri kanannya persawahan. Tepat di ujung desa sebelum masuk ke bulakan sawah ada sebuah pohon. Tinggi dan rindang. Dahulu, saat aku SD, pohon itu sering kami gunakan untuk berteduh setelah kami melewati bulakan yang panas. Terletak di pertengahan jalan dari rumah kediamanku, di kampung Daren, menuju gedung SD Pabelan di Jalan Raya jalur Getas ke Salatiga.
Kami bermain di situ.
Bersama
teman-teman kecilku. Dengan penampakan atau perwujudan seperti saat kami masih
sekolah di SD dulu. Sekitar 4 atau 5 orang anak. Dan ada seorang yang sangat
aku kenal sosoknya. Itu teman akrabku yang bernama Kuswono. Dia anak sulung dari
pak Slamet, Juru Tulis di Afdeling Bapak. Kami bermain-main dengan riang di
situ. Tertawa terkekeh-kekeh. Bersenda gurau dengan posisi berjongkok memainkan
sesuatu di tanah. Entah apa yang kami mainkan saat itu. Sosok yang lain tidak
terlalu aku ingat. Mungkin itu temanku lainnya. Karman serta Parmin. Tapi sosok
Kuswono itulah yang mendominasi memoriku saat itu.
Pada tahun 2015, atau
3 tahun setelah kejadian komaku, aku berkesempatan untuk berkomunikasi di media sosial dengan Suroso, adik
Kuswono. Aku tanyakan kabar Kuswono. Aku tertegun ketika aku dengar cerita
bahwa Kuswono telah wafat jauh hari sebelumnya. Sekitar tahun 1996, atau hampir
20 rahun sebelum aku koma itu, Kuswono menghembuskan napas terakhir setelah sekian
lama waktu dalam keadaan sakit. Sampai sekarang aku masih ingat sosok kuswono
saat kami bermain-main di bawah pohon di ujung bulakan sawah itu. Dengan gelak
tawa dan canda riangnya.
Kedua lokasi inilah
yang mendominasi fikiranku saat diriku terbaring dalam keadaan koma. Dan sosok
lelaki kurus berwajah tirus yang terus menerus memandangiku..
Sosok yang tetap tak aku ingat hingga saat ini...
Kini peristiwa itu sudah berlalu 7 tahun silam,
sosok itu tetap tak aku kenal atau ingat. Terkadang imajinasiku mengembara,
mencari penjelasan yang masuk akal atas peristiwa itu.
Apakah wujud itu
adalah sosok malaikat maut..?
Sosok makhluk hamba
Allah yang betugas mencabut nyawa setiap manusia...
Bisa jadi saat itu sudah
tersurat garisan takdirku bahwa kehidupan duniaku akan berakhir..
Bahwa malaikat maut
sudah bersiap mencabut nyawaku..
Kelak di kemudian
hari setelah pulih kesehatan dan normal kehidupanku, pada tahun 2017 aku
berjumpa dengan pak Sri Hermawan. Saat aku sakit dulu, beliau adalah Manajer
Kebun Cisalak Baru. Kebun tempat aku bertugas sebelum kemudian mutasi ke Kebun
Kertajaya. Beliau mengikuti perkembangan kondisiku sejak koma di RS Cilegon
hingga pemulihan di RS Rangkasbitung. Aku bercerita ke beliau, bahwa saat aku
koma dulu itu ada teman SMA-ku yang seorang Dokter membezuk ke Cilegon. Dari
angka-angka yang terpajang di sekitar badanku, dia bisa membaca bahwa peluang
hidupku saat itu hanyalah tinggal sekitar 30 %.
Pak Sri hanya
tersenyum mendengar ucapanku. Sambil tertawa kecil beliau menimpali
," sepuluh persenpun kayaknya nggak sampai, pak Dahono.."
Yaaa.. Saat itu
memang jarak antara diriku dengan ajal kematian hanyalah dibatasi oleh selaput
yang begitu tipis.
Sangat tipis..
Begitu dekat..
Tetapi ada takdir
kehendak lain yang juga
dari Allah
merubah ketetapan itu. Dari cerita famili dan sahabat-sahabatku, di beberapa
tempat yang pernah aku diami, setelah mendengar berita aku mendadak jatuh sakit
tempo hari itu mereka mengadakan acara doa bersama, memohonkan kesembuhan dan
kepulihan untukku. Kakak kandungku di Sukoharjo mengajak anak-anak yatim piatu
binaannya mengaji dan mendoakanku. Ibu mertuaku saat itu ada di Bekasi. Beliau meminta kepada Jamaah di
masjid tempat tinggal adik ipar untuk mengirimkan doa untukku. Lalu
sahabat-sahabatku di daerah Aceh sana, sahabat-sahabatku di Bogor dan
Rangkasbitung. Mereka menyelipkan doa bersama untukku dalam acara kajian yang
rutin mereka adakan. Sahabat-sahabatku di media sosialpun ramai mengirimkan doa
untukku. Walau hanya sekedar ucapan "Aamiin". Mengaminkan doa yang
telah dilayangkan sahabatku yang lain. Ada lebih tiga ratus sahabat di media
sosial yang mendoakanku. Dan tentunya yang paling utama adalah kiriman doa dari
Ibu dan keluarga kecilku. Ibuku pagi itu langsung menangis ketika mendengar
kabar dari istriku tentang
kondisi sakitku. Setelah siang hari sebelumnya kami mengobrol di telpon, dan
aku begitu semangat menceritakan rencanaku sekeluarga akan pulang ke Semarang
pada liburan Lebaran sebulan setelahnya.
Juga doa dari istri dan anak-anakku. Aku sangat mengenal istriku sebagai sosok yang tegar dan kuat. Tapi pada saat itu dia menangis ketika menungguiku di rumah sakit Cilegon. Anak kedua dan anak bungsuku saat itu masih kecil. Baru kelas 1 dan 5 di sekolah dasar. Hanya si sulung yang sudah mulai memahami kondisi perkembangan yang terjadi. Dani sudah menginjak kelas 2 di SMP kota Rangkasbitung. Dia anak yang cenderung pendiam. Media sosial lebih banyak dia manfaatkan untuk bermain Game. Tapi pada saat itu dia sampai menuliskan sebuah status di Facebook yang menggambarkan kegundahan hatinya.
Juga doa dari istri dan anak-anakku. Aku sangat mengenal istriku sebagai sosok yang tegar dan kuat. Tapi pada saat itu dia menangis ketika menungguiku di rumah sakit Cilegon. Anak kedua dan anak bungsuku saat itu masih kecil. Baru kelas 1 dan 5 di sekolah dasar. Hanya si sulung yang sudah mulai memahami kondisi perkembangan yang terjadi. Dani sudah menginjak kelas 2 di SMP kota Rangkasbitung. Dia anak yang cenderung pendiam. Media sosial lebih banyak dia manfaatkan untuk bermain Game. Tapi pada saat itu dia sampai menuliskan sebuah status di Facebook yang menggambarkan kegundahan hatinya.
"Aku sedih
sekali bapakku masih terbaring di ICU" begitu tulisnya.
Mungkin rangkaian
kejadian itulah yang memberiku ketetapan takdir yang lain. Aku tak bisa
membayangkan seandainya saat itu memang benar merupakan saat ajal kematian
diriku. Maka tentulah siksa api neraka yang akan menyambut kedatanganku..
Bagaimana mungkin aku
berani mengharapkan Surga Allah sebagai tujuanku selanjutnya. Sedangkan diriku
masih begitu banyak terliputi dosa dan cela. Begitu banyak tumpukan-tumpukan
aib yang belum aku taubati.
Selama sekitar
setengah tahun, dari bulan September hingga bulan Maret tahun berikutnya
pikiranku serasa kosong. Emosiku berjalan datar. Pada bulan November aku menjalani perawatan
yang kedua di rumah sakit Cilegon. Karena pembuluh sintetis yang ditanamkan di
kepalaku harus dilepas. Selama dua minggu aku rawat inap di rumah sakit. Dan
perasaanku masih berjalan seperti itu. Datar. Tak ada gejolak emosional yang
kurasakan. Aku tak merasa rindu ke siapapun atau ke sesuatupun. Termasuk ke
anak-anakku yang saat itu di rumah Rangkasbitung ditungguin kedua neneknya.
Aku makan ketika istriku memintaku makan. Bukan karena merasa lapar. Aku
mandi dan shalat saat diingatkan istriku.
Mungkin seperti yang
dijawab si bungsu Naila saat aku tanyakan keadaan bapaknya dulu.
"Bapak kayak
zombie.. Naila jadi takut.."
Begitu ucapnya.
Selama
sekitar hampir dua bulan, antara tanggal 19 Juli hingga pertengahan September itu aku berada di
situasi seperti itu. Pulihnya memorikupun tidak berlangsung cepat. Membutuhkan
waktu yang cukup lama. Berangsur-angsur. Mungkin sekitar setahun, atau setelah Lebaran tahun
berikutnya pada bulan Agustus tahun 2013 aku merasakan memoriku sudah lebih 90%
yang pulih terkumpul.
![]() |
Wajah Zombie-ku Saat Perawatan Pertama yang Membuat Takut si Bungsu |
Sungguh unik,
pengalaman yang aku rasakan saat itu. Ketika awal masa aku mulai bisa
"mengingat" lagi, atau pada pertengahan bulan september, susunan
memoriku belum tersusun rapih. Ketika mendengar seseorang menyebutkan kata
"Sanghyangdamar" atau nama kebun tempat aku berdinas saat itu pada tahun 2012, yang
muncul di kepalaku masih suasana di desa Bodas. Sehingga jika hal ini muncul
dalam suatu percakapan maka dialog yang terbangun tidak berlangsung lancar.
Pada awal bulan September, selepas aku keluar dari rumah sakit, ada beberapa
rombongan yang membezukku ke rumah. Tapi aku tak mengingatnya. Bahkan aku tak
menyadari kalau aku sebenarnya baru sembuh dari sakit berat.
Aku
pun saat itu tak
merasa aneh ketika semua pakaian yang kukenakan terasa longgar. Celana, baju
dan kaos yang kupakai menjadi kebesaran. Berat badanku turun 17 kilogram selama
dua bulan itu.
![]() | |
Masa - Masa Awal Masuk Kantor Lagi.. dengan Memori yang Belum Penuh |
Selama beberapa bulan
itu juga tak kurasakan ada benda asing yang dipasang di dalam tubuhku. Padahal ada selang panjang
yang ditanamkan dari dalam kepalaku menuju organ pembuangan di dalam perut.
Saat itu hanya kurasakan selang itu mengganjal di bagian leher. Terkadang
kuraba dan kupegang, semacam benda keras aneh yang menonjol pada kulit leherku.
Dan aku tak berfikir kalau itu adalah hal aneh yang tidak biasa.
Kota Rangkasbitung,
menjadi saksi pemulihan memoriku. Pada awal bulan November, saat sudah semakin
berani menyetir mobil, aku mengantar Naila latihan Karate di Gedung BKD samping alun-alun. Bersama ibunya
tentunya. Aku parkir di tepi alun-alun, Naila dan ibunya turun. Istriku
berpesan agar aku istirahat di mobil saja, nggak usah ikut turun. Aku menurut. Tapi tentunya kurang asyik juga jika hanya duduk di depan setir. Aku
turun dari mobil. Lalu perlahan berjalan mengitari trotoar di sekeliling alun- alun.
Saat itu anatomi tubuhku mungkin belum kembali tertata ke kondisi yang normal.
Setiap berjalan sekitar belasan langkah, pinggangku miring sendiri. Semacam ada sensasi "krek" atau patahan kecil yang kurasakan di
pinggangku. Biasanya aku berhenti sejenak. Secara perlahan kucoba meluruskan
pinggangku lagi. Setelah tegak, baru aku lanjutkan langkahku lagi. Begitu
berulang-ulang. Sambil terus aku berjalan memutari alun-alun. Mencapai depan
LP, lalu depan RSUD, depan Masjid Agung dan depan Kantor Bupati. Terus dengan
tahapan seperti tadi. Tiap belasan langkah pinggangku serasa patah. Berhenti
sejenak, meluruskan pinggang, lalu melangkah lagi. Dan ketika langkahku kembali
ke titik awal aku memulai langkah tadi, atau sampai di mobilku, entah kenapa
aku begitu puasnya. Aku tak tahu kenapa
saat itu aku begitu bahagia menyelesaikan langkah satu putaran mengelilingi
alun-alun. Sensasinya seperti jika kita habis menyelesaikan suatu pekerjaan
yang berat, dan berhasil kita tuntaskan. Mood seperti itu yang aku rasakan.
Sensasi inilah yang
aku kenang saat tahun 2017 atau lima tahun kemudian ketika aku kembali bertugas sebagai
Asisten Kepala di kebun Cisalak Baru. Penugasanku yang kedua di kebun itu, dengan jabatan yang masih tetap sama. Terkadang aku melaksanakan ibadah Maghrib berjamaah
di Masjid Agung Rangkasbitung. Setelah selesai shalat, sambil menunggu tiba
waktu Isya aku duduk-duduk di bangku yang ada di alun-alun.
Mengenang masa-masa
aku berjalan perlahan mengelilingi alun-alun pada tahun 2012 dahulu. Dan juga
mengenang satu peristiwa spiritual yang aku rasakan di Masjid itu pada tahun
2015.
Begini ceritanya.
Tahun 2015 aku sudah menjabat lagi sebagai Asisten Kepala. Dan ditempatkan di
Kebun Cikasungka, daerah Bogor. Anak sulungku sudah SMA, dia diterima di SMAN
CMBBS (Cahaya Madani Banten Boarding School). Sebuah sekolah dengan konsep
Boarding, atau asrama di kota Pandeglang. Setiap bulan ada dua kali kami
bertemu Dani. Pada pertengahan bulan kami menengok ke Pandeglang, dan akhir
bulan Dani yang pulang ke Bogor. Saat itu giliran kami yang hendak mengantar
Dani kembali ke Pandeglang. Berangkat dari Bogor kami singgah di Rangkasbitung, ada
beberapa keperluan istriku di situ. Lalu kami shalat dhuhur di Masjid Agung.
Aku ingat, saat itu kami terlambat datang sehingga tak sempat mengikuti shalat
berjamaah. Berdua bersama Dani aku shalat, sedangkan istri dan anak-anak perempuanku
di bagian
terpisah.
Selesai shalat, Dani
keluar masjid. Aku tetap tinggal sejenak di depan mimbar ruang imam. Pada Shaf
terdepan. Berdzikir. Tak ada orang lain saat itu di sekitarku.
Aku berdzikir
perlahan. Menyebut nama Allah di lisanku. Terus menerus seperti itu.
Berulang-ulang.
Dan tiba-tiba aku
rasakan, pada suatu detik di saat itu. Ketika lisan dan batinku
berdzikir, dan hidungku menghirup napas.
Aku rasakan..
Ya Allah, betapa berharganya udara napas yang aku hirup ini. Terasa sejuk memasuki sekujur rongga tubuhku.
Pada udara yang aku hirup saat itu, benar-benar kurasakan kekuasaan dan kasih sayang Allah di situ.
Bahwa pernah di suatu masa dulu, hirupan napasku ini sudah akan terhenti.
Ya Allah, betapa berharganya udara napas yang aku hirup ini. Terasa sejuk memasuki sekujur rongga tubuhku.
Pada udara yang aku hirup saat itu, benar-benar kurasakan kekuasaan dan kasih sayang Allah di situ.
Bahwa pernah di suatu masa dulu, hirupan napasku ini sudah akan terhenti.
Aku menggigil...
Mulut dan batinku
tetap berdzikir, melantunkan nama Illaahi..
Lalu, tanpa terasa,
air mata membanjiri wajahku.
Ketika benar-benar kurasakan begitu tak ternilainya hirupan napas yang aku teguk ini.
Ketika benar-benar kurasakan begitu tak ternilainya hirupan napas yang aku teguk ini.
Aku terisak...
Tersedu pelan..
Entah sudah berapa
juta kali dalam rentang usia duniaku
udara ini aku hirup. Setiap hari tak terhitung hidung kita menghirup udara segar agar jantung di dada kita tetap
berdenyut. Tapi pada saat itu aku rasakan hirupan napas ini sungguhlah amat
berharga. Sekali hirupan napas ini terhenti, maka dalam beberapa kejap kemudian
diri kita seutuhnya akan berpisah dengan alam dunia ini. Kita akan memasuki
alam kematian. Dan aku tak berani menggambarkan seperti apakah alam kematian kelak
itu.
Pikiran-pikiran
seperti inilah yang saat itu memenuhi kepalaku. Dan airmata itu tetap terus
mengucur pada saat itu. Aku tak berniat untuk menghentikannya. Biarlah isi rongga dadaku
mencari kelapangannya
sendiri.
Mungkin ada sekitar
sepuluh menit aku tertunduk terpaku di deretan shaf depan. Dan setelah agak tenang, ketika air mataku
tak lagi mengalir, aku usap wajahku. Kususul keluargaku di luar masjid.
Seumur usiaku di
dunia, baru sekali aku merasakan pengalaman seperti itu. Begitu membekas hingga
saat ini.
Kota Rangkasbitung
menjadi begitu berkesan bagiku.
Tahun 2017 aku ambil gambar suasana di dalam masjid itu. Untuk mengenang peristiwa bermakna
yang kurasakan dua tahun sebelumnya.
Ada dua kesempatan yang sempat membuatku berniat menceritakan tantang pengalamanku ini. Tahun 2018 teman-teman kuliahku yang tinggal di seputaran Jabodetabek mengunjungiku di Sukabumi. Saat suasana santai, aku berbincang dengan sebagian mereka di ruang tamu. Persis kejadian dua bulan setelahnya ketika aku mengunjungi kota Solo, dan sahabat-sahabatku berkumpul menyambutku di taman Balekambang. Ketika mereka mendadak terdiam, lalu serius mendengarkanku bercerita. Betapa saat itu ingin kuceritakan pengalaman yang kurasakan saat koma ini. Tapi lidahku mendadak kelu. Aku tak sanggup meneruskan cerita ini. Mataku terasa panas. Aku yakin akan keluar air mataku jika aku teruskan ceritaku ini, karena setiap kali ingatanku melayang mengingat kejadian saat itu setiap kali itu juga aku rasakan betapa berharganya nikmat WAKTU yang aku dapatkan. Nikmat yang pada suatu waktu dahulu pernah hampir berpisah denganku.
Aku juga hampir pernah secara panjang dan lengkap menceritakan pengalaman ini di Group Whatsapp teman-teman SMA-ku. Tapi aku kembali terhenti ketika salah seorang dari mereka berucap tak berani membaca semua ceritaku itu. Chatt yang sudah aku postingkan itu dia hapus. Dia merinding membacanya.
Takut.
Kembali ceritaku ini terputus.
Hidupku saat ini, bulan Ramadhan 2019, sudah berjalan kembali seperti biasa. Seperti saat sebelum aku jatuh sakit tempo hari. Tetapi sejatinya sudah begitu banyak hal yang berubah dalam diriku. Hidupku sekarang adalah tentang memenuhi amanah Allah SWT, Penciptaku. Ada istriku, wanita yang 23 tahun silam aku minta halalnya dengan menyebut nama Allah. Yang darinya aku mendapatkan tiga keturunan yang menentramkan hati. Lalu masih ada ibu kandungku, yang bersama ketiga saudaraku lainnya harus kami muliakan hidupnya sampai akhir nanti. Mungkin untuk mereka berlimalah saat ini aku masih hidup. Bahwa amanatku di dunia harus aku tunaikan terlebih dahulu sebelum Allah berkenan memanggilku pulang. Aku pernah baca sebuah puisi dari Emha Ainun Najib. Begini isinya :
Takut.
Kembali ceritaku ini terputus.
Hidupku saat ini, bulan Ramadhan 2019, sudah berjalan kembali seperti biasa. Seperti saat sebelum aku jatuh sakit tempo hari. Tetapi sejatinya sudah begitu banyak hal yang berubah dalam diriku. Hidupku sekarang adalah tentang memenuhi amanah Allah SWT, Penciptaku. Ada istriku, wanita yang 23 tahun silam aku minta halalnya dengan menyebut nama Allah. Yang darinya aku mendapatkan tiga keturunan yang menentramkan hati. Lalu masih ada ibu kandungku, yang bersama ketiga saudaraku lainnya harus kami muliakan hidupnya sampai akhir nanti. Mungkin untuk mereka berlimalah saat ini aku masih hidup. Bahwa amanatku di dunia harus aku tunaikan terlebih dahulu sebelum Allah berkenan memanggilku pulang. Aku pernah baca sebuah puisi dari Emha Ainun Najib. Begini isinya :
"R U M A H K I T A"
Kita bukan penduduk
bumi...
Kita adalah penduduk
syurga...
Kita tidak berasal
dari bumi...
Tapi kita berasal
dari syurga.
Maka carilah bekal
untuk kembali ke rumah...
Kembali ke kampung
halaman...
Dunia bukan rumah kita...
Maka jangan cari
kesenangan dunia.
Kita hanya pejalan
kaki dalam perjalanan kembali ke rumahNya.
Bukankah mereka yang
sedang dalam perjalanan pulang selalu mengingat rumahnya dan mereka mencari
buah tangan untuk kekasih hatinya yang menunggu di rumah?
Lantas,,,
Apa yang kita bawa
untuk penghuni rumah kita, Rabb yang mulia?
Dia hanya meminta
amal sholeh dan keimanan, serta rasa rindu padaNya yang menanti di rumah.
Begitu beratkah
memenuhi harapanNya?
Kita tidak berasal
dari bumi...
Kita adalah penduduk
syurga...
Rumah kita jauh lebih
Indah di sana.
Kenikmatannya tiada
terlukiskan...
Dihuni oleh
orang-orang yang mencintai kita...
Ada istri sholehah
serta tetangga dan kerabat yang menyejukkan hati.
Mereka rindu
kehadiran kita...
Setiap saat menatap
menanti kedatangan kita...
Mereka menanti kabar
baik dari Malaikat Izrail...
Kapan keluarga mereka
akan pulang?
Ikutilah peta
(Al-Qur'an) yang Allah titipkan sebagai pedoman perjalanan...
Jangan sampai salah
arah dan berbelok ke rumahnya Iblis Laknatullah yaitu jalan ke Neraka Jahanam.
Kita bukan penduduk
bumi...
Kita penduduk
syurga..
Bumi hanyalah dalam
perjalanan...
Kembalilah ke rumah.
Selamat berikhtiar
saudarakuu semua...utk kembali ke rumah kita di sorga.
Bismillah......
---------
Tahun 2017 aku sempat mengajak keluargaku mengunjungi Rumah Sakit
Krakatau Medika di Cilegon. Aku susuri lagi setiap sudut di sana. Mengunjungi
kamar tempat aku dirawat dahulu. Serta tempat-tempat lainnya. Ruang kontrol
dokter, Laboratorium serta ruang-ruang terapi. Ketika masa perawatan yang kedua
pada bulan November tahun 2012 dahulu aku juga beberapa kali menjalani
perawatan di ruang terapi ini. Tapi aku hanya terdiam ketika mendapat sambutan
hangat dari para petugas di sana. Dengan ramah dan hangat mereka menyapa dan melayaniku.
Kata istriku, mereka memang sudah tak asing denganku. Karena saat perawatan
pertama pada tiga bulan sebelumnya aku juga beberapa kali menjalani perawatan
di ruang terapi itu. Meskipun aku tak mengingatnya sedikitpun.
![]() |
Tempat Ragaku Bertemu dengan Nyawaku Kembali |
Tempat itu mempunyai kesan tersendiri bagiku. Seperti caption yang aku tulis pada foto diatas. Mungkin di situlah jiwaku menyatu dengan ragaku lagi.
Banyak hikmah yang kurasakan dalam kejadian ini.
Jika aku memikirkan kondisi realitas tadi, bahwa aku mengalami kemunduran atau keterlambatan dalam jenjang karierku, maka yang kurasakan adalah perasaan sedikit sesak di dalam hati. Dadaku terasa sempit. Ketika aku fikirkan tentang sekian lama waktuku yang seolah-olah "terbuang", tersingkir dari percaturan kinerja.
Tapi jika aku mencoba memandang kejadian ini dari sudut pandang yang lain, ketika realitas yang aku alami saat ini kubandingkan dengan kemungkinan yang cukup besar juga bisa aku alami tahun 2012 dahulu. Bahwa dokter saat itu tak berani memberikan gambaran yang menggembirakan ke istriku. Selama empat minggu di Rumah Sakit Cilegon aku belum mampu sekalipun bangkit dari tempat tidur. Dokter menyampaikan ke istriku bahwa aku telah selamat, terhindar dari resiko kematian, tapi tak menjamin bakal seperti apa kondisiku kelak. Kemungkinan aku lumpuh saat itu cukup besar. Dokter bahkan meminta istriku menyiapkan sebuah kursi roda untuk mobilitasku.
Ketika aku memandang kondisi diriku dari sudut pandang ini, maka
yang tergurat dari kalbuku adalah panjatan syukur yang tak terhingga ke Illaahi
Rabbi. Alhamdulillah, aku masih mendapat kesempatan membina karier secara
normal di Perkebunan Negara ini.
Dan tak lama setelah itu, pada bulan Mei tahun 2018, tepat setahun sebelum aku menulis artikel ini, aku menerima promosi menjadi Manajer Kebun, atau Administratur pada usiaku yang menjelang 46 tahun.
Dan tak lama setelah itu, pada bulan Mei tahun 2018, tepat setahun sebelum aku menulis artikel ini, aku menerima promosi menjadi Manajer Kebun, atau Administratur pada usiaku yang menjelang 46 tahun.
Realitas kejadian yang kualami memang tak berubah. Tapi dari sudut pandang
mana kita melihat realitas itulah yang akan menentukan suasana hati kita.
Apakah kita akan menempatkan diri ke dalam ruang keluhan yang dipenuhi
penyesalan dan gerutuan sia-sia..
Ataukah kita akan menempatkan diri pada ruang syukur yang diterangi
dengan persembahan ucap terima kasih ke Pencipta Semesta Alam...
Pilihan itu ada pada diri kita...
Dan aku memilih yang kedua..
Hidupku sekarang adalah tentang mengucap rasa syukur...
Dan untuk menyelesaikan tugas amanatku di dunia sebaik mungkin..
Semoga kelak Allah memanggilku pulang, ketika amanatku di dunia telah
kutunaikan. Ketiga anakku sudah memasuki masa berkeluarga dan membangun
kehidupannya sendiri. Dan aku menempuh masa tua berdua bersama istriku. Aku
ingin membalas semua kesetiaan dan segala pengorbanan istriku selama ini. Dan
semoga aku tak membiarkan dirinya hidup di dunia tanpa kehadiranku. Aku ingin memastikan
dirinya menyelesaikan masa hidup di dunia ini sebaik mungkin seperti yang
digariskan Pencipta kami.
Sungguh aku mohon kelak Allah SWT berkenan menempatkan diri kami sekeluarga di ruang
taman Firdaus-Nya.
Ya Allah ya Tuhanku..
Berkahilah kehidupan dunia kami..
Ampuni segala kekhilafan kami...
Dan karuniakanlah kepada kami Husnul Khatimah..
Akhir kehidupan dunia yang baik..
Aamiin Aamiin Ya Rabbal Aalaamiin...
Assalammualaikum, kula maca seratanipun Mas Koem, seolah-olah kados ndherek wonten teng suasana menika, haru lan takjub, nderek mrinding, ingkang mboten saged dipungambaraken kaliyan ukara. Aamiin, mugi sedaya gegayuhanipun Mas Koem sagotrah ingkang mulya dipunijabah dening Gusti Allah Swt. ,������
ReplyDeletewa alaikum salaam wr wb.. hidup di dunia cuman sebentar.. mungkin hanya sebatas waktu sepenghirupan teh saja...
Delete